Suasana seminar 30 tahun Konvensi Hukum Laut 1982 di Universitas Padjadjaran. Foto: Hot
Luasnya wilayah perairan Indonesia, dan lemahnya pengawasan pihak berwenang terhadap kegiatan perikanan, seringkali dimanfaatkan nelayan asing untuk melakukan illegal fishing di laut teritorial Indonesia. Sebagian pelaku memang dibawa ke proses hukum.
Sayangnya, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku illegal fishing masih terbilang rendah. “Sebenarnya, ketika Undang-Undang Perikanan dirancang, kita menganggap sanksi yang tercantum sudah cukup tinggi dan tegas. Tetapi sanksi yang dijatuhkan dalam pengadilan justru lebih rendah,” terang Etty R Agoes, pakar hukum laut Fakultas Hukum Unpad, saat menjadi pembicara untuk seminar peringatan 30 tahun Konvensi Hukum Laut 1982, di Universitas Padjadjaran, Kamis (05/4).
Ketentuan pidana dalam dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009,
beragam mulai dari 100 juta hingga 20 miliar rupiah. Belum lagi pidana
penjara yang bervariasi mulai dari satu tahun hingga enam tahun.
Faktanya, begitu banyak terdakwa kasus perikanan yang diganjar hukuman ringan. Cek Wan Jainuddin, warga negara Malaysia, yang ditangkap polisi karena illegal fishing, hanya diganjar hukuman lima bulan penjara di PN Tanjungpinang. Upaya jaksa mempersoalkan vonis itu juga kandas di Mahkamah Agung. Demikian juga putusan terhadap Aling Samehe. Warga negara Filipina ini tertangkap patroli TNI AL di perairan Talaud, Sulawesi Utara. PN Bitung menjatuhkan denda 30 juta dari 100 juta yang diminta jaksa. Upaya jaksa kasasi juga kandas. Malah, dalam perkara Wahab Coang, WNI yang diadili karena penangkapan ikan di Raja Ampat menggunakan bahan kimia, divonis bebas PN Sorong. Kasasi jaksa juga tidak dapat diterima.
Ketiga kasus hanya contoh dari begitu banyak putusan pengadilan yang menghukum ringan pelaku. Tidak aneh, dunia internasional mengkritik Indonesia. Menurut Prof. Etty, ketentuan dalam UU Perikanan dan rendahnya sanksi yang dijatuhkan dalam kasus illegal fishing di Indonesia, membuat Uni Eropa mendesak Indonesia untuk meningkatkan ancaman sanksi pidana yang tercantum.
“Uni Eropa meminta Indonesia untuk meningkatkan sanksi pidana dalam UU Perikanan. Hal ini bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kegiatan IUU fishing, yaitu illegal, unreported, and unregulated, yang kebetulan banyak terjadi di Indonesia,” lanjut Etty.
Etty lebih lanjut menjelaskan bahwa Uni Eropa meminta penyesuaian sanksi pidana dalam UU Perikanan bisa dilakukan Juli tahun ini. “Ini sebenarnya agak sulit, karena diatur dalam Undang-Undang, sehingga perubahannya di DPR bisa memakan waktu yang cukup lama,” ujarnya.
Salah satu cara yang bisa dilakukan, menurut Etty, adalah melihat peraturan-peraturan yang ada, dan memodifikasinya sedikit
untuk memberikan arahan ke sanksi yang lebih tinggi. “Ini hanya sekedar
upaya mengatasi durasi pembuatan undang-undang yang cukup memakan
waktu,” terang Etty.
Pada kesempatan yang sama, hakim agung Mieke Komar, menjelaskan, sejak tiga tahun belakangan, sudah ada beberapa pengadilan ad hoc perikanan yang didirikan di berbagai kota. Ia yakin pembentukan pengadilan perikanan bisa mengatasi salah satu masalah penanganan kasus. “Pengadilan ini bisa mengatasi persoalan dalam kasus perikanan yang biasanya sulit untuk ditangani oleh hakim biasa. Sehingga perlu hakim khusus yang mengatasi kasus perikanan, atau hakim ad hoc perikanan,” jelas Mieke.
Mieke melanjutkan bahwa dari berbagai kasusillegal fishing yang terjadi,
tren yang berkembang adalah menjatuhkan sanksi yang tinggi ketimbang
menahan para pelaku. “Biasanya pelaku sudah lari, sehingga tidak bisa ditahan. Perahu yang mereka gunakan sebenarnya bisa dilelang untuk kepentingan negara,” pungkas Mieke. ( http://www.hukumonline.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar