Jumat, 22 Juni 2012

Kapal Tak Cocok, Daerah Tolak Bantuan

foto
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan baru merealisasikan bantuan 150 unit kapal ukuran 30 Gross Tonnage (GT) dari program 1.000 kapal secara nasional. Menteri Kelautan Sharif Cicip Sutardjo di Jakarta, Senin, 18 Juni 2012, mengatakan sejumlah daerah menolak kapal bantuan ini karena tidak cocok dengan wilayah perairan mereka.

Kementerian Kelautan pun mengevaluasi program bantuan kapal yang telah dilaksanakan. Terutama, daerah mana yang membutuhkan kapal berukuran 30 GT dan daerah mana yang hanya bisa dijangkau dengan kapal ukuran 5-20 GT. “Kami evaluasi karena sebagian ternyata tidak cocok untuk kapal 30 GT," kata Sharif.

Kapal berukuran besar seperti 30 GT, kata Sharif, memang membutuhkan biaya operasional tinggi. Karena itu, banyak daerah tidak mau menggunakan. Misalnya, perairan di Halmahera dan Papua tak cocok dengan kapal ukuran 30 GT. Nelayan di wilayah itu hanya membutuhkan kapal kecil.

Kapal ukuran 30 GT, kata Sharif, dibutuhkan nelayan di Pulau Jawa. Kapal ini dilengkapi peralatan canggih seperti kompas, pendeteksi keberadaan ikan, dan sebagainya. “Seperti nelayan di Pantura, mereka bisa melaut hingga ratusan mil ke Laut Hindia atau Natuna karena laut di Pulau Jawa sudah kotor dan penuh lumpur, sehingga jumlah ikan sedikit,” ujarnya.

Sharif menegaskan bantuan kapal kepada nelayan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Kementerian Kelautan hanya menyediakan kapal dengan penentuan desain standar. Bantuan kapal tangkap ikan berukuran 30 GT, awalnya diusulkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Berantas Illegal Fishing, Pemerintah Gandeng Prancis

TEMPO.CO, Jakarta -- Kementerian Kelautan dan Perikanan menggandeng pemerintah Prancis untuk memberantas praktek illegal fishing. Kerja sama tersebut berupa pengembangan Stasiun Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring (Seacorm). Stasiun ini akan dipasang di Perancak, Kabupaten Jembrana, Bali.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan, melalui stasiun ini, pemerintah mengawasi dan memantau kapal-kapal perikanan. “Dapat diketahui kapal mana yang melanggar wilayah penangkapan ikan,” katanya seusai penandatanganan persetujuan fasilitas kredit proyek Infrastructure Development for Space Oceanography (INDESO) Indonesia dan Prancis di kantornya, Jakarta, Senin, 18 Juni 2012.

Dalam pengawasan kapal, stasiun dilengkapi dengan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan atau Vessel Monitoring System (VMS). Teknologi ini memanfaatkan satelit dan peralatan transmiter yang ditempatkan pada kapal perikanan. Sistem ini akan mengawasi kapal berdasarkan posisi kapal yang terpantau di monitor VMS.

Bali dipilih sebagai lokasi pembangunan stasiun karena dinilai strategis mengawasi pergerakan kapal wilayah Indonesia barat dan timur. Direktur Jenderal Pengawasan dan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Syahrin Abdurrahman mengatakan teknologi VMS mendukung pemerintah memerangi illegal fishing. “Kapal tanpa izin sekalipun tetap dapat kami identifikasi,” katanya. Teknologi VMS, Syahrin menambahkan, dapat mengidentifikasi semua benda yang berada di laut.

Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Bertrand Lortholary, mengatakan kerja sama sektor kelautan dan perikanan merupakan komitmen dalam kemitraan strategis yang digagas beberapa tahun lalu. “Indonesia negara kelautan terbesar di dunia, kekayaan lautnya perlu dijaga dan dikelola berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat Indonesia,” katanya.

Proyek INDESO diprediksi menelan biaya US$ 31,5 juta selama empat tahun. Dana tersebut diperoleh dari pinjaman lunak dan hibah Badan Pemerintah Prancis untuk Pembangunan (AFD) sebesar US$ 30 juta dan kontribusi pemerintah Indonesia sebesar US$ 1,5 juta.

Tuna Terancam Punah Akibat Tekanan Penangkapan Berlebih


fotoTEMPO.CO, La Jolla - Untuk pertama kalinya, semua spesies scombrid, mulai dari ikan tuna, bonito, makerel dan makerel Spanyol, hingga ikan berparuh seperti marlin dan ikan todak, masuk dalam penilaian Daftar Merah Spesies Terancam Punah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dari 61 spesies ikan, 7 di antaranya diklasifikasikan dalam kategori terancam karena menghadapi risiko kepunahan serius. Empat spesies terdaftar dalam kategori hampir terancam dan hampir dua pertiga lainnya ditempatkan dalam kategori berisiko rendah.

Hasil penilaian itu menunjukkan bahwa ikan tuna menghadapi situasi yang cukup serius. Lima dari delapan spesies tuna terancam atau hampir terancam punah dalam kategori Daftar Merah IUCN. Spesies tuna itu adalah sirip biru selatan (Thunnus maccoyii), sangat terancam punah; sirip biru Atlantik (T. thynnus), terancam; tuna mata besar (T. obesus), rentan; sirip kuning (T. albacares), hampir terancam; dan tuna albacore (T. alalunga), hampir terancam.

Informasi baru ini dapat membantu pemerintah membuat keputusan yang akan melindungi masa depan spesies ikan yang nilai ekonominya sangat tinggi itu. Status baru tuna dan ikan lainnya itu juga merupakan masukan berharga dalam pertemuan bersama Tuna RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations) ke-3 di La Jolla, California, 11-15 Juli 2011.

“Ini pertama kalinya peneliti perikanan, ahli ichthyologi, dan konservasi duduk bersama untuk menilai ancaman yang dihadapi kelompok ikan yang memiliki nilai ekonomi penting,” kata Dr. Bruce B. Collette, Ketua Kelompok Pakar Tuna dan Ikan Berparuh, dalam Species Survival Commission (SSC) IUCN.

Meski status kesehatan ikan epipelagis—ikan yang hidup dekat permukaan-- cukup baik, beberapa jenis ikan berparuh dan scombrid menghadapi ancaman dari penangkapan berlebihan. Lembaga konservasi menyoroti kurangnya upaya untuk melindungi ikan tersebut dari eksploitasi berlebihan yang didorong oleh tingginya harga ikan.

“Ketiga spesies tuna sirip biru rentan terhadap kepunahan karena tekanan penangkapan yang sangat besar. Tuna sirip biru selatan sangat tertekan, dan kecil kemungkinan untuk pulih,” kata Dr. Kent Carpenter, Manajer Unit Keanekaragaman Hayati Kelautan IUCN dan peneliti studi itu. “Jika tak ada perubahan terhadap praktek penangkapan ikan yang ada sekarang, populasi sirip biru Atlantik barat juga berisiko menurun tajam karena nyaris tak terlihat tanda populasi itu berkembang sejak penurunan yang signifikan pada 1970-an.“

Tiga spesies ikan berparuh yang dikategorikan terancam atau hampir terancam adalah marlin biru (Makaira nigricans), rentan; marlin putih (Kajikia albida), rentan; dan marlin bergaris (Kajikia audax), hampir terancam.

Kapal Pengawas Pencurian Ikan Ditambah

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, mengatakan pihaknya menambah sarana operasional 13 unit kapal speed boat pengawas. Sehingga total kapal ini mencapai 31 unit.

Kapal ini akan ditempatkan di enam kabupaten, satu dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi, satu Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga, dan lima Unit Pelaksana Teknis.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengklaim telah menyelamatkan potensi kerugian negara hingga Rp 1,27 triliun dari aksi perikanan ilegal. Capaian itu adalah hasil pengawasan dan pencegahan perikanan ilegal selama 2002-2007.

Menurut data DKP, kerugian yang bisa diselamatkan pada 2002 sebesar Rp 28,66 miliar dan 2007 sudah mencapai Rp 389,37 miliar.

Harun Mahbub

Sebelas Negara Bahas Illegal Fishing

TEMPO Interaktif, Nusa Dua:Perwakilan dari 11 negara berkumpul di Bali membicarakan penangan illegal fishing. Semua negara yang menggalang kerjasama ini memiliki perbatasan laut di laut Cina Selatan, laut Sulawesi dan Laut Arafura.

Pertemuan ini berlangsung di Nusa Dua, Bali, 4-Maret, ini dihadiri perwakilan dari Australia, Brunai Darussalam, Kamboja, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam dan Indonesia.

Menurut Dirjen Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Sularso, pertemuan ini kelanjutan dari kesepakatan Regional Plan Action (RPOA) untuk memerangi illegal fishing. ”Kita berharap akan ada model yang disepakati dan menguntungkan semua negara,” kata Aji di sela-sela pertemuan tadi pagi.

Indonesia berkepentingan untuk mendukung adanya RPOA karena tingginya kerugian yang diderita akibat illegal fishing. Hasil Operasi Dirjen Pengawasan Kelautan selama 2007 mencegah kerugian negara Rp 439 miliar. Selama tahun itu terdapat 184 kapal diajukan ke Pengadilan Adhock dari 2.207 kapal yang diperiksa.

Perhitungan kerugian negara terdiri dari Pajak Penghasilan Perikanan (PHP) Rp 34 miliar, subsidi BBM Rp 23,8 miliar dan nilai sumberdaya perikanan yang terselamatkan Rp 381 miliar. Bila sumberdaya perikanan dikonversi dengan produksi ikan mencapai sekitar 43,208 ton yang mampu menyerap tenaga kerja 17.870 orang.

Jumlah kasus yang telah ditangani oleh penyidik mencapai 150 kasus. Terdiri 63 kasus pelanggaran dokumen perizinan, 27 kasus alat tangkap terlarang, 128 kasus kelengkapan dokumen dan 10 kasus pelanggaran Fishing Ground. Adapun untuk pelaksanaan operasi, DKP didukung oleh alokasi anggaran APBN Rp 254 miliar. ROFIQI HASAN

Menlu Minta Aparat Tegas terhadap Pencari Ikan Ilegal

TEMPO Interaktif, Ciamis:Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda meminta aparat untuk bersikap tegas dalam mengatasi pencari ikan ilegal yang kerap masuk ke wilayah Indonesia.

“Laut kita begitu luas, sedangkan aparat kita begitu terbatas sehingga terbuka celah bagi nelayan asing yang mencari ikan secara ilegal di negeri kita,” kata Hassan seusai meresmikan koperasi nelayan di Pantai Karapyak, Desa Bagolo, Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Jawa Barat, Jumat (2/5).

Pemerintah, ia melanjutkan, harus memutar otak untuk mencegah nelayan asing masuk ke perairan Nusantara. Salah satu caranya dengan memberikan lisensi bagi kapal-kapal asing untuk beroperasi di Indonesia sejak September 2006.

“Tapi kita tahu kalau lisensi itu kemudian difotokopi atau digandakan, nama kapalnya diduplikasi. Sehingga izin yang kita berikan misalnya ada 100 kapal, tapi kenyataannya di lautan ada seribu kapal,” ujar Hassan.

Untuk mengatasi duplikasi itu, pemerintah kemudian menghentikan pemberian izin dan meminta pihak asing untuk menanamkan investasi di Indonesia.

Hassan mengakui dua cara itu belum memberikan hasil optimal. Karena itu, kata dia, ketegasan aparat dalam menangkap para pencuri itu harus terus ditingkatkan. "Bagaimana pun, tindakan penangkapan dan penenggelaman (para kapal asing itu) masih harus dilakukan," kata Hassan. Rana Akbari Fitriawan

Departemen Kelautan Ajukan Tambahan Anggaran Patroli

TEMPO Interaktif, Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan mengusulkan tambahan anggaran untuk penangkapan kapal pencuri ikan. Penambahan ini untuk biaya operasional selama 50 hari.

Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Aji Sularso mengatakan anggaran tahun ini hanya untuk 100 hari karena pengaruh harga bahan bakar minyak. Sedangkan pengawasan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia membutuhkan anggaran yang besar.

"Kami sedang ajukan anggaran untuk penambahan 50 hari operasi," ujar Aji usai meninjau kapal asing Thailand dan Vietnam yang ditangkap di Muara Baru, Jakarta Utara, Selasa (16/9).

Menurut Aji, anggaran tahun ini untuk 100 hari sekitar Rp 53 miliar. Sedangkan kapal ikan asing yang ditangkap hingga September ini sudah melebihi tahun lalu, yakni 186 kapal. Kapal ilegal ini kebanyakan ditangkap di Natuna dan Bitung.

"Tahun lalu hanya 181, makanya kami ajukan tambahan lagi. Kami pun juga yakin illegal fishing juga meningkat," ujar Aji.

Direktur Kapal Pengawas Ditjen P2SKP Willem Gaspersz mengatakan potensi illegal fishing seluruh Indonesia mencapai Rp 30 triliun. Hal ini dihitung dari jumlah tangkapan ikan yang ada.

Departemen baru-baru ini menangkap sembilan kapal Thailand dan Vietam. Mereka ditangkap di salah satu titik potensial tangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah Natuna. Natuna, kata Aji, adalah salah satu wilayah potensial selain daerah Sulawesi dan Arafura.

Kapal-kapal ini mampu menampung 15-20 ton ikan. Jaring yang mereka gunakan sepanjang 3.000 meter yang mampu menjaring hampir semua ikan. Kapal-kapal ini ditangkap dengan muatan kurang lebih 10 ton selam enam hari melaut.

Dian Yuliastuti

Pemerintah Minta Program Kelautan dan Perikanan Dievaluasi

TEMPO Interaktif, Jakarta:Wakil Presiden, Jusuf Kalla, meminta akademisi mengevaluasi program dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan kelautan dan perikanan selama 5 tahun terakhir. Kalla berpendapat pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus terpadu.

"Wakil presiden meminta (program) yang sudah ada harap dievaluasi," kata Ketua Tim Pengarah Rembuk Kelautan Nasional, John Haluan, usai bertemu Wakil Presiden, Jusuf Kalla, di kantor Wakil Presiden, Kamis (8/1).

Selama ini, sektor kelautan dan perikanan belum menjadi prioritas pembangunan. Akibatnya, sekitar 4 juta penduduk pesisir miskin. Persoalan di bidang kelautan diantaranya illegal fishing dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi laut.

Anggota tim pengarah, Ari Purbayanto, mengatakan pembangunan kelautan dan perikanan dilakukan dengan membangun sumber daya manusia dan infrastruktur. Pengembangan industri perikanan harus dilakukan melalui pengadaan kapal penyeberangan, kapal tangkap, serta kapal patroli.

Kalla berpendapat, ujar dia, listrik merupakan penunjang utama industri perikanan. Usaha penangkapan ikan harus dilengkapi cold storage yang membutuhkan daya listrik cukup besar. "Untuk membangun perikanan butuh listrik yang memadai," ujarnya.

Anggaran untuk pemerintah daerah, kata John, selama ini masih dihitung berdasarkan luas wilayah daratan. Padahal, pemerintah daerah juga harus menangani wilayah lautan yang sulit dijangkau. Dia meminta pemerintahan mendatang memperhitungkan luas wilayah lautan untuk pengelolaan daerah. "Anggaran daerah tidak cukup untuk membiayai transportasi laut dan antar pulau ketika pemerintah daerah meninjau wilayah lautan," katanya.

Dia berharap partai politik yang nantinya berkuasa lima tahun mendatang memiliki visi pembangunan kelautan dan perikanan. Namun, kalangan akademisi tidak berniat membuat kontrak sosial bagi partai politik agar konsisten membangun kelautan dan perikanan. "Mau sampai hitungan tahun ke berapa negara ini merdeka baru akan mencapai masyarakat adil dan makmur kalau partai tidak bervisi membangun kelautan dan perikanan?" katanya.

Kejahatan Perikanan Rugikan Negara Rp 30 Triliun

TEMPO Interaktif, Jakarta:Kerugian negara akibat <I>illegal fishing</I> atau pencurian ikan oleh nelayan asing mencapai Rp 30 triliun setiap tahunnya. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, pencurian ikan marak karena negara asal nelayan asing itu memiliki industri perikanan tapi kekurangan pasokan bahan baku. “Kalau mereka tak bisa mendapatkannya melalui kerja sama (legal), alternatifnya mereka mencuri di Indonesia,” kata Freddy seusai meneken nota kesepahaman dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji di Kejaksaan Agung, Selasa (31/3).

Freddy menjelaskan, untuk mengurangi tindak pidana kejahatan itu, pemerintah menambah syarat dalam izin penangkapan ikan di perairan Nusantara. Pemerintah meminta negara asal nelayan untuk membuka industri pengolahan ikan di Indonesia. “Kapal mereka harus mendaratkan ikannya dulu,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan, Adji Sularso, menuding Thailand sebagai negara yang mencuri ikan paling banyak. Kendati pada tahun lalu kapal Vietnam paling banyak tertangkap, kata dia, “Kerugian paling besar disebabkan ulah nelayan Thailand.”

Adji menambahkan, selain menambah syarat dalam perizinan, untuk mengurangi maraknya pencurian ikan, departemennya juga menyiapkan sejumlah perangkat di bidang hukum. Di antaranya, menambah jumlah pengadilan perikanan. Saat ini pengadilan perikanan hanya ada di Jakarta Utara, Pontianak, Bitung, Medan dan Tual. Departemen, kata dia, mengusulkan agar pengadilan khusus itu juga dibuka di Rane, Tanjung Pinang, dan Timika.

Adji menyatakan, adanya nota kesepahaman antara Departemen Kelautan dengan Kejaksaan, waktu penyidikan kasus kejahatan perikanan bisa dipersingkat. Sebab, kata dia, jaksa dilibatkan sejak awal penyidikan. “Tak akan ada lagi bolak-balik perkara dari penyidik ke jaksa,” ujarnya.

Dia melanjutkan, proses hukum yang cepat itu juga bisa menutup celah bagi tersangka lolos dari celah hukum. Menurut dia, lamanya proses penyidikan hingga penuntutan kerap dimanfaatkan tersangka melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan praperadilan. “Kalau mereka menang, kasus berhenti,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, dalam Rancangan Undang-Undang Perikanan yang sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah mengusulkan, pelaku <I>illegal fishing</I> bisa dijerat dengan pasal pidana <I>money laundering</I> atau pencucian uang. Meski, kejahatan perikanannya sulit dibuktikan.

Saat ini, kata dia, penyidikan kejahatan pencucian uang menjadi buntu bila tindak pidana pokoknya tak terbukti. ”Nantinya, penyidik bisa melakukan penyidikan tindak pidana ikutan, seperti pencucian uang, dalam waktu bersamaan,” ujar Hendarman.

Indonesia Didesak Naikkan Sanksi Illegal Fishing " Banyak putusan pengadilan yang menghukum ringan pelaku. "

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f84f7fe8617f/lt4f859f555cc02.jpg
Suasana seminar 30 tahun Konvensi Hukum Laut 1982 di Universitas Padjadjaran. Foto: Hot

Luasnya wilayah perairan Indonesia, dan lemahnya pengawasan pihak berwenang terhadap kegiatan perikanan, seringkali dimanfaatkan nelayan asing untuk melakukan illegal fishing di laut teritorial Indonesia. Sebagian pelaku memang dibawa ke proses hukum.
 
Sayangnya, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku illegal fishing masih terbilang rendah. “Sebenarnya, ketika Undang-Undang Perikanan dirancang, kita menganggap sanksi yang tercantum sudah cukup tinggi dan tegas. Tetapi sanksi yang dijatuhkan dalam pengadilan justru lebih rendah,” terang Etty R Agoes, pakar hukum laut Fakultas Hukum Unpad, saat menjadi pembicara untuk seminar peringatan 30 tahun Konvensi Hukum Laut 1982, di Universitas Padjadjaran, Kamis (05/4).
 
Ketentuan pidana dalam dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, beragam mulai dari 100 juta hingga 20 miliar rupiah. Belum lagi pidana penjara yang bervariasi mulai dari satu tahun hingga enam tahun.
 
Faktanya, begitu banyak terdakwa kasus perikanan yang diganjar hukuman ringan. Cek Wan Jainuddin, warga negara Malaysia, yang ditangkap polisi karena illegal fishing, hanya diganjar hukuman lima bulan penjara di PN Tanjungpinang. Upaya jaksa mempersoalkan vonis itu juga kandas di Mahkamah Agung. Demikian juga putusan terhadap Aling Samehe. Warga negara Filipina ini tertangkap patroli TNI AL di perairan Talaud, Sulawesi Utara. PN Bitung menjatuhkan denda 30 juta dari 100 juta yang diminta jaksa. Upaya jaksa kasasi juga kandas. Malah, dalam perkara Wahab Coang, WNI yang diadili karena penangkapan ikan di Raja Ampat menggunakan bahan kimia, divonis bebas PN Sorong. Kasasi jaksa juga tidak dapat diterima.
 
Ketiga kasus hanya contoh dari begitu banyak putusan pengadilan yang menghukum ringan pelaku. Tidak aneh, dunia internasional mengkritik Indonesia. Menurut Prof. Etty, ketentuan dalam UU Perikanan dan rendahnya sanksi yang dijatuhkan dalam kasus illegal fishing di Indonesia, membuat Uni Eropa mendesak Indonesia untuk meningkatkan ancaman sanksi pidana yang tercantum.
 
“Uni Eropa meminta Indonesia untuk meningkatkan sanksi pidana dalam UU Perikanan. Hal ini bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kegiatan IUU fishing, yaitu illegal, unreported, and unregulated, yang kebetulan banyak terjadi di Indonesia,” lanjut Etty.
 
Etty lebih lanjut menjelaskan bahwa Uni Eropa meminta penyesuaian sanksi pidana dalam UU Perikanan bisa dilakukan Juli tahun ini. “Ini sebenarnya agak sulit, karena diatur dalam Undang-Undang, sehingga perubahannya di DPR bisa memakan waktu yang cukup lama,” ujarnya.
 
Salah satu cara yang bisa dilakukan, menurut Etty, adalah melihat peraturan-peraturan yang ada, dan memodifikasinya sedikit untuk memberikan arahan ke sanksi yang lebih tinggi. “Ini hanya sekedar upaya mengatasi durasi pembuatan undang-undang yang cukup memakan waktu,” terang Etty.
 
Pada kesempatan yang sama, hakim agung Mieke Komar, menjelaskan, sejak tiga tahun belakangan, sudah ada beberapa pengadilan ad hoc perikanan yang didirikan di berbagai kota. Ia yakin pembentukan pengadilan perikanan bisa mengatasi salah satu masalah penanganan kasus. “Pengadilan ini bisa mengatasi persoalan dalam kasus perikanan yang biasanya sulit untuk ditangani oleh hakim biasa. Sehingga perlu hakim khusus yang mengatasi kasus perikanan, atau hakim ad hoc perikanan,” jelas Mieke.
 
Mieke melanjutkan bahwa dari berbagai kasusillegal fishing yang terjadi, tren yang berkembang adalah menjatuhkan sanksi yang tinggi ketimbang menahan para pelaku. “Biasanya pelaku sudah lari, sehingga tidak bisa ditahan. Perahu yang mereka gunakan sebenarnya bisa dilelang untuk kepentingan negara,” pungkas Mieke. ( http://www.hukumonline.com )

MAFIA PERIKANAN III, ICW Seriusi Laporan Praktek Illegal License


KERUGIAN negara di sektor perikanan mencapai Rp 218 triliun. Kebocoran uang negara ini berasal dari praktek illegal license (perizinan tidak sah) di Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta dampak ikutannya yang dilakukan oleh para pengusaha perikanan di Indonesia.  Forum Pers Pemerhati Perikanan Nasional (FPAN) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) juga akan membawa kasus ini ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diselidiki.
Ketua Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional( FP4N), Ivan Rishky Kaya, mengungkapkan besarnya kerugian negara di sektor perikanan ini, diakibatkan adanya manipulasi perizinan yang dilakukan oknum pejabat di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta manipulasi yang dilakukan oleh pengusaha perikanan. Akibat dari praktek ini, bukan hanya Negara yang kehilangan potensi perikanannya karena dicuri, tetapi daerah juga kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Dari izin sampai pengerukan hasil laut yang dimanipulasi, maka tak heran daerah yang memiliki potensi perikanan yang  besar tak pernah sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan adanya kemiskinan di daerah-daerah sentra tangkapan perikanan,” ujar Ivan kepada Indonesia Maritime Magazine belum lama ini.
Ivan menilai jika hal ini dibiarkan, bukan negara saja yang rugi, masyarakat dan daerahnya pun juga dirugikan. Sebab, masyarakatnya tetap miskin dan daerahnya juga tertinggal. “Sektor perikanan Indonesia potensial, tapi saat ini hancur karena mafia perikanan, bahkan nelayan pesisir tidak hanya terancam menganggur, tetapi akan tetap hidup di bawah kemiskinan,” terangnya.
Mafia perikanan menurut Ivan, bukan hanya melibatkan oknum-oknum petugas di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu sendiri, melainkan terindikasi melibatkan oknum aparat kepolisian dan oknum aparat hukum.
Potensi kita menjadi Negara yang kaya dari segi perikanan sangatlah dimungkinkan, namun tidak akan terwujud apabila mafia perikanan ini tidak dibersihkan. Untuk itu, kami (FP4N) telah menyerahkan bukti-bukti ke KKP dan ICW,” tambah pria kelahiran Kota Ambon.
Ivan menjelaskan, Menteri Kelautan dan Perikanan yang merupakan salah satu petinggi di kepengurusan DPP Partai Golkar, Fadel Muhammad hanya mengembar-gemborkan adanya pemberantasan atau penangkapan pelaku illegal fishing yang terjadi di perbatasan laut Indonesia, sedangkan illegal license terjadi di dalam (wilayah) laut Indonesia, dengan cara menggunakan Bendera Indonesia, tetapi isinya orang  asing yang diduga  mendapatkan izin manipulatif dari KKP tidak digembar-gemborkan untuk diberantas.
“Pak Menteri hanya suka menggembar-gemborkan penangkapan pelaku illegal fishing. Namun oknum-oknum di KKP sendiri yang terindikasi kuat melakukan illegal license tidak pernah diberantas atau diungkapkan ke publik,” sesal Ivan.
Ivan menegaskan, dengan adanya tindakan dari oknum pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat  Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) tanpa melalui prosedur sebenarnya yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 juto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap merupakan suatu bentuk kejahatan yang terstruktur.
“Dari perizinan saja ini sudah ada bentuk kejahatan melanggar hukum yang terorganisir. Dampaknya, Negara mengalami kehilangan uang sebesar ratusan triliun begitu saja.  Belum lagi perusahaan perikanan yang tidak berbasis industri, sama saja membunuh nelayan kita perlahan-lahan,” ungkap Ivan.
Ivan mencontohkan, ada perusahaan yang tidak memiliki Unit Pengolahan Ikan (UPI) sudah mengantongi izin untuk  beroperasi, bahkan sudah beroperasi kurang lebih 1 tahun. Padahal didalam Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 sudah jelas bahwa perusahaan perikanan wajib memiliki UPI.
Perusahaan tersebut lanjut Ivan, bernama PT. Sumber Laut Utama. Lebih parahnya lagi, hal ini terkuak saat Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dedy Heryadi Sutisna ketika berkunjung ke Kota Ambon untuk menghadiri Rapat Koordinasi dan Evaluasi Intervensi program Minapolitan di Swiss Belhotel Ambon, pada Selasa, 19 April 2011.
“Ini kejadian yang sangat mustahil, dimana seorang Dirjen menanyakan perusahaan tersebut dan ternyata tidak memiliki UPI. Sementara yang menandatangani surat perizinan adalah Dirjen Perikanan Tangkap. Ini sama saja Dirjen melanggar Peraturan Menteri,” kata Ivan.
Selain tidak mempunyai UPI, ternyata FP4N juga menemukan adanya perusahaan yang menjadi bapak angkat bagi perusahaan perikanan yang ada di Indonesia. Perusahaan tersebut bernama PT. Yongshun, yang mana peran dari perusahaan (bapak angkat) tersebut sangat terstruktur yakni bisa menyedikan kapal penangkap, kapal pengangkut, menyuplai BBM, mengatur jadwal keluar masuk atau kedatangan kapal, dan mempunyai hubungan yang harmonis dengan aparat penegak hukum sehingga kapal-kapal milik perusahaan yang merupakan jaringan dari “bapak angkat” tersebut kurang lebih 2 tahun tidak pernah tertangkap.
Bagian Humas Dirjen Perikanan Tangkap, Sofie tentu saja membantah atas tudingan itu. Menurut Sofie, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tidak mengeluarkan izin apabila syarat-syarat perizinan tidak lengkap sesuai peraturan menteri tersebut.
“Tentu saja kami tidak mengeluarkan izin bagi perusahaan perikanan yang tidak sesuai prosedur,” bantah Sofie kepada Indonesa Maritime Magazine belum lama ini walaupun tentunya dia tidak paham apa yang sesungguhnya telah terjadi di lapangan.
Menanggapi hal tersebut, Ivan menantang pihak KKP untuk langsung meninjau ke lapangan agar melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana praktek mafia perikanan itu beraksi.
“Kita dari FP4N siap menunjukkan kepada pihak KKP apa yang terjadi di lapangan, jangan hanya duduk manis di kantor, sebaiknya turun lapangan biar tahu. Sebab, bukti-bukti adanya mafia perikanan di Indonesia telah kami serahkan ke Presiden SBY. Informasi terakhir yang kami dapat, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapat teguran dua kali oleh Presiden dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sudah menyelenggarakan rapat atau pertemuan dengan pihak perusahaan perikanan untuk mencari solusi terkait temuan kami (FP4N) yang akan secepatnya kita tindak lanjuti ke KPK,” sambung Ivan.
Kepala Pusat Data Dan Analisis ICW, Firdaus Ilyas, terkejut atas penemuan hasil investigasi FP4N. Ia mengatakan, kerugian negara dalam temuan ini sangat besar dan diperkirakan mencapai 25 persen dari penghasilan sektor perikanan.
“Kerugian negara dalam data ini disebutkan sangat besar dan diperkirakan mencapai 25 persen dari penghasilan sektor perikanan kita ini penting, coba bayangkan bagaiman jika hal ini bisa di berantas,” tegasnya.
Firdaus mengatakan, data yang diberikan FP4N bisa menjadi acuan tata kelola dan pengawasan KKP dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Dari temuan itu, lanjut Firdaus, bisa dijadikan langkah awal untuk dilaporkan ke kantor penegak antikorupsi. “Kami akan pelajarin data temuan ini, dan secepatnya akan kami laporkan ke KPK,” terang Firdaus.

Fadel Mimpi Indonesia Exportir Ikan Terbesar Dunia..?
DARI hasil kajian dan temuan investigasi Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) terindikasi adanya praktek mafia perikanan dengan cara mengeluarkan perizinan yang tidak sah ini merugikan negara triliunan rupiah. Oleh karena itu, Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya dengan tegas mengatakan cita-cita untuk menjadi Negara pengekspor ikan terbesar dunia tahun 2015 hanya merupakan isapan jempol semata.
“Kementerian Kelautan dan Perikanan jangan bermimpi disiang bolong atau jangan pernah bermimpi Indonesia akan bisa menjadi pengekspor ikan terbesar dunia, jika aturan main tidak berpihak kepada industri perikanan yang nyata,” ujar Ivan.
Menurut  pria keturunan Arab Menado ini, kebanyakan perusahaan perikanan di Indonesia yang “katanya” memiliki kapal impor eks asing seperti kapal Cina, Thailand, dan kapal Taiwan yang menangkap ikan di perairan Indonesia, tidak membangun industri di Indonesia. Namun perusahaan perikanan tersebut  membangun industri perikanan di negara mereka yang menyebabkan negara merekalah yang lebih maju ketimbang Indonesia.
Hal ini lanjut Ivan, dikarenakan Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya berpihak pada Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang tidak mempunyai dampak bagi daerah dan negara. Sedangkan Industri perikanan sudah jelas berpihak pada masyarakat dan negara.
“Kalau perusahaan perikanan memiliki industri perikanan yang nyata di sini, jumlah tenaga kerja yang terserap sangat besar, perputaran uang di daerah dahsyat dan devisa negara juga sangat besar dan jelas. Belum lagi nilai investasi perusahaan, jelas ini sangat menguntungkan negara,” terangnya.
Menurut Ivan, dengan tidak berpihaknya aturan kepada sebuah industri yang nyata, maka dengan demikian masyarakat pesisir dan nelayan kecil secara tidak langsung telah dimiskinkan.
Ivan juga membeberkan, selain tidak memiliki UPI dan ada “bapak angkat” bagi perusahaan perikanan di Indonesia, ada perusahaan perikanan yang menggunakan alamat fiktif. Perusahaan itu bernama PT Maju Bersama Jaya, yang memiliki sebanyak 27 unit kapal dan satu unit kapal tremper (kapal pengangkut).
“Setelah kami mengantongi SIUP PT. Maju Bersama Jaya yang ditandatangani Dirjen Perikanan Tangkap, Dedy Heryadi Sutisna, kami mencari tahu apakah benar perusahaan tersebut beralamat di jalan Dullah Raya, Desa Ngadi KM 08, Kota Tual , Provinsi Maluku. Namun saat kita sampai disana, perusahaan tersebut (PT. Maju Bersama Jaya) tidak ada atau fiktif,” tegas Ivan.
Lebih parahnya lagi, kata Ivan, PT Maju Bersama Jaya sudah mengantongi SIUP yang telah direvisi sebanyak 7 kali dan sudah beroperasi kurang lebih 2 tahun, namun Unit Pengolahan Ikan (UPI) tidak jelas berada di daerah mana.  “Alamat PT. Majau Bersama Jaya ternyata setelah kita lacak adalah fiktif. Bahkan UPI dari perusahaan ini tidak kita ketahui berada dimana,” imbuhnya.
Menurut Ivan, mengenai permasalahan belum mempunyai UPI dan perusahaan perikanan fiktif namun diberikan izin serta alokasi kapal tangkap impor bekas asing dari Kementerian Kelautan dan Perikanan harus segera diusut aparat penegak hukum.
“KPK maupun Kepolisian dan Kejaksaan harus segera mengusut praktek mafia perikanan di Indonesia. Sebab hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada oknum pejabat KKP yang bermain mata dengan perusahaan perikanan ini seperti PT Sumber Laut Utama dan PT Maju Bersama Jaya. Karena perizinan dapat mereka kantongi yang diperoleh dengan cara-cara yang ilegal,” imbuhnya.
Lebih jauh Ivan mengatakan, permasalahan yang ditemukan saat ini adanya indikasi pengusaha yang mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum aparat penegak hukum. Hal ini yang menjadi kendala utama memberantas illegal fishing dan illegal lincese.
Menurut Ivan, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad selama ini hanya menggembor-gemborkan  pemberantasan illegal fishing yang cenderung terjadi di perbatasan perairan Indonesia. Padahal, illegal license telah mengkorupsi hak negara atas laut.

MAFIA PERIKANAN II: Modus Operandi Praktek Illegal License

FORUM Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) akhirnya menemukan modus terbaru yang digunakan oleh perusahaan perikanan yang ada dibeberapa daerah seperti Kabupaten Kepulauan Aru, Kota Tual, Kota Ambon, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna untuk menguras kekayaan laut di Indonesia. Modus yang digunakan tersebut adalah modus “illegal license”, yang mana arti dari “illegal license” adalah penyalahgunaan izin dan atau cara mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan aturan main.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya kepada Indonesia Maritime Magazine menjelaskan, terungkapnya modus “illegal license” ini setelah data-data yang diminta secara resmi dari beberapa instansi dan perusahaan perikanan serta hasil investigasi di lapangan yang kemudian dikaji maka ditemukanlah praktek yang sudah merugikan negara  ratusan triliun rupiah ini.
“Kalau saat ini kita mendengar berbagai mafia seperti pajak, hukum, pemilu, maka dibidang perikanan diduga ada oknum-oknum tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai Sindikat dari Mafia Perikanan karena membekingi pelaku illegal license,” papar Ivan.
Ivan menjelaskan, yang dimaksud dengan illegal license adalah manipulasi izin atau penyalahgunaan izin. Kapal tangkap milik perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia, sebagian besar hanya mengantongi izin formal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang didapat dengan cara mudah, namun setelah melakukan impor kapal asing, mereka (perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia) tidak membangun atau mengembangkan industrinya yang mengakibatkan daerah-daerah sentra tangkapan (Laut Arafura, Laut Natuna, Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Papua) tetap menjadi daerah miskin. Jika ada, izin tersebut didapati dengan cara-cara yang tidak sesuai mekanisme atau tidak sesuai aturan yang berlaku.
Selain itu, dengan adanya tindakan dari oknum-oknum di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), tanpa melalui prosedur yang sebenarnya, menyebabkan industri perikanan di Indonesia akan mati dengan sendirinya.
Dari fakta dilapangan banyak terjadi penyimpangan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Didalam Permen tersebut menjelaskan bagaimana proses penerbitan baru Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I), Surat Izin Usaha Perikanan Penanaman Modal (SIUP-PM), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Namun, ada beberapa proses yang tidak sesuai realita, tetapi dengan sengaja oknum aparat di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia membiarkan hal itu terjadi.
Sebagai contoh, mekanisme untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Perikanan  (SIUP-I dan SIUP-PM) diawali dengan Perusahaan Perikanan mengajukan surat konfirmasi alokasi ke BKPM dan diteruskan ke Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap c.q Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin tersebut diterima oleh Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan yang selanjutnya diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan untuk dikoordinasikan yang selanjutnya membentuk Tim Pemeriksaan Aset dan  Verifikasi Usaha Perikanan Tangkap Terpadu yang nantinya akan mengeluarkan rekomendasi hasil verifikasi, dan diserahkan kembali ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan mengeluarkan rekomendasi pemeriksaan aset dan verifikasi apakah layak atau tidak untuk diberikan izin.
Jika tidak layak, maka izin tidak diberikan, namun jika layak maka prosesnya akan berlanjut ke persetujuan dirjen untuk alokasi RAPIPM dengan cara mengeluarkan atau cetak RAPIPM, kemudian diteruskan lagi ke tahap pembuatan SPPM oleh BKPM yang nantinya diserahkan ke pihak pemohon izin untuk kemudian dibuat permohonan SIUP-PM. Setelah permohonan SIUP-PM dibuat oleh perusahaan perikanan, maka akan diserahkan ke Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan untuk diperiksa dokumennya. Jika tidak lengkap maka akan dikembalikan ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan, jika lengkap maka dilanjutkan ketahap verifikasi dokumen SIUP-PM yang nantinya jika sesuai maka akan dibuat rekomendasi hasil verifikasi yang kemudian diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan.
Setelah rekomendasi hasil verifikasi diterima selanjutnya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan akan menginput data dan cetak draft SIUP-PM. Setelah draft SIUP-PM dicetak, tahap selanjutnya perhitungan dan penetapan PPP, input data PPP dan cetak SPP-PPP yang kemudian diserahkan lagi ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan untuk melakukan pembayaran PPP di bank dengan membawa Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP). Setelah pembayaran PPP, SSBP lembar ke 5 diserahkan ke Subdit Tata Pengusahaan Dokumen Penangkapan Ikan untuk pengesahan validasi SSBP lembar ke 5 tersebut. Selanjutnya SSBP lembar ke 5 tersebut digabungkan dengan dokumen SIUP-PM dan diserahkan ke Subdit Pelayanan Dokumen Penangkapan Ikan untuk cetak copy SIUP-PM, pemeriksaan final hingga cetak SIUP-PM. Setelah SIUP-PM dicetak, diserahkan ke Direktur Jenderal untuk ditandatangani dan setelah ditandatangani diserahkan kembali ke pihak pemohon SIUP-I dan SIUP-PM yakni perusahaan perikanan.
“SIUP-I dan SIUP-PM adalah izin yang paling utama untuk seorang pengusaha bisa menjalankan bisnisnya dibidang perikanan, sebab izin-izin lainya (SIPI dan SIKPI) bisa didapat apabila sudah mengantongi SIUP-I dan SIUP-PM,” tutur Ivan.
Namun apa boleh dikata, kongkalikong dan izin operasi kapal ikan terus mengalir tanpa mengikuti prosedur yang tertuang dalam aturan main yang berlaku, yang mana dalam proses permohonan pengajuan alokasi hingga terbitnya SIUP-I, SIUP-PM terdapat praktek manipulasi.
Bukti dari penyalahgunaan prosedur terlihat pada saat permohonan pengajuan alokasi. Perusahaan perikanan yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan SIUP-I, SIUP-PM menggunakan proposal dengan kapasitas industri yang terpasang dan rencana pembangunan industri.
“Jika berbicara tentang sebuah industri, apalagi mengenai industri perikanan, maka proposalnya akan menerangkan tentang investasi dalam bentuk sebuah industri. Dari investasi sebuah industri tersebut, akan dijelaskan tentang beberapa hal yakni jumlah investasi, kapasitas produksi dan rencana kerja industri perikanan tersebut. Sedangkan untuk jumlah investasi, sudah tentu realisasi investasinya terlihat nyata. Namun jika berbicara tentang kapasitas produksi, maka didalam proposal tersebut akan berbicara mengenai jumlah kapal dan jenis produksi yang dibagi menjadi dua bagian yakni hasil produksi yang akan diekspor dalam bentuk untuh atau tidak diolah dan diekspor dalam bentuk produk olahan. Kalau mengenai rencana kerja, akan menjelaskan tentang Cash Flow Projection, Output Produk, Pendapatan (dari ekspor dan penjualan dalam negeri) serta tenaga kerja,” papar Ivan yang adalah pria kelahiran Kota Ambon Provinsi Maluku.
Namun yang terjadi adalah sejak izin diberikan tidak terlihat fisik dari sebuah industri tersebut dibangun, jumlah tenaga kerja lokal tidak masuk akal (sangat sedikit), kapal-kapalnya misterius dalam artian kapal berlayar tidak tahu kapan masuk dan keluarnya kapal tersebut, kapal berlayar berbulan-bulan bahkan sampai sembilan bulan namun hasil tangkapan sebanding dengan kapal yang berlayar hanya satu bulan. Selain itu terindikasi menggunakan dan atau membeli BBM illegal ditengah laut dikarenakan kapal yang berlayar berbulan-bulan mengisi BBMnya sangat sedikit, bahkan hasil tangkapan ada yang tidak didaratkan.
Bukan hanya itu, menurut Ivan, pada saat  Tim Pemeriksaan aset memverifikasi data dan aset industri yang sebenarnya adalah tidak sesuai. Bahkan pada saat evaluasi tahunan, pembangunan industri diduga sengaja dilupakan karena tidak dipertanyakan. “Hal ini harus segera kita berantas agar masyarakat kecil di Indonesia tidak lagi hidup dibawah garis kemiskinan,” ketus Ivan dengan nada geram.
Lebih jauh Ivan mengatakan, permasalahan yang ditemukan saat ini adalah ada indikasi pengusaha yang suka mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum aparat penegak hukum, dan hal inilah yang menjadi salah satu kendala utama mengapa hingga saat ini illegal fishing dan illegal license sulit diberantas.
Menurut Ivan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dibawah komando Fadel Muhammad selama ini hanya menggembar-gomborkan perberantasan illegal fishing yang cenderung hanya terjadi di perbatasan, sedangkan illegal license bukan hanya mengkorupsi hak negara atas laut, tapi secara nyata kapal asing beroperasi dengan memanipulasi perizinan oleh perusahaan hitam yang berkongsi dengan oknum pejabat KKP. Selain itu kapal-kapal tersebut berkapasitas daya tangkap diatas ratusan ton yang beroperasi di perairan Indonesia dan bukan diperbatasan. Bahkan, kapal-kapal yang beroperasi dengan modus illegal license lolos dari pengawasan patroli karena memiliki semua persyaratan, namun diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan untuk beroperasi (menangkap ikan).

Kongkalikong Mafia Perikanan “Perusahaan Hitam Berkerah Putih”
DARI hasil kajian yang dilakukan Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) untuk mengetahui kondisi dunia perikanan di Indonesia dengan sampel beberapa daerah seperti Kota Ambon, Kota Tual, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna, ternyata terindikasi adanya praktek manipulatif yang merugikan negara ratusan triliun dan dilakukan oleh perusahaan perikanan yang masuk dalam kategori “Perusahaan Hitam Berkerah Putih”.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya menunjukkan daftar Perusahaan Hitam Berkerah Putih yang merupakan lampiran dalam buku berjudul Rekomendasi dan Temuan Adanya Indikasi Praktek Mafia Perikanan Dan Praktek Manipulatif Pemberian Izin Eks Kapal Asing Kepada Perusahaan Perikanan Di Indonesia Yang Tidak Berbasis Industri dan Fiktif yang juga diberikan kepada Indonesia Maritime Magazine.
Sementara itu, kata Ivan, praktek yang dilakukan “Perusahaan Hitam Berkerah Putih” tergolong cantik dan bervariasi serta tidak diketahui oleh publik dikarenakan semua kapal milik perusahaan tersebut mengantongi izin yang sah dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia (RI). Hanya saja, proses untuk mendapatkan izin berupa Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
“Sebagai contoh, temuan FP4N saat Rapat Koordinasi dan Evaluasi Intervensi Program Minapolitan yang digelar di Swissbel hotel Ambon tanggal 19 April 2011 lalu, terungkap salah satu perusahaan yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon yakni PT. Sumber Laut Utama belum mempunyai Unit Pengolahan Ikan (UPI). Padahal, didalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 junto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap mengatur tentang tatacara untuk mendapatkan izin-izin baik itu berupa SIUP, SIPI dan SIKPI mewajibkan harus memiliki UPI” kata Ivan dalam nada geram.
Ivan juga menuturkan bahwa yang lebih tidak masuk akal lagi, hal ini (tidak mempunyai UPI) terbongkar saat Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS menanyakan apakah PT. Sumber Laut Utama sudah memiliki coldstorage dan Unit Pengolahan Ikan. Menurut Ivan, Ini merupakan sebuah kejadian yang sangat mustahil dimana seorang Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS menanyakan hal tersebut (tidak mempunyai UPI) kepada pihak PT. Sumber Laut Utama sementara yang menandatangani ijin-ijin tersebut adalah Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI itu sendiri.
Lebih parahnya lagi, perusahaan yang sudah mengoperasikan 17 kapal penangkap ikan ini (PT. Sumber Laut Utama) mengakui belum memiliki UPI, namun sudah mengajukan permohonan kepada pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon untuk menyewa UPI dan atau Cold storage pelabuhan milik pemerintah tersebut, padahal kapal-kapal milik PT. Sumber Laut Utama ini sudah beroperasi setahun lebih.
“Dengan demikian fasilitas milik Pemerintah seperti Pelabuhan Perikanan Nusantara hanya disewa oleh perusahaan perikanan yang mengakibatkan perusahaan tersebut tidak membangun industri nyata yang nantinya berdampak kepada daerah dan perekrutan tenaga kerja” papar Ivan.
Lebih jauh Ivan mengatakan, selain tidak mempunyai UPI, ada juga perusahaan perikanan yang menggunakan alamat perusahaan atau industri perikanannya fiktif. Perusahaan tersebut bernama PT. Maju Bersama Jaya yang mempunyai kapal penangkap sebanyak 27 unit dan 1 kapal tramper atau pengangkut serta sudah beroperasi kurang lebih 2 tahun. Perusahaan ini (PT. Maju Bersama Jaya) telah mengantongi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I) dari Ditjen Perikanan Tangkap KKP RI pada tanggal 13 April 2011 dengan nomor SIUP-I yaitu 01.04.02.0351.4863 yang diterbitkan diatas blangko bernomor A004073 beserta 2 lembar lampiran SIUP-I yang diterbitkan diatas blangko bernomor B004959 (lampiran 1) dan blangko bernomor B004960 (lampiran 2) yang masa berlakunya sampai dengan 30 Januari 2038 dan ditandatangani Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS.
Namun apa boleh dikata, praktek mendapatkan izin dengan gampang dari KKP RI ini ditemukan FP4N ketika mengantongi dan mencari tahu kebenaran alamat dari PT. Maju Bersama Jaya yang berlokasi di Jalan Dullah Raya Desa Ngadi Km. 08 Kota Tual Provinsi Maluku (sesuai alamat yang tercantum didalam SIUP-I tersebut). Sesampainya tim FP4N di lokasi tersebut, ternyata perusahaan dengan nama penanggung jawab Daniel dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 02.239.554.5-941.000 tidak ada batang hidungnya atau fisik bangunan dari perusahaan tersebut tidak ada.
Padahal, SIUP-I bernomor 01.04.02.0351.4863 ini merupakan revisi ke 7 dari IUP sebelumnya yang diterbitkan tanggal 25 Nopember 2009 yang dinyatakan tidak berlaku lagi, dengan referensi Surat Permohonan SIUP-I : Perubahan bernomor 004/MBJ/XII/2010 tertanggal 22 Februari 2011 dan tanggal terima SSBP lunas yakni pada tanggal 13 April 2011 dengan jenis kegiatan penangkapan dan pengangkutan (sesuai yang tertera pada kolom catatan SIUP-I milik PT. Maju Bersama Jaya).
Bukan hanya itu, setelah ditelusuri ternyata PT. Maju Bersama Jaya sedang terlibat masalah karena salah satu kapal milik PT. Maju Bersama Jaya melakukan transshipment dengan kapal pengangkut asing dilaut Papua New Guinea.
“Mengenai permasalahan belum mempunyai UPI dan perusahaan perikanan atau industri perikanannya fiktif namun diberikan izin serta alokasi kapal tangkap impor eks asing dari KKP RI, FP4N meminta aparat penegak hukum baik itu KPK dan lainnya, dapat menyelidiki praktek tersebut yang dimulai dari KKP RI hingga ke perusahaan perikanan itu sendiri. Sebab hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada oknum-oknum di KKP RI yang “bermain mata” dengan kedua perusahaan ini (PT. Sumber Laut Utama dan PT. Maju Bersama Jaya) sampai izin-izin tersebut dapat mereka kantongi,” kata pria kelahiran Kota Ambon, Provinsi Maluku.
Bukan hanya itu, Ivan juga menjelaskan, kalau permasalahan ini (tidak mempunyai UPI serta perusahaan atau industri perikanannya fiktif) namun diberikanan izin dari KKP RI, merupakan dua temuan dari berbagai temuan manipulatif lainnya yang dilakukan ratusan bahkan bisa ribuan kapal milik puluhan perusahaan perikanan yang ada di beberapa daerah yang menjadi sampel dari FP4N.
“Ini hanya 2 temuan dari berbagai temuan yang ditemukan FP4N untuk diketahui publik. Sebab masih ada temuan-temuan lainnya yang akan kita (FP4N) buka agar publik mengetahui sepak terjang dari perusahaan hitam berkerah putih serta adanya keterlibatan oknum-oknum di KKP RI yang dengan gampang memberikan izin baik itu SIUP, SIPI dan SIKPI serta izin menggunakan fasilitas milik pemerintah (fasilitas pelabuhan pemerintah) oleh perusahaan hitam berkerah putih dengan cara disewakan yang jelas sangat merugikan negara” tutup Ivan.

MAFIA PERIKANAN “Illegal License Maling Ikan Trilyunan Rupiah”

INDONESIA yang terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah perairannya sangat rawan terjadi penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing). Masalah Illegal Fishing sebenarnya sudah menjadi masalah klasik dan sejak dulu tidak pernah ditangani tuntas.
Saat ini, kasus illegal fishing sudah hampir tidak terdengar lagi bukan karena angka pelanggarannya berkurang dan ketatnya pengawasan dari aparat penegak hukum yakni Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut (AL) untuk menjaga laut di Indonesia, namun jika masih ada kasus illegal fishing yang berhasil ditangkap kapal patroli, kebanyakan adalah kapal berukuran kecil milik nelayan asing yang biasanya terjadi di wilayah perbatasan laut.
Sedangkan Kapal-kapal diatas 100 Gross Tonage (GT), bukan hanya melakukan praktek illegal fishing tetapi saat ini juga banyak melakukan praktek illegal license (penyalahgunaan ijin).
Yang dimaksud dengan illegal license adalah manipulasi ijin atau penyalahgunaan ijin. Kapal tangkap milik perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia, sebagian besar hanya mengantongi ijin formal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang didapat dengan cara mudah, namun setelah melakukan impor kapal asing, mereka (perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia) tidak membangun atau mengembangkan industrinya yang mengakibatkan daerah-daerah sentra tangkapan (Laut Arafura, Laut Natuna, Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Papua) tetap menjadi daerah miskin. Jika ada, ijin tersebut didapati dengan cara-cara yang tidak sesuai mekanisme atau tidak sesuai aturan yang berlaku.
Praktek illegal license tersebut dilakukan ribuan kapal yang melakukan aktivitas di laut Indonesia, seperti Laut Arafura, Laut Aru, Laut Banda dan lain-lain. Bahkan kapal-kapal tersebut berhasil mengelabui aparat.
Praktek illegal license saat ini marak terjadi dan hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi merugikan sebagian besar rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan adanya penyalahgunaan pemberian ijin dan proses untuk mendapatkannya.
Pemerintah seringkali membesar-besarkan jika ada penangkapan pelaku illegal fishing yang pada kenyataannya merupakan kapal-kapal milik nelayan asing yang melakukan pelanggaran di perbatasan laut. Tetapi tanpa disadari, oknum-oknum tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sebenarnya melakukan praktek illegal license yang menyebabkan Negara dirugikan triliunan rupiah.
Kalau saat ini hukum bisa dibeli oleh seorang Gayus Tambunan mengenai kasus pajak, maka dibidang perikanan diduga ada oknum-oknum tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai Mafia Perikanan karena membekingi pelaku illegal license.
Selain itu adanya tindakan oknum-oknum di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang sengaja menjual belikan perijinan impor kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), tanpa melalui prosedur yang sebenarnya, menyebabkan industri perikanan di Indonesia akan mati dengan sendirinya. Hal ini harus segera di berantas demi kesejahteraan rakyat kecil.
Bukan hanya itu, permasalahan yang ditemukan saat ini adalah ada indikasi pengusaha yang suka mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum aparat penegak hukum, dan hal inilah yang menjadi salah satu kendala utama pemerintah memberantas illegal fishing dan illegal license.
Pemerintah, aparat penegak hukum (Kepolisian dan TNI AL) serta masyarakat seharusnya dapat bekerjasama memberantas praktek-praktek KKN yang dilakukan para pengusaha perikanan melalui praktek illegal license, guna meminimalisir kerugian Negara dan terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Tanpa disadari, praktek illegal fishing dan illegal license telah merusak sumber daya alam kita, karena selain kekayaan laut dikuras, juga berdampak terhadap kerusakan lingkungan kelautan kita.
Kerugian yang harus ditanggung bangsa akibat aksi pencurian ikan oleh nelayan asing yang melakukan praktek illegal license bukan hanya menyangkut jutaan ton ikan yang habis dikuras setiap tahunnya, tapi juga berdampak pada kerusakan terumbu karang. Tak cukup sampai disitu, praktek-praktek illegal fishing dan illegal license yang dilakukan para nelayan asing telah merusak hutan bakau (mangrove). Seperti yang terjadi di  pantai Selat Makasar yang dapat menimbulkan abrasi.

Mampukah Fadel Muhammad Berantas Illegal License?
Hasil kajian yang dilakukan oleh Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) di beberapa wilayah menunjukkan bahwa praktik mafia perikanan sudah sangat memprihatinkan. Beberapa waktu yang lalu Indonesia Maritime Magazine berbincang dengan Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya di Jakarta, mengungkapkan begitu banyak fakta operasi mafia perikanan di Indonesia.
“Kajian yang kami (FP4N) lakukan dengan survey lapangan dengan mendatangi beberapa instansi pemerintah dan swasta serta mengamati langsung di lapangan” kata Ivan. Apa yang dipaparkan Ivan membuat bulu roma berdiri bak mendengar cerita horror. Lebih parahnya lagi, praktek mafia perikanan di periaran Indonesia terjadi ditengah kemiskinan nelayan dan gembar-gembor sang Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad untuk memberantas illegal fishing.
Namun apa boleh dikata, kongkalikong dan ijin operasi kapal ikan terus mengalir tanpa mengikuti prosedur yang tertuang dalam aturan main yang berlaku. Kementerian Kelautan dan Perikanan senantiasa mengumandangkan “perang” terhadap para pelaku illegal fishing, tapi dalam prakteknya justru memelihara para bandit pencuri ikan dengan modus illegal license dengan cara memani-pulasi penerbitan bahkan penyalahgunaan ijin kapal penangkap ikan.
Fakta dilapangan yang FP4N miliki menunjukkan banyak terjadi penyimpangan ter-hadap Permen No.5 Tahun 2008 junto No.12 Tahun 2001 tentang Usaha Perikanan Tangkap, pada saat proses penerbitan baru surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I), Surat Izin Usaha Perikanan Penanaman Modal (SIUP-PM), Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Ijin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Dalam proses permohonan pengajuan alokasi hingga terbitnya SIUP-I, SIUP-PM, ada beberapa proses yang tidak sesuai realita, tetapi dengan sengaja oknum aparat di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP membiarkan hal itu terjadi.
Hasil analisis yang dilakukan oleh FP4N tentang kerugian Negara yang diakibatkan oleh praktek mafia perikanan sangat mengerikan. “Dengan asumsi ijin 5.000 kapal impor eks asing tidak berbasis industri, serta berdasarkan analisa diatas, maka FP4N menyatakan bahwa Kerugian Negara akibat pemberian ijin tidak berbasis Industri berdampak kepada terjadinya illegal fishing dan illegal license dengan mengacu pada harga ikan kualitas rendah di Thailand (US$ 2.000,-/ton) maka kerugian Negara adalah sebesar Rp 218.450.000.000.000,- pertahun” papar Ivan.
Menurut Ivan ada beberapa perusahaan yang terindikasi melakukan praktek mafia perikanan berdasakan kajian FP4N adalah PT. Pusaka Benjina Resources, PT. Dwi Karya Reksa Abadi, PT. Yongshun, PT. Maju Bersama Jaya, PT. Tanggul Mina Nusantara, PT. Samudera Pratama Jaya, PT. Hadidgo, PT. Jaring Mas, PT. Thalindo Arumina Jaya, PT. Kristalin Eka Lesari, PT. Sumber Laut Utama, PT. Nusantara Fishery, PT. Tofico, PT. Sinar Abadi Cemerlang, PT. S&T Mitra Mina Industri, PT. Bonecom dan PT. Vinisi Inti Line.
“Perusahan lokal yang diduga menjadi broker dan terindikasi melakukan praktek mafia perikanan adalah PT. Yongshun yang diduga dibekingi seorang politisi yang cukup terkenal” lanjut Ivan.
“Sebagai contoh, PT. Dwikarya Reksa Abadi berdasarkan kajian dan penelusuran FP4N memiliki asset yang sangat besar di Negara China, seperti membangun terowongan dan jalan tol dari hasil jarahan ikan di Indonesia” cetus Ivan seraya menunjukkan company profile perusahaan tersebut.
Melihat realitas yang terjadi, ini sungguh ironis, sebab sebuah negara kepulauan yang kaya dengan sumberdaya alam yang sangat melimpah, masyarakatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara segelintir orang dengan kekuasaan yang mereka miliki lantas melakukan perbuatan keji dengan berkolaborasi dengan para maling dan bandit dari Negara lain untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Bahkan akibat maraknya illegal license ini, industri perikanan yang besar dan nyata lambat laun bisa gulung tikar jika tidak ada upaya pemerintah untuk segera menghentikan praktek mafia illegal license ini.
“Sebaiknya oknum-oknum yang terlibat dalam memuluskan langkah para mafia ini dilaporkan kepada KPK atau pihak yang berwenang karena telah menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat negara” lanjut Ivan
Masalah illegal fishing yang selama ini di gembar-gemborkan Kementerian Kelautan dan Perikanan ternyata memiliki dampak yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan praktek illegal license ini. Hal ini  dikarenakan, illegal license bersifat lebih massif dan jumlah kapal yang beroperasi dengan menggunakan illegal license ini jauh lebih banyak. Malah terkadang, kapal-kapal ini lolos dari pengawasan patroli karena memiliki semua persyaratan (diperoleh secara illegal) untuk beroperasi (menangkap ikan).
“Illegal fishing itu ibarat penyakit kanker tapi belum sampai pada stadium I, sementara illegal license itu sudah masuk dalam kategori kanker stadium IV, karena sudah merusak tatanan baik birokrasi maupun politik di republik ini” tutur Ivan dalam nada geram.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP adalah institusi yang paling bertanggung jawab dengan maraknya praktek mafia perikanan tangkap di Indonesia. Dalam hal ini, memberikan keleluasaan kepada para mafia perikanan untuk menguras sumberdaya alam Indonesia dengan cara-cara yang keji.
“Namun pertanyaan kita (FP4N), mampukah seorang Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan membereskan anak buahnya yang telah berbuat keji tersebut” pungkas Ivan seraya menunjukkan hasil kajiannya.
Berdasarkan kajian yang ada, tentunya sudah saatnya rakyat Indonesia segera mengentikan praktek mafia perikanan yang memiskinkan nelayan dan merugikan negara triyunan rupiah. Mari kita bersatu padu untuk segera mengungkap dan membongkar praktek mafia perikanan di Indonesia.

DESTRUCTIVE FISHING, Ancam Kelestarian Ekosistem Laut


KEGIATAN penangkapan yang dilakukan  nelayan seperti  menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan. Kegiatan ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik bagi ekosistem perairan, akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan khususnya oleh nelayan tradisional.
Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan karang yang banyak, digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing. Karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut, dan berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang.
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan tradisional di dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya di dalam melakukan penangkapan ikan-ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik, baik bagi ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada lokasi penangkapan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Kegiatan yang marak dilakukan oleh nelayan adalah dengan menggunakan obat bius atau bahan beracun lainnya. Bahan beracun yang umum dipergunakan dalam penangkapan ikan dengan pembiusan seperti sodium atau potassium sianida. Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap ikan hias dan hidup, memicu nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang merusak dengan menggunakan racun sianida. Kegiatan ini umum dilakukan oleh nelayan untuk memperoleh ikan hidup.
Hasil yang diperoleh dengan cara ini memang merupakan ikan yang masih hidup, tetapi penggunaannya pada daerah karang memberikan dampak yang sangat besar bagi terumbu karang. Selain itu penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang tertentu. Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi mabuk dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama kelamaan karang menjadi mati.
Kegiatan lain yang termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang. Kegiatan ini merupakan kegiatan penangkapan yang bersifat merusak dan tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang dapat dilihat pada kasus yang terjadi di perairan Bagan Siapi-Api, Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, penggunaan alat tangkap ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena alat tangkap tersebut termasuk kedalam alat tangkap yang sangat tidak ramah lingkungan karena memiliki selektifitas alat tangkap yang sangat buruk. Nelayan di Sulawesi Utara cenderung tidak memperdulikan hukum yang ada. Mereka tetap melakukan proses penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl. Alat yang umumnya digunakan oleh nelayan berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memiliki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut.
Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau (trawl) secara terus menerus menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan kecil yang belum memijah tertangkap oleh alat ini sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memijah dan memperbanyak spesiesnya. Selain hal tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap ini pada daerah karang adalah rusaknya terumbu karang akibat tersangkut ataupun terbawa jaring.
Direktur Desctructive Fishing Watch (DWF), Zulficar Mochtar, mengungkapkan kegiatan nelayan yang menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan tentu saja merugikan nelayan itu sendiri.   Dengan meningkatkan kesadaran nelayan, maka pemikiran nelayan akan terbuka dan nelayan akan mengerti betapa merugikannya melakukan kegiatan illegal fishing dalam proses penangkapan ikan khususnya pada daerah karang sehingga kegiatan penangkapan tersebut dapat beralih menjadi penangkapan yang ramah lingkungan dan menjadikan ekosistem perairan khususnya ekosistem terumbu karang tempat dimana dilakukannya proses penangkapan dapat lestari.
“Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang sebagai rumah ikan. Jika tidak dicegah, cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan maka yang rugi nelayan itu sendiri,” ujar Zulficar kepada Maritime Magazine belum lama ini.
Zulficar menyatakan Walau kesadaran sudah tercipta di nelayan, tapi tetap tidak akan bertahan lama jika masalah kesejahteraan nelayan tidak segera ditangani. Oleh sebab itu, lanjut Zulficar, sangat dibutuhkan campur tangan pemerintah karena memang sudah seharusnya begitu. Dengan adanya bantuan pemerintah yang tepat sasaran maka peningkatan kesejahteraan nelayan sudah tidak jadi sekedar impian lagi tapi dapat diwujudkan.
“Sekarang tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan illegal fishing pada ikan-ikan karang khususnya untuk memperbaiki daerah karang yang rusak adalah dengan melakukan transplantasi karang ataupun pembuatan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah suatu struktur yang dibangun untuk menyediakan lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat pemijahan dan asuhan, serta perlindungan pantai sebagaimana halnya terumbu karang alam,” sambung Zulficar.
Menurut Zulficar sayangnya  pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti.
“Dengan Terlaksananya semua hal di atas pasti akan memberikan dampak nyata pada nelayan dan kelestarian terumbu karang walau mungkin tidak dalam waktu singkat untuk menyelesaikan masalah ini sepenuhnya,” imbuhnya.

Praktek Destructive Fishing Rugikan Nelayan
PENANGKAPAN ikan tidak ramah lingkungan (PITRaL) merupakan suatu aktivitas penangkapan ikan yang cenderung eksploratif dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi.  Alat PITRaL yang sering digunakan adalah bahan peledak (bom), racun sianida (bius), trawl (masih diperdebatkan), bubu tindis da muroami.  Akan tetapi yang dianggap paling signifikan dalam perusakan terumbu karang adalah Pitral dengan bom dan racun.
Praktek PITRaL dengan bom dan racun selain merusak ekosistem terumbu karang juga telah menimbulkan kerugian ekonomi, memicu berbagai perselisihan dan konflik social. Bila keadaan ini dibiarkan terus maka diperkirakan dalam waktu 15 tahun  ke depan terumbu karang Indonesia akan habis.
Di Propinsi Sulawesi Selatan,  penangkapan ikan tidak ramah lingkungan merupakan masalah yang sangat sulit untuk diatasi. Perusakan terumbu karang akibat bom dan bius masih banyak dilakukan. Disinyalir bahwa Kepulauan Spermonde yang terletak di sebelah barat propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu pusat kegiatan PITRaL.
Berdasarkan penelitian Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia di Kepulauan Spermonde  mengungkapkan bahwa 64,88 persen nelayan adalah pelaku PITRaL. Dari pelaku PITRaL tersebut 68 persen  adalah pengebom,  27 persen pembius dan 5 persen  pelaku keduanya, mereka dominan dan berdomisili di pulau-pulau dalam kawasan. Lokasi pengeboman dan pembiusan tersebar meluas di seluruh kawasan Spermonde.  Intensitas pengeboman cenderung meningkat pada musim barat (Oktober-Maret) sementara intensitas pembiusan relatif tinggi di semua musim.  Faktor-faktor pemicu PITRaL seperti desakan ekonomi, tingkat pendidikan dan kesadaran yang rendah, lemahnya penegakan hukum, permintaan pasar yang tinggi, ketersediaan jalur distribusi bahan baku bom dan bius, serta persepsi masyarakat tentang stok ikan yang tinggi menyebabkan aktivitas PITRaL terus berlangsung.
Menurut Direktur DWF Indonesia, Zulficar Mochtar, organisme target PITRaL dengan pemboman ini bervariasi. Variasi jenis tangkapan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain musim dan lokasi tangkapan, daya jangkau sarana penangkapan, alat tangkap yang digunakan serta harga dan permintaan pasar terhadap jenis ikan tertentu.
Menurut survei DWF, sebagian besar organisme yang menjadi target pemboman di Kepulauan Spermonde adalah jenis vertebrata laut, baik yang berada di sekitar perairan pantai, di daerah terumbu karang maupun di perairan laut lepas. Hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan karakterisasi berdasarkan kelompok pelagis dan demersal. Pengelompokan juga dapat dilakukan berdasarkan kategori lokasi, yakni kategori perairan pantai, terumbu karang, tubir dan perairan lepas.
“Pada pelaku pemboman yang berskala besar, pemboman biasa dilakukan pada malam hari. Mereka menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan disekitar perahu. Lampu tersebut dipasang dibagian depan, kanan dan kiri perahu. Setelah beberapa waktu lampu menyala dan sudah terlihat banyak ikan, beberapa lampu dimatikan sehingga lampu yang menyala hanya satu. Kemudian lampu yang menyala tersebut, dibawah ke lepa-lepa bagian belakang kapal motor. Setelah beberapa waktu bom dijatuhkan,” ungkapnya.
Zulficar menhelaskan, Jika diurutkan secara sistematis, maka kegiatan pemasaran hasil tangkapan yang dilakukan oleh nelayan atau kelompok nelayan hingga sampai ke tangan konsumen dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Pelaku Pengumpul atau Pengangkut dan Pelaku Pemasaran.
“Para pelaku transaksi perdagangan ikan-ikan hasil pengeboman ini dimulai dari nelayan sebagai sumber utama, kemudian dilanjutkan kepada Pa’balolang atau Pacato yang langsung menjemput ikan hasil tangkapan nelayan tersebut di laut atau ke punggawa pulau yang kadang bertindak sebagai pedagang pengumpul,” ujarnya.
Masih kata Zulficar,  Ikan-ikan yang ditangkap dengan metode pengeboman umumnya dapat dikenali berdasarkan kondisi morfologisnya pada saat dijual di PPI. Ciri-ciri spesifiknya antara lain terdapat tulang-tulang yang patah sehingga menonjol keluar, matanya berwarna merah, dan dagingnya menjadi sangat lunak. Namun mengingat ukuran dan kondisi ikan yang dijual cukup beragam, sehingga sulit untuk betul-betul bisa membedakan dengan hasil ikan yang non-bom.
“Apabila jenis ikan-ikan tersebut ditemukan dalam jumlah besar ketika didaratkan oleh punggawa dan pedagang, bisa dipastikan merupakan hasil pengeboman. Ketika dijual ke pasar, biasanya ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan bom berharga lebih rendah dari harga ikan-ikan sejenis yang diperoleh dengan cara-cara memancing, jaring atau non-bom lainnya,” imbuhnya.
Kegiatan praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom telah sekian lama berlangsung di Kepulauan Spermonde. Kegiatan penangkapan ikan secara umum maupun yang menggunakan bahan peledak sedikit banyak mempunyai pengaruh secara ekonomis terhadap tingkat kehidupan nelayan selama ini.
Secara fisik peningkatan taraf hidup nelayan umumnya nampak pada peningkatan pendapatan. Seorang nelayan kecil karena mendapat untung besar kemudian bisa beralih menjadi punggawa yang memberi modal bagi nelayan lainnya. Pada pulau-pulau yang diindikasikan merupakan pulau tempat para pembom berasal, banyak ditemukan rumah-rumah permanen dengan perabot rumah tangga yang lengkap.
Namun hal ini juga bersifat tidak merata dan masih ada pengecualian hanya pada segelintir nelayan. Tidak ada data yang dapat menjelaskan secara jelas tingkat pendapatan nelayan yang berubah secara signifikan dari hasil pemboman. Hasil penelitian dari Sosial Ekonomi Spermonde (2000), hanya menggambarkan tingkat pendapatan rata-rata penduduk dari satu pulau yang berindikasi sebagai asal para pembom lebih tinggi jika dibandingkan dengan pulau lainnya yang penduduknya kebanyakan sebagai nelayan tradisional.
Secara ekonomis, dampak praktek penangkapan ikan dengan bahan peledak walaupun tidak signifikan, akan meningkatkan pendapatan nelayan sehingga daya beli akan semakin meningkat. Pada pulau-pulau yang terindikasikan sebagai pulau asal para pembom seperti di Pulau Karanrang, harga bahan kebutuhan sehari-hari lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya dimana harga menyesuaikan daya beli masyarakat setempat.

Illegal Fishing, Teroris Bagi Nelayan



Masih maraknya kasus penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) rupanya benar-benar telah memukul masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada perekonomian di laut. Terlebih, sedikitnya, ada seribu kapal asing hilir mudik menangkap ikan secara ilegal di Indonesia setiap tahunnya.
“Perairan Natuna, Sulawesi Utara, dan Arafuru adalah area perairan Indonesia di mana Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing sering terjadi,” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad dalam keterangan persnya belum lama ini.
Fadel menilai, IUU Fishing itu telah melemahkan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan Indonesia dan menyebabkan beberapa sumber daya perikanan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia over fishing.
“IUU Fishing adalah tindakan kriminal lintas negara yang terorganisir dan secara jelas telah menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya. Karena, selain merugikan ekonomi, sosial, dan ekologi, praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa,” tegasnya.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri terus berusaha keras dalam memerangi IUU Fishing itu. Bahkan, pada bulan Oktober lalu Indonesia bersama 21 negara yang tergabung dalam Asia-Pasific Economic Development (APEC) telah bersepakat untuk lebih gencar dalam memerangi dan mengatasi illegal fishing. Kesepakatan itu tercantum dalam Deklarasi Paracas yang merupakan hasil dari Pertemuan Menteri Kelautan APEC  di Paracas, Peru, 11-12 Oktober 2010.
“Berbagai hal yang tercantum dalam Deklarasi Paracas sebenarnya tidak mengikat, tetapi sudah pasti akan berdampak terhadap kebijakan bidang perikanan di Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal KKP Gellwynn Jusuf.
Meski begitu, sepertinya dibutuhkan usaha lebih keras lagi untuk meminimalisir kasus illegal fishing di Indonesia. Apalagi, potensi kerugian negara sebesar Rp80 triliun dari praktik kotor tersebut. Kerugian tersebut terdiri dari potensi ikan yang hilang mencapai Rp 30 triliun dan kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 triliun setiap tahun.
Menurut Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PPP, Wan Abu Bakar, illegal fishing di Indonesia memang sudah berjalan cukup lama dan sangat mengkhawatirkan. Karenanya, dia berharap ada langkah konkret dari Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menangani dan memberantas praktik ilegal ini. “Pemerintah harus berani menegur dengan keras kapal-kapal asing yang sudah melakukan operasi penangkapan ilegal.”
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI), Y Paonganan. Menurutnya, masih maraknya kasus illegal fishing sebenarnya tak luput dari ketidaktegasan aparat dalam penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing. Namun, para pelakunya dihukum ringan.
“Padahal, berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun,” bebernya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Riza Damanik menyatakan, Pemerintah belum optimal dalam melindungi sumber kekayaan laut Indonesia. Ditambah lagi dengan lemahnya diplomasi yang dilakukan Pemerintah terhadap negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Bahkan, katanya, pencurian ikan bukan lagi atas nama perusahaan dan pribadi, namun sudah melibatkan oknum pemerintahan.
“Kalau dulu mungkin sepeti itu (pribadi). Tapi sekarang, para pencuri ikan didukung oleh pemerintahnya, contohnya yang baru-baru ini Malaysia. Pemerintah harusnya bisa melakukan diplomasi dengan negara tetangga untuk tegas menindak oknum pelaku illegal fishing,” tukasnya.
Pencurian ikan yang semakin marak, ujar Riza, selain merugikan negara dari segi penerimaan pendapatan, juga mengancam ketahanan pangan nasional, di mana setiap tahun, sekitar 2,8 juta ton ikan dipasok oleh nelayan kecil untuk kebutuhan nasional.
Tak terelakkan, tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah memang menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Karenanya, untuk meminimalkan illegal fishing mungkin sudah saatnya pemerintah membuat Undang-Undang Anti Illegal Fishing.
Undang-Undang tersebut bisa jadi solusi ketika Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Sebab, pada Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 memang ada celah yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia. Khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.
Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki, dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih. Bahkan, jika perlu pemerintah harus berani menghentikan penjarahan kekayaan laut Indonesia dengan bertindak tegas, seperti penenggelaman kapal nelayan asing.

Kamis, 21 Juni 2012

ILLEGAL FISHING "Pengawasan Perlu Ditingkatkan"

Kamis, 14 Juni 2012
JAKARTA (Suara Karya): Maraknya kasus penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) oleh nelayan/kapal asing di perairan Indonesia menunjukkan masih belum optimalnya kegiatan pengawasan.


Dalam hal ini, pengawasan yang lebih ketat di sejumlah perairan yang potensi perikanannya besar, seperti di Laut Natuna, Arafura, dan lainnya, bisa menjadi prioritas utama untuk dilakukan. Dengan ini, diharapkan kasus pencurian ikan di laut Indonesia bisa diredam dan kesejahteraan nelayan serta pengusaha nasional bisa terwujud.
Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi IV Herman Khaeron menekankan pentingnya pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Apalagi ini diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan revisinya melalui UU Nomor 45 Tahun 2009.
"Dari pemahaman tentang pengelolaan perikanan, dapat diketahui bahwa pengawasan merupakan bagian darinya. Atau, lahirnya pengawasan di sektor kelautan dan perikanan bersumber dari serta ditujukan untuk pengelolaan yang baik," kata Herman kepada Suara Karya di Jakarta, kemarin.
Sebagai wakil rakyat, dirinya bersama seluruh anggota Komisi IV DPR (bidang kelautan dan perikanan) mendukung penuh upaya penguatan kegiatan pengawasan yang dilakukan KKP, salah satunya dengan mendorong peningkatan anggaran. "Tahun ini, anggaran pengawasan mengalami kenaikan. Bahkan, bila keuangan negara memungkinkan, penambahan anggaran untuk kegiatan ini bisa diperbesar lagi," ujarnya.
Ketika ditanya terkait rencana penghapusan tugas/wewenang pengawasan di lingkungan KKP, Herman mengaku menyayangkan adanya wacana tersebut. Sebab, apa yang dilakukan satuan pengawas perikanan KKP terus menunjukkan kemajuan dan prestasi yang baik. Ini terlihat dari banyaknya kapal asing yang melakukan ditangkap karena melakukan illegal fishing, termasuk aksi penyelundupan ikan Indonesia ke luar negeri yang selalu berhasil digagalkan.
"Ini merupakan prestasi yang patut diapresiasi. Sebab, dengan armada kapal pengawas serta anggaran yang tergolong pas-pasan, petugas pengawas KKP masih bisa bekerja dengan optimal. Untuk itu, keberadaan satuan pengawas perikanan KKP memang sangat penting," ucapnya.
Lebih jauh Herman menjelaskan, dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan, khususnya pada Pasal 4 huruf F, juga disebutkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan harus menindak tegas setiap pelaku penangkapan ikan secara melawan hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, unregulated fishing), termasuk juga kegiatan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing).
Semua kegiatan ilegal di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya ditindak tegas oleh KKP. (Bayu)