SERAMBI/M ANSHAR
Muhibpudin
(24) nelayan Aceh yang terdampar di kepulauan Nikobar, India pada
Desember 2012 lalu, dipeluk ibunya saat tiba di Bandara Sultan Iskandar
Muda, Aceh Besar, Selasa (19/3). KBRI di New Delhi, India memulangkan
tiga nelayan Aceh yaitu, Muhipuddin bin Khairuddin, Basri bin Bustari
dan Safari bin Hemit, sedangkan seorang temannya, Baka, meninggal saat
terombang ambing di perahu selama 37 hari di tengah laut akibat
kerusakan mesin.
* Satu Nelayan Meninggal Dimakamkan di Laut
BANDA ACEH - Pemulangan tiga nelayan Aceh yang terdampar di Kepulauan Nikobar, India pada 23 Desember 2012 lalu, diantar langsung oleh Staf Konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di New Delhi, Zulfikar, yang tiba di Aceh melalui Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blangbintang, Selasa (19/3) sore.
Tiga dari keempat nelayan Aceh yang terdampar itu, yakni Basri (28) asal Gampong Jawa (Banda Aceh), Muhibpuddin (24) nelayan Pante Cut (Abdya), serta Safari (30) warga Desa Ujong Tanjung, Kecamatan Meureubo (Aceh Barat).
Sementara seorang nelayan lainnya, Baka (40) yang ikut bersama para nelayan itu, meninggal dunia akibat penyakit asam lambung yang dideritanya saat perahu mereka terombang-ambing di tengah laut akibat kerusakan mesin.
Almarhum Baka dimakamkan di dalam laut, dengan cara dihanyutkan bersama pakaian yang dikenakan almarhum waktu itu. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mencegah jenazah membusuk dan menularkan penyakit kepada nelayan lainnya. “Meski kami tidak tega, tapi hal itu harus kami lakukana,” kata Basri mengenang saat-saat itu.
Selain diantar langsung oleh Staf KBRI New Delhi, kepulangan ketiga nelayan itu juga didukung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI melalui Program Advokasi Nelayan yang dilaksanakan oleh Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). “Pemulangan nelayan Aceh ini dilakukan oleh KKP yang dibantu oleh KBRI di New Delhi, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, dan Panglima Laot Aceh,” kata Kasubdit Penanganan Barang Bukti dan Awak Kapal (KKP) RI, Listia, di sela-sela penyerahan ketiga nelayan Aceh tersebut ke Pemerintah Aceh.
Sementara, suasana penyambutan ketiga nelayan Aceh di Bandara SIM, disambut haru. Yusnizar (45) Ibu kandung Muhipbuddin tak mampu menahan tangis ketika melihat anaknya mulai terlihat dari pintu kedatangan penumpang pesawat domestik. Tangisnya pun pecah saat memeluk Muhipbuddin dengan erat. Malah, Yusnizar, sulit membayangkan anak kandungnya itu mampu bertahan karena terombang-ambing selama 37 hari di tengah laut tanpa bekal makanan.
“Ini kekuasaan Allah. Siapapun akan sulit mempercayainya dengan kondisi 37 hari berputar-putar di laut karena mesin rusak, tanpa makanan apapun yang bisa mereka makan,” ujar Yusnizar menyeka air matanya. Ia berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memulangkan anaknya beserta dua rekannya yang lain dari India, yang menjadi tempat para nelayan itu terdampar.(mir)
Koordinasi Pemulangan Paling Baik
PANGLIMA Laot Aceh, HT Bustamam menyebutkan, pascatsunami sudah ada 77 nelayan Aceh yang terdampar dan dipulangkan ke Aceh, tapi baru kali ini proses pemulangan ketiga nelayan itu yang paling bagus koordinasinya. Artinya, dari KBRI di New Delhi, kemudian KKP RI melalui Dirjen PSDKP, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh bersama sejumlah pihak lainnya, terlibat penuh dalam proses pemulangan tersebut. “Ke depan, harapannya jika ada nelayan kita yang terdampar bisa dilakukan penggalangan koordinasi seperti ini,” kata HT Bustaman.
Menurutnya, seringnya nelayan Aceh yang terdampar di negara tetangga, akibat alat tangkapannya yang minim dan tradisional. Selain mesin yang digunakan kecil, juga banyak yang tidak memiliki mesin cadangan. Sehingga pada saat mesin utamanya rusak, maka bisa dipastikan nelayan tradisional itu akan terdampar.(mir)
Lima Nelayan Lainnya Masih Diproses
STAF Konsuler KBRI New Delhi, Zulfikar mengatakan, di Andaman dan Kepulauan Nikobar (India), masih tersisa lima nelayan Aceh yang harus mengikuti proses hukum dan persidangan di sana. Pasalnya kelima nelayan itu terbukti memasuki perairan India dengan sengaja, dengan posisi mesin dalam kondisi hidup dan ada ikan tangkapan dalam perahu.
Pun demikian, kata Zulfikar, KBRI New Delhi meminta bantuan pemerintah pusat untuk melakukan pendekatan dengan Kementrian Dalam Negeri dan Luar Negeri India, untuk segera diproses. “Karena, kalau secara sengaja memasuki perairan mereka akan dihukum minimal 3 tahun dan maksimal 7 tahun. Tapi, kami dari KBRI di New Delhi akan terus mendampingi nelayan-nelayan tersebut,” sebut pemuda asal Lhokseumawe itu.(mir)
BANDA ACEH - Pemulangan tiga nelayan Aceh yang terdampar di Kepulauan Nikobar, India pada 23 Desember 2012 lalu, diantar langsung oleh Staf Konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di New Delhi, Zulfikar, yang tiba di Aceh melalui Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blangbintang, Selasa (19/3) sore.
Tiga dari keempat nelayan Aceh yang terdampar itu, yakni Basri (28) asal Gampong Jawa (Banda Aceh), Muhibpuddin (24) nelayan Pante Cut (Abdya), serta Safari (30) warga Desa Ujong Tanjung, Kecamatan Meureubo (Aceh Barat).
Sementara seorang nelayan lainnya, Baka (40) yang ikut bersama para nelayan itu, meninggal dunia akibat penyakit asam lambung yang dideritanya saat perahu mereka terombang-ambing di tengah laut akibat kerusakan mesin.
Almarhum Baka dimakamkan di dalam laut, dengan cara dihanyutkan bersama pakaian yang dikenakan almarhum waktu itu. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mencegah jenazah membusuk dan menularkan penyakit kepada nelayan lainnya. “Meski kami tidak tega, tapi hal itu harus kami lakukana,” kata Basri mengenang saat-saat itu.
Selain diantar langsung oleh Staf KBRI New Delhi, kepulangan ketiga nelayan itu juga didukung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI melalui Program Advokasi Nelayan yang dilaksanakan oleh Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). “Pemulangan nelayan Aceh ini dilakukan oleh KKP yang dibantu oleh KBRI di New Delhi, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, dan Panglima Laot Aceh,” kata Kasubdit Penanganan Barang Bukti dan Awak Kapal (KKP) RI, Listia, di sela-sela penyerahan ketiga nelayan Aceh tersebut ke Pemerintah Aceh.
Sementara, suasana penyambutan ketiga nelayan Aceh di Bandara SIM, disambut haru. Yusnizar (45) Ibu kandung Muhipbuddin tak mampu menahan tangis ketika melihat anaknya mulai terlihat dari pintu kedatangan penumpang pesawat domestik. Tangisnya pun pecah saat memeluk Muhipbuddin dengan erat. Malah, Yusnizar, sulit membayangkan anak kandungnya itu mampu bertahan karena terombang-ambing selama 37 hari di tengah laut tanpa bekal makanan.
“Ini kekuasaan Allah. Siapapun akan sulit mempercayainya dengan kondisi 37 hari berputar-putar di laut karena mesin rusak, tanpa makanan apapun yang bisa mereka makan,” ujar Yusnizar menyeka air matanya. Ia berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memulangkan anaknya beserta dua rekannya yang lain dari India, yang menjadi tempat para nelayan itu terdampar.(mir)
Koordinasi Pemulangan Paling Baik
PANGLIMA Laot Aceh, HT Bustamam menyebutkan, pascatsunami sudah ada 77 nelayan Aceh yang terdampar dan dipulangkan ke Aceh, tapi baru kali ini proses pemulangan ketiga nelayan itu yang paling bagus koordinasinya. Artinya, dari KBRI di New Delhi, kemudian KKP RI melalui Dirjen PSDKP, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh bersama sejumlah pihak lainnya, terlibat penuh dalam proses pemulangan tersebut. “Ke depan, harapannya jika ada nelayan kita yang terdampar bisa dilakukan penggalangan koordinasi seperti ini,” kata HT Bustaman.
Menurutnya, seringnya nelayan Aceh yang terdampar di negara tetangga, akibat alat tangkapannya yang minim dan tradisional. Selain mesin yang digunakan kecil, juga banyak yang tidak memiliki mesin cadangan. Sehingga pada saat mesin utamanya rusak, maka bisa dipastikan nelayan tradisional itu akan terdampar.(mir)
Lima Nelayan Lainnya Masih Diproses
STAF Konsuler KBRI New Delhi, Zulfikar mengatakan, di Andaman dan Kepulauan Nikobar (India), masih tersisa lima nelayan Aceh yang harus mengikuti proses hukum dan persidangan di sana. Pasalnya kelima nelayan itu terbukti memasuki perairan India dengan sengaja, dengan posisi mesin dalam kondisi hidup dan ada ikan tangkapan dalam perahu.
Pun demikian, kata Zulfikar, KBRI New Delhi meminta bantuan pemerintah pusat untuk melakukan pendekatan dengan Kementrian Dalam Negeri dan Luar Negeri India, untuk segera diproses. “Karena, kalau secara sengaja memasuki perairan mereka akan dihukum minimal 3 tahun dan maksimal 7 tahun. Tapi, kami dari KBRI di New Delhi akan terus mendampingi nelayan-nelayan tersebut,” sebut pemuda asal Lhokseumawe itu.(mir)
Editor : bakri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar