Jumat, 27 Mei 2011

8 Spesies Baru Ikan Karang Ditemukan di Bali

BALI, KOMPAS.com — Ilmuwan dari Conservation International menemukan delapan spesies ikan karang baru dan satu spesies karang baru di Bali. Spesies-sepsies tersebut diyakini merupakan spesies khas Bali, bukan migrasi dari wilayah lain. Demikian dilansir kantor berita AFP.
Spesies ikan itu meliputi golongan belut, damsels, serta ikan warna-warni. "Kami telah melakukan survei kelautan di 33 tempat di Bali dan berhasil mengidentifikasi 952 ikan karang dan kami menemukan delapan spesies baru," kata penasihat tim peneliti Mark van Nydeck Erdmann.
Survei kelautan dilakukan di kawasan wisata populer timur laut Tulamben, kawasan Dicing, Nusa Dua, Gili Manuk, dan Pemuteran pada kedalaman 10 hingga 70 meter. Hasil penelitian dinilai mengejutkan sebab Bali ternyata memiliki biodiversitas ikan yang tinggi.
Spesies baru yang ditemukan belum dinamai, tetapi masing-masing masuk dalam genus Siphamia, Heteroconger, Apogon, Parapercis, Meiacanthus, Manonichthys, Grallenia, dan Pseudochromis. Sementara jenis karang yang ditemukan masuk dalam golongan Euphyllia.
Karena jenis ikan ini pertama kali ditemukan di Bali, ilmuwan berasumsi bahwa semua spesies tersebut khas Bali. Bersama penemuan itu, ilmuwan menyatakan bahwa kondisi terumbu karang saat ini lebih baik daripada 20 tahun lalu.
Di tengah penemuan spesies ikan baru itu, ternyata beberapa jenis ikan komersial, seperti kerapu, napoleon, dan hiu, sudah sulit ditemukan. Hal ini membuktikan adanya overfishing sehingga menuntut pengendalian penangkapan.

Selamat... Banda Aceh Peringkat Satu!

RODERICK ADRIAN MOZES/KOMPAS IMAGES Siswa-siswi saat menjalani Ujian Nasional (UN) di SMA Negeri 24, Jalan Lapangan Tembak, Jakarta, Senin (18/4/2011) lalu.
JAKARTA, KOMPAS.com - Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), tahun ini peringkat pertama dalam sepuluh besar kelulusan dan nilai UN murni terbaik tingkat SMA/sederajat diraih oleh SMAN 10 Fajar Harapan, Banda Aceh, dengan nilai rata-rata 9.53.
Demikian data hasil ujian nasional (UN) tahun ajaran 2010/2011 yang dipaparkan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh, Jumat (20/5/2011), di Gedung A, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Tak ada satupun SMA/sederajat dari DKI Jakarta yang masuk dalam sepuluh besar SMA dengan kelulusan dan nilai UN murni terbaik.
Tahun ini, posisi kedua diduduki SMAN 4 Denpasar, Bali, dengan nilai rata-rata 9.49. Sementara itu, SMAN 1 dan SMAN 2 Tasikmalaya, dengan masing-masing nilai rata-rata 9.40, berhasil menduduki posisi ketiga dan keempat, sementara posisi kelima dan keenam diduduki SMA 2 Modal Bangsa Kuta Baro, Aceh Besar, dengan nilai rata-rata 9.37 dan SMAN 1 Denpasar dengan nilai rata-rata 9.34.
Selanjutnya, SMAN 3 Denpasar dengan nilai rata-rata 9.30, dan SMAN 1 Bekasi dengan nilai rata-rata 9.24, berada di posisi ketujuh dan kedelapan. Adapun dua tempat terakhir ditempati oleh SMAN 3 Lamongan dengan nilai rata-rata 9.21 dan SMAN 1 Kudus dengan nilai rata-rata 9.20.

Minggu, 22 Mei 2011

Terumbu Karang Teluk Tomini Makin Rusak

GORONTALO, KOMPAS.com - Kondisi terumbu karang di Teluk Tomini yang masuk dalam wilayah pantai selatan Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, semakin rusak. Kerusakan terumbu karang semakin parah akibat akitivitas pengeboman ikan. Warga berharap polisi meningkatkan patroli di wilayah perairan tersebut.
Berdasar catatan Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam), organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pelestarian alam wilayah Teluk Tomini, tutupan terumbu karang di bawah 50 persen pada tahun 2004. Diperkirakan tutupan terumbu karang di wilayah perairan Kabupaten Pohuwato tersebut semakin menurun pada tahun ini. Pasalnya, pengeboman ikan di wilayah tersebut masih marak terjadi.
"Maraknya pengeboman ikan ini akibat faktor ekonomi masyarakat nelayan. Selain itu, penegakan hukum terhadap pelaku pengeboman ikan masih rendah," kata koordinator Susclam, Rahman Dako, Senin (7/3/2011) di Gorontalo.
Rahman menambahkan, kondisi tutupan terumbu karang di bawah 50 persen dikategorikan rusak. Kondisi lebih parah juga terjadi di perairan selatan Kabupaten Bolaang Mongondow,  Sulawesi Utara. Ada beberapa lokasi di perairan di sana yang tutupan terumbu karangnya kurang dari 30 persen atau rusak berat.
Anggota Komisi C DPRD Pohuwato, Ibrahim Hamzah mengatakan, pengeboman ikan sudah meresahkan nelayan lokal di Pohuwato. Selain membunuh benih ikan, pengeboman juga berdampak pada hancurnya terumbu karang di wilayah perairan tersebut. Padahal, terumbu karang menjadi sarang ikan berbagai jenis.
"Kami meminta agar polisi perairan meningkatkan operasi di wilayah kami. Sebab, pengeboman ikan sudah sangat meresahkan. Selain merusak benih, terumbu karang juga turut hancur,"

Terumbu Karang di Balikpapan Menyusut

KOMPAS/LASTI KURNIA
BALIKPAPAN, KOMPAS.com - Diperkirakan hanya tinggal 10 persen wilayah perairan Balikpapan Kalimantan Timur, yang panjang total pesisirnya 80 km, masih ada terumbu karangnya. Nelayan baru beberapa tahun terakhir ini menyadari pentingnya terumbu karang setelah mereka kian sulit menangkap ikan dan harus melaut semakin jauh.
Saat ini, terumbu karang hanya bisa dijumpai di pesisir wilayah Teritip (Balikpapan Timur) dan perairan sekitar Pulau Balang (Balikpapan Barat). Menurut penuturan para nelayan, hingga awal tahun 90-an, masih banyak terumbu karang sepanjang pesisir Balikpapan.
Namun, satu demi satu, terumbu diambil dan dirusak dengan bom maupun jaring pukat harimau. Menurut Darwis (39), nelayan di Pantai Manggar, Balikpapan Timur, dulu, ia dan kawan-kawannya beranggapan terumbu malah menggangu. Selain merusak jaring, terumbu karang yang tajam, dikhawatirkan merusak badan bawah kapal serta karamba milik nelayan.
Darwis yang sudah melaut sejak kecil ini, dulu sering mengambil terumbu dengan harapan makin leluasa menjaring ikan besar karena dasar pantai lebih lapang. "Ketika ikan mulai sulit didapat, barulah saya sadar. Terumbu karang sangat penting," kata Darwis, Selasa (15/3/2011).
Tahun 1990-an, para nelayan di Manggar dan pesisir Balikpapan, bisa mendapat banyak ikan hanya dengan melaut sejauh 1-2 mil. Namun sekarang 10 mil lebih. Menurut Kamarudin (30), nelayan lain di Manggar, akibatnya adalah, nelayan boros waktu tenaga, dan bahan bakar.
Walikota Balikpapan Imdaad Hamid menegaskan Pemkot harus menggencarkan upaya pemulihan terumbu karang. Perusahaan harus digandeng untuk bekerja sama. "Sekarang, nelayan sudah mulai sadar ketika ikan-ikan mulai hilang karena tidak ada terumbu. Tiga tahun terakhir ini, tidak ada lagi perusakan terumbu," kata Imdaad, saat menerima bantuan sejumlah terumbu karang dari PT Thiess Indonesia, di Pantai Manggar, kemarin.
Kepala Dinas Pertanian, Kelautan, dan Perikanan Kota Balikpapan Chaidar, mengutarakan, terumbu karang juga tak menggangu budidaya rumput laut nelayan. "Terumbu berada di kedalaman tiga meter, sedangkan rumput laut kan berada di permukaan," kata Chaidar.

Dunia Alien di Laut Putih

Alexander Semenov Makhluk yang disebut ikan malaikat direkam ilmuwan biologi kelautan Alexander Semenov di Laut Putih, sebuah wilayah laut Arktik.
KOMPAS.com - Kekayaan laut di Laut Putih, sebuah wilayah laut Arktik di barat laut Rusia, ternyata sangat mengagumkan. Ilmuwan biologi kelautan Alexander Semenov berhasil mengabadikannya dengan kamera.
Ia berhasil menjepret kupu-kupu laut, jenis siput laut yang memiliki 2 bentukan semacam sayap yang tumbuh ke bawah. Hewan berwarna coklat kemerahan itu menggunakan struktur seperti sayap itu untuk membantunya berenang.
Semenov juga berhasil mengabadikan seekor cacing laut yang bergerak menggunakan bulu serta cacing laut yang bisa memproduksi cahaya. Jenis cacing laut terakhir tergolong dalam jenis cacing bersegmen, memiliki struktur serupa kaki yang membantu bergerak
Selain itu, ia juga menemukan hewan lunak tak bercangkang, hydrozoa, ikan malaikat dan ragworm. Yang terunik, ia menemukan hewan sebangsa udang berwarna merah muda yang tampaknya adalah seekor pejantan.
"Ini adalah tempat yang unik untuk para ahli biologi kelautan. Pertama kali saya menyelam, saya sungguh terkejut. Laut Putih menunjukkan dunia lain dengan aliennya sendiri, beberapa sangat mengagumkan," kata Semenov tentang Laut Putih seperti dilansir situs the Daily Mail.
Semenov mengatakan, kebanyakan makhluk di Laut Putih itu hanya dikenal oleh beberapa pakar biologi kelautan saja. Terletak di wilayah terpencil, beberapa makhluk bahkan tak bisa dilihat dengan mata telanjang karena sangat kecil ukurannya.
Laut Putih, tempat foto-foto Semenov diambil, merupakan sebuah wilayah terpencil yang hampir tak terjamah. Terletak di wilayah Atlantik utara, di wilayah ini para penyelam bisa melihat hingga kedalaman 40 meter.
Di dekat Laut Putih, Semenov mendirikan White Sea Biological Station. Berlokasi di desa terdekat, stasiun tersebut menjadi pusat penelitian sekaligus pendidikan. Salah satu tujuannya adalah mempelajari kekayaan biota Laut Putih.

Secangkir Kopi Perlu 140 Liter Air

SHUTTERSTOCK
KOMPAS.com — Berapa jumlah air yang dibutuhkan untuk menyajikan secangkir kopi? Beberapa dari Anda mungkin akan dengan mudah menjawab, "Pastinya satu cangkir." Tapi, berdasarkan Water Footprint, rata-rata jumlah air yang dibutuhkan untuk menyajikan secangkir kopi adalah 140 liter.
Bagaimana bisa? Water Footprint tak hanya menghitung air yang digunakan untuk menyeduh kopi, tetapi juga total air yang dibutuhkan untuk menanam dan memelihara kopi, memanen, dan memrosesnya hingga menjadi biji kopi yang siap digiling, didistribusikan, hingga akhirnya disajikan di meja.
Jumlah tersebut cukup mengagetkan. Namun hal itu bisa menjadi cerminan bahwa pemakaian air dalam bidang pertanian, industri, dan konsumsi masyarakat tak terkirakan. Contoh lain, menyajikan secangkir teh memerlukan 35 liter air dan menyajikan 1 kg nasi memerlukan 3.000 liter air.
Untuk melihat dan mengontrol konsumsi air, pada tanggal 28 Februari 2011 lalu Global Water Footprint Standard merilis catatan terbaru. Catatan yang merupakan standar tersebut dikembangkan oleh Water Footprint Network dengan 139 partner, ilmuwan dari Universitas Twente, Belanda, serta kalangan LSM, perusahaan, dan pembuat kebijakan.
Global Water Footprint Standard memberikan konsistensi dalam mengukur jumlah air yang digunakan dan dampaknya. Pimpinan Water Footprint Network, Jim Leape, mengatakan bahwa standar tersebut dibuat saat perusahaan di semua sektor menyadari adanya ancaman kekurangan air yang bisa berdampak pada bisnisnya.
Menurut National Coordinator Freshwater Program WWF Indonesia Tri Agung Rooswiadji, standar tersebut dirancang untuk mengurangi pemborosan dalam konsumsi air. "Jumlah air bersih sudah sangat terbatas. Kalau kita boros, itu akan mengurangi kebutuhan pihak lain juga," ungkapnya.
Menurutnya, pemborosan konsumsi air kini banyak terjadi di kalangan industri komersial. "Industri ini tidak hanya industri manufaktur, tetapi juga yang lain, seperti pertanian dan tekstil. Kalau misalnya membuang limbah cair langsung, itu juga mengurangi jumlah air bersih," katanya.
Setiap komoditas industri menurutnya memiliki kebutuhan air yang berbeda. "Yang terbesar itu misalnya pada kopi, minyak sawit, dan kakao," kata Tri. Sektor lain, misalnya pada bahan makanan pokok, membutuhkan 3.000 liter air untuk memproduksi 1 kg beras dan 900 liter air untuk 1 kg tepung jagung.
Efisiensi dalam pemakaian air ini penting untuk dilakukan, terutama oleh kalangan industri. Ketidakefisienan dalam pemakaian air yang mengakibatkan kekurangan air bisa memicu konflik. "Itu pernah terjadi tahun 2001-2002 di Lombok. Petani berkonflik karena kekurangan air," ujarnya.
Tri mengungkapkan, kalangan industri bisa mulai menerapkan Water Footprint Standard. Dalam standar ini terdapat fasilitas penghitungan jumlah air yang digunakan berupa Water Footprint Calculator sehingga bisa membantu program efisiensi air.
Di sisi lain, ia juga menekankan perlunya kebijakan pemerintah. "Selama ini belum ada kebijakan mengenai efisiensi air," katanya. Kebijakan ini diharapkan bisa memacu pelaku industri untuk menerapkan standar tersebut.
Dengan Global Water Footprint Standard, pelaku industri bisa memantau penggunaan air, terutama menelaah sektor-sektor yang boros air. Dengan demikian, langkah efisiensi penggunaan air pun dimungkinkan dalam mendukung kelestarian sumber daya air.
Bagi individu, Global Water Footprint Standard bisa menjadi acuan untuk mengukur jumlah air yang digunakan dalam makanan, mencuci pakaian, dan barang-barang yang dibeli. Individu bisa beralih ke produk yang membutuhkan sedikit air dan yang proses produksinya memerhatikan kelestarian air.
Efisiensi penggunaan air merupakan salah satu cara untuk melestarikan sumber daya air, selain dengan mencegah pencemaran pada sumber air. Saat ini, kualitas air bersih secara global menunjukkan tren penurunan sehingga membutuhkan langkah radikal untuk melestarikannya

Transplantasi Karang di Teluk Lampung

KOMPAS/Yulvianus Harjono Sejumlah mahasiswa dan pelajar melakukan transplantasi koral di Pantai Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Senin (18/4). Habitat terumbu karang di Teluk Lampung masih saja terancam kegiatan eksploitatif oleh manusia, antara lain ditambang untuk pondasi rumah dan resort.
GEDONG TATAAN, KOMPAS.com — Dalam rangka Pekan Konservasi Sumber Daya Alam ke-XV, Himpunan Mahasiswa Biologi Universitas Lampung melakukan transplantasi koral, Senin (18/4/2011) di Pantai Ringgung, Teluk Lampung.
Kegiatan ini diikuti puluhan mahasiswa dan pelajar asal Bandar Lampung. Acara ini juga diikuti pencinta kegiatan menyelam dan snorkeling dari Lampung, Bandung, dan Palembang. Acara dipusatkan di wilayah Pantai Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
Transplantasi koral dilakukan dengan menenggelamkan tiga rak besi berisi substrat dan stek karang-karang yang akan dikembangbiakkan. Setiap rak yang akan menjadi rumah koral ini berukuran 1,5 x 0,75 x 0,5 meter. Adapun jenis-jenis terumbu karang yang ditransplantasi adalah Acropora (karang cabang) dan Favites (karang otak).
Meity Irlani (20), koordinator acara transplantasi koral, mengatakan, Pantai Ringgung merupakan salah satu habitat yang ideal bagi terumbu karang. Namun, karena pola budidaya keramba jaring apung yang kurang hati-hati, sebagian karang rusak terkena jangkar.
Selain itu, layaknya kawasan Teluk Lampung lainnya, habitat terumbu karang di Ringgung juga terancam oleh aksi pengeboman ikan dan penggunaan racun potas oleh nelayan kecil di Lampung.
"Untuk menumbuhkan karang butuh bertahun-tahun, tetapi menghancurkannya cukup 5 menit," ujar Samsul Hadi (15), siswa dari SMKN 6 Bandar Lampung, mengungkapkan kerisauannya akan rusaknya terumbu karang.
Menurut Meity, untuk acara PKSDA, kegiatan transplantasi koral ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran pentingnya ekosistem terumbu karang. "Biasanya, kami melakukan kegiatan di darat dan pesisir. Padahal, laut juga tidak kalah penting," ungkapnya.

Mayoritas Terumbu Karang di Bangka Mati

KOMPAS/LASTI KURNIA
PANGKAL PINANG, KOMPAS.com - Mayoritas terumbu karang transplantasi di Teluk Limau, Bangka mati. Kematian diduga akibat tutupan sedimen yang berasal dari penambangan laut.
Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang Universitas Bangka Belitung (UBB) Indra Ambalika mengatakan, 100 terumbu karang transplantasi ditanam pada 2009.
"Pada pemantuan Oktober 2010 diketahui empat terumbu karang buatan itu mati. Terumbu karang itu tertutup lumpur. Sisanya terlihat masih hidup dan mulai menempel di konsentrat balok semen yang dirancang untuk terumbu karang transplantasi itu," ujarnya di Pangkal Pinang, Senin (2/5/2011).
Namun, tim UBB pesimis terhadap terumbu karang lain saat memantau lokasi pada Maret 2011. Saat itu ada 17 kapal hisap timah dan puluhan tambang apung beroperasi di sekitar lokasi transplantasi. Kami khawatir karena kapal-kapal hisap dan tambang apung itu membuang berton-ton lumpur limbah penambangan. Arus laut membawa lumpur ke lokasi penanaman terumbu karang, tuturnya.
"Kekhawatiran itu terbukti dalam pemantauan pada Minggu (1/5/2011). Hanya dua terumbu karang bertahan. Sementara 98 lain mati karena tertutup lumpur. Terumbu karang tidak bisa bertahan karena sedimen lumpur terlalu tinggi. Air terlalu keruh dan tidak cocok untuk pertumbuhan. Padahal, dulu lokasi itu kami pilih karena ekosistemnya masih mendukung. Setelah kapal hisap beroperasi, daya dukung ekosistem menyusut drastis," tuturnya.
Sementara Kepala Dinas Kelautan Kepulauan Bangka Belitung Sugianto mengatakan, hal itu dampak ketidakjelasan tata ruang di Bangka Belitung. "Peraturan tata ruang tidak kunjung selesai dibahas karena banyak faktor. Belum ada pembagian jelas suatu wilayah untuk apa. Jadi, terbuka kemungkinan semua wilayah dipakai untuk apa saja," tuturnya.
Pihaknya sudah membuat ketetapan penambangan harus beroperasi minimal 1,5 mil dari pantai. Wilayah dalam radius 1,5 mil itu dianggap tempat berkembang biak ikan. Selain itu, sebagian nelayan juga lebih aman bergerak dalam wilayah itu.
Namun, banyak penambangan beroperasi di dalam wilayah 1,5 mil itu. Tambang apung dengan jarak kurang dari 200 meter dari pantai bisa terlihat di hampir seluruh pantai di Pulau Bangka. Tambang apung akan lebih banyak lagi beroperasi bila ada kapal hisap atau kapal keruk di suatu pantai.
Sampai saat ini, PT Timah saja mengoperasikan 11 kapal keruk. Sementara mitra PT Timah mengoperasi 55 kapal hisap. Tidak di ketahui berapa jumlah kapal keruk dan kapal hisap yang dioperasikan pihak lain di perairan Bangka Belitung. Pasalnya, tidak ada data pasti.

Ikan Anakan di Wakatobi Tereksploitasi


KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Taman Nasional Laut Wakatobi di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, memiliki pemandangan alam bawah air yang eksotis, Rabu (4/5). Hal ini harus didukung dengan pengaturan perikanan tangkap yang ramah lingkungan untuk menjaga biodiversitas alam salah satu segitiga karang dunia itu.
WANGI-WANGI, KOMPAS.com - Informasi minim dan ketiadaan pengaturan penangkapan ikan yang baik membuat sumber daya hayati laut di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, terancam. Bertahun-tahun, ikan belum dewasa atau juvenile ditangkapi. Kini, nelayan beralih ke budidaya rumput laut.
Tahun 2007-2010 warga bersama Operation Wallacea Trust mengecek perikanan Wakatobi. Hasilnya, 80 persen tangkapan ikan belum dewasa. Bahkan, 100 persen tangkapan ikan kakatua merah belum dewasa.
Tangkapan teripang menurun kualitasnya. Beberapa tahun lalu teripang super berisi tiga ekor per kilogram. Kini, 150 ekor per kg. Lokasi penangkapan pun makin jauh ke luar pulau.
"Ternyata cara kami salah dan harus diubah. Kami orang pulau bergantung pada sumber daya laut. Kalau laut habis, habis pula kami," kata Ketua Forum Kaledupa Taudani (Forkani) La Beloro di Kaledupa Wakatobi, Kamis (5/5/2011).
Koordinator Program WWF, Sugiyanta, menjelaskan, penangkapan juvenile berpotensi menimbulkan kelangkaan ikan karena ikan ditangkap sebelum sempat bertelur. ”Seharusnya, beri kesempatan ikan untuk bertelur sekali dalam hidup,” katanya.
Penangkapan ikan juvenile karena nelayan sulit menangkap ikan dewasa di perairan setempat. Penangkapan dan permintaan ikan berlebihan membuat jumlah tangkapan tak terkontrol. Kondisi itu gambaran umum perikanan tangkap di Wakatobi.
Rumput laut
Kini, nelayan Kaledupa mulai budidaya rumput laut yang dikenalkan tahun 1990-an. Mereka swadaya memasang tali apung dan dasar untuk menebar benih rumput laut di sekitar pulau. Di Kaledupa dan Derawa, tali-tali apung tersebar hingga 1 kilometer dari garis pantai.
Menurut Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi Bahrul Haer, pihaknya berusaha mengatur perikanan tangkap setempat agar ramah lingkungan. Untuk menghindari penangkapan ikan juvenile, nelayan diminta tak memakai mata jaring berukuran di bawah 1 inci. "Kami sarankan minimal 2 inci. Pelaksanaannya kembali ke masyarakat. Kami sulit mengawasi nelayan satu per satu," ujarnya.
Kabupaten Wakatobi seluas 1,39 juta hektar ada di kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi. Pemerintah daerah mendorong budidaya rumput laut karena permintaannya sangat menjanjikan dan lebih ramah lingkungan. Setiap tahun ratusan ton rumput laut kering dijual ke Kabupaten Bau-bau seharga Rp 9.000 per kg.

Harapan Hidup dari Rumput Laut


KOMPAS/BM LUKITA GRAHADYARINI
Pembudidaya rumput laut di Desa Laemanta, Kecamatan Kasimibar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, menebar bibit untuk ditanam di Teluk Tomini, akhir Februari 2011.
WAKATOBI, KOMPAS.com - Mengarungi perairan Pulau Kaledupa dan Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi, tali-tali sepanjang ratusan meter yang merangkai bibit rumput laut dengan mudah dijumpai. Bibit yang terangkai dengan tali itu menjadi simbol harapan hidup, tak cuma bagi masyarakat lokal tetapi juga bagi ekosistem laut.
Bagi Saridi, warga Derawa, misalnya, rumput laut kini menjadi sumber penghasilan utama. Dari rumput laut, Saridi bisa menyekolahkan keempat anaknya. "Satu anak saya sekarang kuliah di Makassar. Yang lain masih SMP dan SD. Bayar biaya sekolah dari rumput laut ini.  Sekali panen rumput laut bisa dapat 500 kg sampai 1 ton. Kita jual ke Bau-Bau biasanya, harganya Rp 8.000 per kg," tuturnya.
Rumput laut dijual setelah dikeringkan secara alami selama 3-4 hari menggunakan sinar matahari. Dari Bau-bau, rumput laut akan dikirim ke Surabaya.  Ketua Forum Kaledupa Taudani (Forkani) La Beloro menuturkan rumput laut biasanya panen setelah 45 hari. Kalau sudah dijemur nanti ada pengumpul yang menampung.
Dari rumput laut, uang yang dihasilkan bahkan lebih tinggi dari hasil penangkapan ikan. Budidaya rumput laut di Wakatobi dijalankan sepanjang tahun. Namun, warga mengaku bahwa saat terbaik untuk penanaman adalah saat musim timur.  Pada saat itu, panen bisa lebih besar dan dikeringkan dalam waktu cepat. Kala musim barat, biasanya jumlah hasil panen menurun.
Untuk membudidayakan rumput laut, warga menggunakan wilayah laut yang sesuai. Setiap warga memiliki area menanam sendiri yang diklaim menjadi hak milik berdasarkan siapa yang memakainya terlebih dahulu. Warga biasanya menentukan area dengan melihat arus dan adanya lamun. Saat ini, beberapa warga mengaku bahwa lahan budidaya sudah penuh.
"Kalau orang baru mau menanam sudah susah. Bisa juga beli tapi mahal, bisa 7 juta untuk satu area," kata Saridi.
Cara lain, warga bisa minta ijin atau sewa di area orang lain, namun biasanya tak diijinkan untuk menanam dalam jumlah banyak. Rumput laut sebenarnya sudah dibudidayakan masyarakat Wakatobi sejak lebih dari 10 tahun lalu. Namun, saat dipandang belum menjanjikan, banyak warga masih menggantungkan pada hasil penangkapan ikan. Tak jarang, praktek penangkapan yang merusak dilakukan untuk meningkatkan pendapatan.
"Dulu kita banyak pakai bom dan bius," ungkap Beloro.
Juvenile ikan atau ikan yang belum dewasa kadang juga ditangkap sehingga akhirnya nelayan sulit mendapat ikan. "Pada tahun 2004, kita merasa hampir tidak ada ikan," lanjut Beloro.
Sebuah survei pada tahun 2007-2010 juga menyebut bahwa 80 persen ikan tangkap adalah juvenile. Praktek perusakan lingkungan yang sebelumnya juga marak adalah penambangan karang. Koordinator Progran WWF Wakatobi Sugiyanta mengatakan, "Beberapa tahun kemarin sempat teridentifikasi 72 penambang. Dari jumlah tersebut, 30 di antaranya murni penambang, sementara yang lain hanya sampingan."
Menurut Sugiyanta, ada 3 faktor yang menyebabkan warga menambang. "Pertama karena tidak punya mata pencaharian lain. Kemudian karena lebih lebih mudah mendapat cash dan adanya permintaan," ucap Sugiyanta.
Kini, jumlah penambang memang sudah menurun, tapi belum benar-benar habis. Sugiyanta mengatakan, budidaya rumput laut bisa menjadi suatu alternatif mata pencaharian. Lewat budidaya rumput laut, tekanan terhadap alam akibat eksploitasi ikan dan karang berkurang. Hal ini juga memberi harapan hidup pada ekosistem. Budidaya rumput laut sendiri kini menyisakan tantangan. Bantuan pemerintah kadang tidak tepat.
"Kita tidak butuh tali, tapi pemerintah memberi kita tali. Yang kita butuhkan adalah benihnya yang bagaimana, lalu kepadatannya, kondisi eksosistem yang bagus bagaimana, itu kita buta," kata Beloro.
Menurutnya, yang diperlukan saat ini adalah pengetahuan, terutama pada cara budidaya yang tepat, cara mengatasi hama dan menentukan saat yang tepat untuk mulai menebar bibit. "Sampai sekarang belum ada bantuan seperti itu," kata Beloro yang ditemui dalam media trip bersama WWF Kamis (5/5/11) lalu.
Sementara itu, pembudidaya rumput laut dari Dewara, Jumani mengatakan, "Bantuan pemerintah sering salah sasaran. Pernah ada bantuan pengolahan pasca panen, tetapi yang dilatih justru bidan dan orang lain yang bukan pembudidaya. Seharusnya kita yang dilatih."
Hingga saat ini, belum juga ada bantuan pengering rumput laut. Ini mengakibatkan sulitnya pembudidaya saat harus mengeringkan di musim hujan. "Saat musim hujan, pengeringannya bisa sampai 10 hari," kata Jumani.
Akibat terlalu lama dalam kondisi basah, rumput laut yang dipanen kadang justru rusak. Bantuan untuk meningkatkan hasil budidaya rumput laut diperlukan sehingga benar-benar bisa memberikan penghasilan bagi warga. Dengan memiliki alternatif, tekanan pada ekosistem laut bisa dikurangi sehingga membantu upaya konservasi. Ini sangat krusial dengan status Wakatobi sebagai Taman Nasional. Warga Kaledupa yang terbina dalam Forkani kini sudah memiliki kesadaran pentingnya pengelolaan sumber daya alam.
"Sumber daya alam sangat terbatas. Kalau habis akan berdampak pada kehidupan komunitas. Jika kehilangan alam, komunitas akan keluar, tapi harus kemana. Pindah ke tempat lain, bisa diusir," kata Beloro. Bantuan yang tepat untuk meningkatkan hasil budidaya bisa membantu menyalakan semangat pelestarian itu.

Perusakan Karang Masih Ancam Wakatobi

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Kehidupan Suku Bajo di Desa Mola, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Selasa (3/5/2011). Di tempat ini sulit menyebut warga Bajo sebagai suku pengembara. Sebagian warga suku Bajo di Desa Mola tidak lagi hidup di atas laut lepas. Mereka sudah tinggal di dalam rumah berdinding batu bata dan beratap seng.
KOMPAS.com - Aktivitas penambangan karang di Wakatobi masih menjadi ancaman bagi kelangsungan ekosistem laut. Meski jumlah penambang sudah turun, beberapa masih beroperasi, di antaranya yang berasal dari Wangi-wangi.
Koordinator Program WWF Wakatobi Sugiyanta mengatakan, beberapa tahun lalu teridentifikasi 72 penambang karang, 30 di antaranya murni sebagai penambang dan sisanya sebagai sampingan.
"Setelah pembinaan jumlahnya sudah menurun tapi masih ada," kata Sugiyanta. Menurut Sugiyanta, faktor yang mendorong aktivitas penambangan adalah tak adanya pilihan mata pencaharian, lebih mudah mendapat uang dan adanya permintaan dari pasar.
Penambangan kadang juga dilakukan untuk kebutuhan pembangunan pribadi. Aktivitas penambangan biasanya dilakukan dengan linggis dan mengganggu proses budidaya rumput laut. Sugiyanta mengatakan, penambangan membuat air menjadi keruh sehingga mengganggu kesuburan rumput laut yang dibudidayakan warga lain.
Meski penambangan karang jelas dilarang, namun penting menemukan upaya strategis untuk mengajak warga berhenti melakukannya, tak bisa langsung melarang. "Kita sedang upayakan alternatif mata pencaharian, seperti budidaya rumput laut dan ekoturisme," kata Sugiyanta.
Menurut Sugiyanta, jika dibiarkan, penambangan karang akan berdampak negatif pada ekosistem dan warga sendiri. "Dampaknya adalah penurunan jumlah ikan karang. Secara tidak langsung, nanti juga akan berdampak pada kehidupan nelayan," ucap Sugiyanta.
Kepala Bidang Pengambangan Perikanan DKP Wakatobi Bahrul Haer mengatakan, aktivitas penambangan yang juga mengganggu adalah penambangan pasir. Menurutnya, aktivitas penambangan pasir justru lebih sulit diatasi.
"Kalau karang dilarang, untuk membangun masih bisa datangkan batu dari darat. Tapi kalau pasir, masih perlu dicari solusinya," kata Bahrul. Ia mengatakan saat ini masih mengupayakan cara penyelesaiannya, termasuk upaya mendorong perikanan tangkap ramah lingkungan.
Wilayah Wakatobi yang terdiri dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongo adalah kawasan Taman Nasional Laut. Penyelesaian masalah lingkungan medorong suksesnya program konservasi wilayah yang masuk dalam kawasan Segitiga Karang Dunia itu.

Tambah Kapal Bisa Turunkan Stok Ikan

KOMPAS.com - Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan berencana untuk menambah jumlah kapal penangkap ikan. Hingga 2014, ditargetkan kapal berkapasitas lebih dari 30 gross ton bisa menambah armada penangkap ikan.
Rencana itu diungkapkan Miftahuddin, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) saat ditemui dalam Media Trip Bersama WWF, Jumat (5/5/11) lalu. Kapal yang dimiliki nelayan Sulsel saat ini memiliki kapasitas kecil hingga tak bisa berlayar jauh.
"Ini adalah bagian program 1000 kapal. Sudah dimulai dari tahun 2010. Saat ini sudah 4 kapal yang ditambah," cetus Miftahuddin.
Dengan kapal tambahan, nelayan bisa sampai di wilayah lebih dari 12 mil. Menurut Miftahuddin, tambahan kapal bisa membantu nelayan menangkap ikan lebih banyak. "Selama ini wilayah lebih 12 mil dikuasai asing. Kapal ini bisa menggantikan kapal-kapal asing tersebut," tambah Miftahuddin.
Penambahan kapal dilakukan di tengah hasil tangkapan ikan yang menurun. Tahun 2006, jumlah tangkapan ikan mencapai 302.733 ton. Sementara pada tahun 2010, hasil tangkapan menurun hingga hanya 249.123 ton.
Berkomentar tentang kebijakan DKP itu, Ketua Komisi Tuna Indonesia Purwito Martosubroto mengatakan, "Penambahan kapal kalau tujuannya tidak jelas justru akan menambah masalah." Menurutnya, penambahan kapal justru bisa berdampak pada penurunan stok ikan. "Kalau mau menambah, ya harus dipikirkan dulu apa yang akan ditangkap, stoknya bagaimana. Jadi, riset-riset dulu harus dilakukan," tambah Purwito.
Purwito mengatakan, jika tangkapan menurun, seharusnya dilakukan dulu proses pemulihan stok. "Jangan nambah kapal," cetusnya. Kemudian, perlu dipikirkan alternatif mata pencaharian bagi nelayan.
Penurunan stok ikan biasanya diakibatkan oleh kegagalan mengendalikan aktivitas penangkapan ikan. Untuk mengatasinya, pemerintah perlu mengupayakan kebijakan yang cocok dan menjawab permasalahan.

Kerang Laut Raksasa Makin Langka

KONAWE, KOMPAS.com - Populasi kerang laut raksasa atau kima di sekitar perairan Sulawesi Tenggara makin langka akibat maraknya perburuan terhadap hewan dilindungi itu. Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki langkah konservasi apapun untuk melestarikan hewan yang berperan vital dalam keseimbangan ekosistem laut dangkal itu.
Ketua Konservasi Taman Laut Kima Toli-toli, Habib Nadjar Buduha, mengatakan, perburuan kima (Tridacna) di wilayah pesisir timur Sultra sudah terjadi sejak lama. "Kima diburu untuk diambil dagingnya dan cangkangnya sebagai hiasan," kata Habib saat ditemui di pusat konservasi kima yang didirikannya secara swadaya di Kabupaten Konawe, Sultra Minggu (8/5/2011).
Dari temuan-temuannya di lapangan, selain nelayan lokal, banyak pula nelayan asing yang berkedok mencari ikan namun sebenarnya berburu kima di perairan Sultra hingga Sulawesi Tengah. "Seringkali saat menyelam, kami tinggal menemukan cangkang-cangkangnya saja di dasar laut," ujar Habib.
Kondisi itu disesalkan Habib. Pasalnya, di wilayah perairan Indonesia hidup tujuh dari sembilan jenis kima yang ada di dunia. "Dua di antaranya merupakan yang paling langka di dunia, yakni Tridacna gigas dan Tridacna derasa yang sekarang hanya tersisa di perairan Sulawesi hingga Papua," katanya.
Ukuran kima bervariasi mulai dari sekepalan tangan orang dewasa hingga bisa tumbuh mencapai panjang 1,3 meter dan berbobot 250 Kg. Harga daging kima yang mencapai 150 dollar AS per Kg di pasaran internasional membuatnya menjadi komoditas incaran.
Karena itu, Habib berharap pemerintah pusat bisa segera turun tangan untuk melindungi biota laut ini. Pemerintah negara-negara lain di Asia, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, hingga Australia sudah melakukan konservasi kima. "Hanya Indonesia yang belum," ujarnya.
Kima memegang peranan penting dalam ekosistem laut dangkal karena ia menjadi filter alami air laut dan cangkangnya menjadi tempat hidup berbagai biota terumbu karang. Telur dan anak-anak kima juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan laut.
Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Bidang Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sultra Ridwan Bolu mengakui terbatasnya jumlah personil maupun anggaran untuk mengawasi perburuan kima tersebut.
DKP Sultra hanya bisa menggelar patroli laut sekali dalam sebulan di satu kabupaten/kota. Dengan jumlah 12 kabupaten/kota di Sultra, maka DKP hanya bisa menggelar satu kali patroli di setiap kabupaten dalam setahun.
Ridwan menambahkan, selain kendala teknis itu, banyak pula masyarakat yang belum paham tentang status kima sebagai hewan yang dilindungi. "Banyak nelayan yang mengambil kima untuk konsumsi sehari-hari," ujarnya.
Untuk mengatasi kendala itu, Ridwan menyatakan pihaknya mengadopsi sistem pengawasan berbasis masyarakat. Masyarakat didorong membentuk kelompok-kelompok untuk mengawasi wilayah lautnya. "Saat ini sudah terbentuk 80 kelompok di seluruh Sultra," katanya.

Bertelur dalam Gelap, Dijual Kala Terang


KOMPAS/C WAHYU HARYO PS
Seekor penyu hijau (Chelonia mydas) betina berdiameter satu meter membuat sarang dan bertelur di pesisir pantai Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Senin (31/7). Populasi penyu di daerah itu terancam akibat perburuan dan penjualan telur.

TERKAIT:
KOMPAS.com - Waktu bertelur bagi penyu hijau atau Chelonia mydas seolah-olah sudah diatur alam raya terjadi pada malam hari untuk menghindari pemangsa. Pemerintah juga telah mengeluarkan undang-undang yang melindungi generasi spesies langka itu. Tapi manusia seperti t idak kehabisan akal untuk menjual-belikan telur-telur itu.
Seorang ibu-ibu berdandan menor menghampiri Solehudin, petugas dari UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, pada perayaan Hari Nelayan Ujunggenteng, Sabtu (8/5/11) siang. Ia menanyakan di mana bisa beli telur penyu. "Kita tidak menjual, bu. Semua telur untuk ditetaskan. Kalau mau lihat, datang saja ke Pangumbahan," kata Solehudin, tanpa dibalas kata-kata oleh si ibu tadi.
Aturannya memang begitu. Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah melarang siapapun untuk mengambil, merusak, memusnahkan, menyimpan atau memiliki telur penyu. Tapi kenyataannya, telur penyu masih ada di pasaran.
"Mau beli berapa? Sebutirnya Rp 5.000," kata Karto di tempat parkir Pantai Ujunggenteng saat ditanya apakah ada penjual telur penyu di sekitar situ. Karto mengaku bukan pedagang, tetapi bisa menghubungkan calon pembeli dengan pencari telur.
Ia paham bahwa telur penyu haram diperjual-belikan. Ia pun tahu hukuman bagi pelanggar undang-undang itu. Tapi masih banyak yang cari. "Pengunjung dari Jakarta dan Bandung biasanya beli banyak, sampai seratus butir sekali datang. Katanya sih bisa untuk kesehatan dan menambah vitalitas pria dewasa," ujarnya enteng.
Setelah tercapai kesepakatan, Kompas diajak ke sebuah rumah di kawasan Kalapa Condong, sekitar tiga kilometer dari Pantai Ujunggenteng, untuk menemui Nono (bukan nama sebenarnya). Dalam perjalan, Karto bercerita, Nono biasanya punya persediaan telur penyu untuk dijual.
Saat ditemui, Nono sedang duduk di balai di rumah panggung berdinding anyaman bambu. Di situlah pria berusia sekitar 50 tahunan ini tinggal bersama istri dan tujuh anak. Mengejutkan, ternyata Nono adalah komandan Kelompok Masyarakat Pengawas yang dibentuk oleh UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan.
"Setiap malam ada warga sekitar Pangumbahan yang mengambil diam-diam telur penyu di daerah konservasi itu. Kalau mau, tunggu dulu sebentar, nanti saya ambilkan di rumah mereka yang semalam habis dapat telur," ujar Nono.
Ia kemudian memakai seragam bertugasnya, jelas terpampang namanya, dan nama instansi tempat ia bekerja. Sebelum berangkat, Karto mengajak kami kembali ke tempat parkir untuk menunggu Nono.
Tidak sampai setengah jam, Nono menghampiri kami dengan sepeda motornya. "Sudah ada. Ambil saja di rumah," ujarnya singkat.
Kami pun bergegas mengikuti Nono. Karto yang berinisiatif mengambil sendiri ke rumah Nono, dan kami mengunggu di mobil. Tak lama, Karto kembali dengan tangannya diselinapkan ke balik kaus di pinggul belakang. Ia baru menyerahkan bungkusan berplastik putih setelah sampai di dalam mobil. Transaksi selesai.
Kendala pengawasan
Janawi, Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan mengaku telah berupaya keras menekan pencurian terlur penyu. Keterlibatan masyarakat sekitar lahan konservasi pun sudah diupayakan, salah satunya dengan membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas.
Tetapi mungkin masih ada saja orang yang memanfaatkan kelengahan petugas. Petugas harus mengawasi pantai yang gelap gulita. "Terkadang kan petugas juga mengantuk. Kalau memang ada orang dalam yang terlibat, kami akan selidiki," ujar Janawi.
Pantai yang harus diawasi oleh UPTD itu sepanjang 2,4 kilometer, dengan enam pos pengawas. Setiap pos dijaga oleh satu pengawas mulai dari sore hingga fajar. Pekerjaan mereka masih dibantu oleh tujuh orang pemandu. "Jumlah pengawas sebenarnya sudah cukup. Namun memang sulit mengawasi alam terbuka seperti ini, apalagi malam hari," lanjut Janawi.
Ia mengatakan, konservasi penyu di Pangumbahan adalah satu dari delapan lokasi. Tujuh lokasi lain ini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jabar. Dibandingkan dengan Pangumbahan, wilayah kami lebih luas, yaitu sekitar 8.127,5 hektar. "Tetapi sayangnya jumlah petugas jauh lebih sedikit," kata Isep Mukti, Pejabat Fungsional Seksi Konservasi BKSDA Jabar.
Memperbaiki fasilitas pengawasan sepertinya membutuhkan waktu lama dengan birokrasi berbelit, juga menelan biaya besar. Tapi jangan sampai hanya demi menambah keperkasaan pria, penyu hijau harus kehilangan generasi selanjutnya...

Telur Terlarang di Kota Padang

Kompas/Lucky Pransiska Ratusan ekor tukik penyu sisik (Eretmochelys imbricatal) siap lepas di pusat pelestarian penyu sisik, Taman Nasional Kepulauan Seribu di Pulau Pramuka, Jakarta, Selasa (20/4). Lebih dari 700 telur penyu sisik berhasil menetas dan siap untuk dilepasliarkan ke laut.
KOMPAS.com — Perdagangan telur penyu di Kota Padang, Sumatera Barat, sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Penyu Sumatera Barat, Universitas Bung Hatta, Padang, transaksi perdagangannya merupakan yang terbesar di Indonesia.
Tidak kurang 22.000 butir telur penyu bisa diperjualbelikan hanya dalam waktu 11 pekan. Tempat terbuka, seperti warung-warung di kawasan wisata Pantai Padang, menjadi lokasi perdagangan yang aman dari jamahan hukum.
Sekalipun penyu termasuk hewan terancam yang dilindungi berdasarkan Convention and International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) appendix I , perdagangannya terus dilakukan terang-terangan, bahkan masuk dalam salah satu program unggulan pariwisata.
Pada Selasa (17/5/2011) siang itu, seorang remaja putri berusia 12 tahun menjaga warung makanan dan minuman ringan milik orangtuanya. Sebut saja namanya Putri, yang tidak memahami bahwa salah satu barang dagangan milik orangtuanya adalah telur-telur penyu yang sesungguhnya dilarang diperjualbelikan.
Siang itu, bersama sejumlah bocah cilik, Putri menunggui warung tersebut. Tangan mungilnya mengaduk-aduk baskom berpasir berisikan telur-telur penyu yang baru datang dari pengepul.
"Direbus, Bang?" tanya Putri kepada calon pembelinya. Tak lama tiga butir telur penyu sisik sebesar bola pingpong sudah berpindah ke dalam panci berisi air menggelegak oleh panas kompor minyak tanah.
Sekitar lima menit kemudian, telur-telur tadi dimasukkan dalam plastik mungil. Suwiran kecil-kecil daun seledri dimasukkan dalam wadah itu untuk menghilangkan bau amis.
Dengan cekatan dibungkusnya plastik kecil tadi, lalu tiga butir telur penyu sisik tadi pun berpindah tangan.
Putri fasih bercerita bahwa telur-telur penyu yang dijual berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kepulauan Mentawai. Untuk telur penyu sisik ditawarkan Rp 5.000 per butir dan Rp 6.000 per butir untuk telur penyu hijau.
Sudah sepuluh tahun terakhir orangtua Putri berjualan di kawasan wisata itu. Tidak kurang 100 butir telur penyu bisa dijual pada hari Minggu atau libur.
Pada hari-hari biasa antara 30 dan 50 butir telur penyu bisa dijual. Ada margin keuntungan hingga Rp 1.000 per butir telur yang bisa ditangguk pedagang seperti orangtua Putri.
Di sepanjang Jalan Muara yang berbatasan dengan Pantai Padang , tempat Putri menjaga warung milik orangtuanya, ada sejumlah pedagang lain yang menjajakan telur penyu. Nyaris semuanya adalah pedagang minuman dan makanan ringan dalam gerobak kayu beratap.
Jumlah pedagang telur penyu disinyalir juga makin banyak. Koordinator Pusat Data dan Informasi Penyu Sumatera Barat, Universitas Bung Hatta, Padang, Harfiandri Damanhuri MSc, mengatakan, pada tahun 2004 baru tercatat 18 pedagang.  
Jumlah itu meningkat menjadi 22 pedagang tahun 2008 dan 26 pedagang pada 2011. Rata-rata setiap pedagang menjual 77,8 butir telur penyu per hari.
Jumlah itu, katanya, tidak sebanding dengan upaya konservasi berupa penetasan telur penyu yang dilakukan pemerintah selama ini di dua lokasi. Masing-masing di Pantai Mangguang, Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pusat Penangkaran Penyu, Desa Apar, Kecamatan Pariaman Utara, Kota Pariaman, dan di (KKLD) Pulau Karabak, Kabupaten Pesisir Selatan.
Harfiandri mengatakan, mereka hanya berhasil menetaskan 383,84 telur penyu per bulan di KKLD Kota Pariaman dan 393,66 telur penyu per bulan di KKLD Kabupaten Pesisir Selatan. Padahal, eksploitasi pada tahun 2000 saja sudah mencapai 318,34 butir telur per hari, katanya.
Adapun jenis telur penyu yang diperdagangkan terbagi dalam empat jenis, yakni telur penyu penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea).
Membedakan keempat jenis telur penyu dengan cangkang yang relatif lunak itu relatif mudah. Telur penyu sisik dan lekang besarnya seperti bola pingpong. Adapun telur penyu hijau menyerupai besar telur ayam dengan bentuk lebih bulat. Sementara telur penyu belimbing diameternya serupa dengan bola tenis.
Karena itulah, telur penyu belimbing realtif lebih mahal. Bisa mencapai Rp 10.000 per butir. Penyu belimbing juga termasuk spesies yang paling terancam, kata Harfiandri.
Ia mengatakan, berdasarkan siklus empat tahunan hingga lima tahunan bertelurnya penyu belimbing, telur jenis penyu itu terakhir kali ditemukan tahun 2010. Sebelumnya pada 2005 dan 2001 telur penyu belimbing juga ditemukan di sejumlah pedagang.
Pembiaran
Menurut Harfiandri, hingga kini relatif tidak banyak yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal itu. Bahkan, katanya, telur penyu juga sudah mulai diperjualbelikan di pasar tradisional.
Ini dikarenakan tidak adanya fasilitas penangkaran penyu di Kota Padang. Padahal, kata Harfiandri, penyu juga diketahui suka bertelur di beberapa lokasi di wilayah pantai Kota Padang.
Erlinda Cahya Kartika yang mewakili bagian Konservasi dan Keanekaragaman Hayati di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar mengatakan, saat ini sudah dilakukan penyusunan rencana aksi. Namun, tim untuk melaksanakan rencana aksi yang direncanakan terdiri atas BKSDA Sumbar, kalangan akademisi, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar, serta pemerintah setempat itu belum juga dibentuk.
Hal itu ditambah dengan belum padunya visi pelestarian dengan pariwisata di Kota Padang. Bahkan, dalam brosur wisata, pengalaman makan telur penyu di kawasan pantai ini juga dipromosikan, kata Harfiandri.   
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang Edi Hasymi pada Rabu (18/5/2011) mengatakan, hingga sejauh ini penjualan telur penyu di kawasan wisata Pantai Padang tetap menjadi salah satu andalan. "Kami sedang buat masterplan untuk tahun 2011 ini guna pembenahannya karena selama ini, kan, masih tradisional. Soalnya telur penyu itu ada pasarnya sendiri, ada yang memang senang dengan telur penyu," katanya.
Ia mengatakan, sekalipun memang terdapat kontroversi soal konservasi dan pemanfaatannya untuk industri pariwisata, telur-telur penyu itu dianggap masih dalam batasan yang aman untuk diperjualbelikan. Edi mengatakan, sekalipun banyak telur penyu yang dijual, upaya penangkaran juga dilakukan.
"Telur penyu adalah potensi wisata, tetap harus kita jual," kata Edi.

Budidaya Kerapu Bisa Rusak Terumbu

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Kerapu
KOMPAS.com — Budidaya kerapu merupakan salah satu upaya untuk mencegah pengambilan ikan karang tersebut secara langsung di alam. Namun, budidaya yang tidak efisien juga tetap bisa merusak ekosistem terumbu karang.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif LSM Mitra Bentala Herza Yulianto dalam acara Media Trip bersama WWF pada hari Senin (18/4/2011) di Lampung. Ia mengatakan, kerapu biasanya dibudidayakan di keramba apung di laut lepas yang kadang berada di wilayah yang terumbu karangnya masih bagus. Dengan demikian, kondisi lingkungan keramba secara langsung berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang.
Herza mengungkapkan, potensi kerusakan berasal dari material sisa budidaya. "Untuk kerapu, dampak limbahnya bisa lebih kritis karena langsung kontak dengan lingkungannya," ungkap Herza.
Akumulasi sisa pakan, misalnya, bisa mengendap di dasar laut dan terumbu karang. Sisa pakan bisa berubah menjadi zat racun dan mengakibatkan pemutihan terumbu karang. Di Lampung, akumulasi sudah terjadi di wilayah Tanjung Putus.
Menurut Herza, kerusakan masif terumbu karang memang belum terjadi saat ini, tetapi perlu diantisipasi. Ia menekankan penggunaan pakan yang efisien dan pemantauan dasar perairan untuk mendeteksi adanya akumulasi limbah.
Herza bersama timnya juga pernah mengembangkan rumpon untuk mengatasi masalah tersebut.  "Harapannya nanti sisa pakan bisa dimakan oleh ikan-ikan yang terkumpul di situ, tidak langsung ke dasar," urainya.
Zonasi dan perizinan
Sementara itu, Koordinator Program Akuakultur WWF Indonesia, Cut Desiana, mengatakan, untuk mengantisipasi dampak lingkungan akibat budidaya, perlu diupayakan peraturan tentang zonasi dan perizinan.
"Soal lingkungan misalnya, zonasi budidaya juga harus melihat wilayah-wilayah tertentu yang dilindungi, misalnya karena adanya terumbu karang, padang lamun, atau lokasi pemijahan ikan," jelasnya.
Menurut dia, peraturan zonasi yang dikeluarkan pemerintah saat ini belum cukup rigid. "Tata ruang pesisir ini banyak yang belum selesai. Pemerintah daerah belum aktif melakukan pendataan," ungkapnya.
Tentang perizinan, Desiana mengatakan, "Izin usaha harus di-screening bahwa lokasinya memang tepat, tidak ada potensi konflik, dilihat potensi wilayah dan kepadatannya seberapa besar."
Desi mengungkapkan bahwa studi tentang perizinan itu harus melihat daya dukung lingkungan. "Ini muaranya adalah adanya pembatasan nantinya, sesuai dengan daya dukung lingkungannya," katanya.
Menurut Desi, pemerintah harus mengadopsi standar yang kredibel dalam mengupayakan lingkungan budidaya yang baik. Selain itu, ia juga menggarisbawahi perlunya melihat akses masyarakat lokal sebab pantai merupakan fasilitas publik.
Desi mendefinisikan budidaya yang ideal dan berkelanjutan sebagai budidaya yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial.