Jumat, 22 Juni 2012

DESTRUCTIVE FISHING, Ancam Kelestarian Ekosistem Laut


KEGIATAN penangkapan yang dilakukan  nelayan seperti  menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan. Kegiatan ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik bagi ekosistem perairan, akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan khususnya oleh nelayan tradisional.
Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan karang yang banyak, digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing. Karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut, dan berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang.
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan tradisional di dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya di dalam melakukan penangkapan ikan-ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik, baik bagi ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada lokasi penangkapan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Kegiatan yang marak dilakukan oleh nelayan adalah dengan menggunakan obat bius atau bahan beracun lainnya. Bahan beracun yang umum dipergunakan dalam penangkapan ikan dengan pembiusan seperti sodium atau potassium sianida. Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap ikan hias dan hidup, memicu nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang merusak dengan menggunakan racun sianida. Kegiatan ini umum dilakukan oleh nelayan untuk memperoleh ikan hidup.
Hasil yang diperoleh dengan cara ini memang merupakan ikan yang masih hidup, tetapi penggunaannya pada daerah karang memberikan dampak yang sangat besar bagi terumbu karang. Selain itu penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang tertentu. Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi mabuk dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama kelamaan karang menjadi mati.
Kegiatan lain yang termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang. Kegiatan ini merupakan kegiatan penangkapan yang bersifat merusak dan tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang dapat dilihat pada kasus yang terjadi di perairan Bagan Siapi-Api, Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, penggunaan alat tangkap ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena alat tangkap tersebut termasuk kedalam alat tangkap yang sangat tidak ramah lingkungan karena memiliki selektifitas alat tangkap yang sangat buruk. Nelayan di Sulawesi Utara cenderung tidak memperdulikan hukum yang ada. Mereka tetap melakukan proses penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl. Alat yang umumnya digunakan oleh nelayan berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memiliki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut.
Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau (trawl) secara terus menerus menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan kecil yang belum memijah tertangkap oleh alat ini sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memijah dan memperbanyak spesiesnya. Selain hal tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap ini pada daerah karang adalah rusaknya terumbu karang akibat tersangkut ataupun terbawa jaring.
Direktur Desctructive Fishing Watch (DWF), Zulficar Mochtar, mengungkapkan kegiatan nelayan yang menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan tentu saja merugikan nelayan itu sendiri.   Dengan meningkatkan kesadaran nelayan, maka pemikiran nelayan akan terbuka dan nelayan akan mengerti betapa merugikannya melakukan kegiatan illegal fishing dalam proses penangkapan ikan khususnya pada daerah karang sehingga kegiatan penangkapan tersebut dapat beralih menjadi penangkapan yang ramah lingkungan dan menjadikan ekosistem perairan khususnya ekosistem terumbu karang tempat dimana dilakukannya proses penangkapan dapat lestari.
“Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang sebagai rumah ikan. Jika tidak dicegah, cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan maka yang rugi nelayan itu sendiri,” ujar Zulficar kepada Maritime Magazine belum lama ini.
Zulficar menyatakan Walau kesadaran sudah tercipta di nelayan, tapi tetap tidak akan bertahan lama jika masalah kesejahteraan nelayan tidak segera ditangani. Oleh sebab itu, lanjut Zulficar, sangat dibutuhkan campur tangan pemerintah karena memang sudah seharusnya begitu. Dengan adanya bantuan pemerintah yang tepat sasaran maka peningkatan kesejahteraan nelayan sudah tidak jadi sekedar impian lagi tapi dapat diwujudkan.
“Sekarang tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan illegal fishing pada ikan-ikan karang khususnya untuk memperbaiki daerah karang yang rusak adalah dengan melakukan transplantasi karang ataupun pembuatan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah suatu struktur yang dibangun untuk menyediakan lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat pemijahan dan asuhan, serta perlindungan pantai sebagaimana halnya terumbu karang alam,” sambung Zulficar.
Menurut Zulficar sayangnya  pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti.
“Dengan Terlaksananya semua hal di atas pasti akan memberikan dampak nyata pada nelayan dan kelestarian terumbu karang walau mungkin tidak dalam waktu singkat untuk menyelesaikan masalah ini sepenuhnya,” imbuhnya.

Praktek Destructive Fishing Rugikan Nelayan
PENANGKAPAN ikan tidak ramah lingkungan (PITRaL) merupakan suatu aktivitas penangkapan ikan yang cenderung eksploratif dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi.  Alat PITRaL yang sering digunakan adalah bahan peledak (bom), racun sianida (bius), trawl (masih diperdebatkan), bubu tindis da muroami.  Akan tetapi yang dianggap paling signifikan dalam perusakan terumbu karang adalah Pitral dengan bom dan racun.
Praktek PITRaL dengan bom dan racun selain merusak ekosistem terumbu karang juga telah menimbulkan kerugian ekonomi, memicu berbagai perselisihan dan konflik social. Bila keadaan ini dibiarkan terus maka diperkirakan dalam waktu 15 tahun  ke depan terumbu karang Indonesia akan habis.
Di Propinsi Sulawesi Selatan,  penangkapan ikan tidak ramah lingkungan merupakan masalah yang sangat sulit untuk diatasi. Perusakan terumbu karang akibat bom dan bius masih banyak dilakukan. Disinyalir bahwa Kepulauan Spermonde yang terletak di sebelah barat propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu pusat kegiatan PITRaL.
Berdasarkan penelitian Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia di Kepulauan Spermonde  mengungkapkan bahwa 64,88 persen nelayan adalah pelaku PITRaL. Dari pelaku PITRaL tersebut 68 persen  adalah pengebom,  27 persen pembius dan 5 persen  pelaku keduanya, mereka dominan dan berdomisili di pulau-pulau dalam kawasan. Lokasi pengeboman dan pembiusan tersebar meluas di seluruh kawasan Spermonde.  Intensitas pengeboman cenderung meningkat pada musim barat (Oktober-Maret) sementara intensitas pembiusan relatif tinggi di semua musim.  Faktor-faktor pemicu PITRaL seperti desakan ekonomi, tingkat pendidikan dan kesadaran yang rendah, lemahnya penegakan hukum, permintaan pasar yang tinggi, ketersediaan jalur distribusi bahan baku bom dan bius, serta persepsi masyarakat tentang stok ikan yang tinggi menyebabkan aktivitas PITRaL terus berlangsung.
Menurut Direktur DWF Indonesia, Zulficar Mochtar, organisme target PITRaL dengan pemboman ini bervariasi. Variasi jenis tangkapan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain musim dan lokasi tangkapan, daya jangkau sarana penangkapan, alat tangkap yang digunakan serta harga dan permintaan pasar terhadap jenis ikan tertentu.
Menurut survei DWF, sebagian besar organisme yang menjadi target pemboman di Kepulauan Spermonde adalah jenis vertebrata laut, baik yang berada di sekitar perairan pantai, di daerah terumbu karang maupun di perairan laut lepas. Hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan karakterisasi berdasarkan kelompok pelagis dan demersal. Pengelompokan juga dapat dilakukan berdasarkan kategori lokasi, yakni kategori perairan pantai, terumbu karang, tubir dan perairan lepas.
“Pada pelaku pemboman yang berskala besar, pemboman biasa dilakukan pada malam hari. Mereka menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan disekitar perahu. Lampu tersebut dipasang dibagian depan, kanan dan kiri perahu. Setelah beberapa waktu lampu menyala dan sudah terlihat banyak ikan, beberapa lampu dimatikan sehingga lampu yang menyala hanya satu. Kemudian lampu yang menyala tersebut, dibawah ke lepa-lepa bagian belakang kapal motor. Setelah beberapa waktu bom dijatuhkan,” ungkapnya.
Zulficar menhelaskan, Jika diurutkan secara sistematis, maka kegiatan pemasaran hasil tangkapan yang dilakukan oleh nelayan atau kelompok nelayan hingga sampai ke tangan konsumen dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Pelaku Pengumpul atau Pengangkut dan Pelaku Pemasaran.
“Para pelaku transaksi perdagangan ikan-ikan hasil pengeboman ini dimulai dari nelayan sebagai sumber utama, kemudian dilanjutkan kepada Pa’balolang atau Pacato yang langsung menjemput ikan hasil tangkapan nelayan tersebut di laut atau ke punggawa pulau yang kadang bertindak sebagai pedagang pengumpul,” ujarnya.
Masih kata Zulficar,  Ikan-ikan yang ditangkap dengan metode pengeboman umumnya dapat dikenali berdasarkan kondisi morfologisnya pada saat dijual di PPI. Ciri-ciri spesifiknya antara lain terdapat tulang-tulang yang patah sehingga menonjol keluar, matanya berwarna merah, dan dagingnya menjadi sangat lunak. Namun mengingat ukuran dan kondisi ikan yang dijual cukup beragam, sehingga sulit untuk betul-betul bisa membedakan dengan hasil ikan yang non-bom.
“Apabila jenis ikan-ikan tersebut ditemukan dalam jumlah besar ketika didaratkan oleh punggawa dan pedagang, bisa dipastikan merupakan hasil pengeboman. Ketika dijual ke pasar, biasanya ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan bom berharga lebih rendah dari harga ikan-ikan sejenis yang diperoleh dengan cara-cara memancing, jaring atau non-bom lainnya,” imbuhnya.
Kegiatan praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom telah sekian lama berlangsung di Kepulauan Spermonde. Kegiatan penangkapan ikan secara umum maupun yang menggunakan bahan peledak sedikit banyak mempunyai pengaruh secara ekonomis terhadap tingkat kehidupan nelayan selama ini.
Secara fisik peningkatan taraf hidup nelayan umumnya nampak pada peningkatan pendapatan. Seorang nelayan kecil karena mendapat untung besar kemudian bisa beralih menjadi punggawa yang memberi modal bagi nelayan lainnya. Pada pulau-pulau yang diindikasikan merupakan pulau tempat para pembom berasal, banyak ditemukan rumah-rumah permanen dengan perabot rumah tangga yang lengkap.
Namun hal ini juga bersifat tidak merata dan masih ada pengecualian hanya pada segelintir nelayan. Tidak ada data yang dapat menjelaskan secara jelas tingkat pendapatan nelayan yang berubah secara signifikan dari hasil pemboman. Hasil penelitian dari Sosial Ekonomi Spermonde (2000), hanya menggambarkan tingkat pendapatan rata-rata penduduk dari satu pulau yang berindikasi sebagai asal para pembom lebih tinggi jika dibandingkan dengan pulau lainnya yang penduduknya kebanyakan sebagai nelayan tradisional.
Secara ekonomis, dampak praktek penangkapan ikan dengan bahan peledak walaupun tidak signifikan, akan meningkatkan pendapatan nelayan sehingga daya beli akan semakin meningkat. Pada pulau-pulau yang terindikasikan sebagai pulau asal para pembom seperti di Pulau Karanrang, harga bahan kebutuhan sehari-hari lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya dimana harga menyesuaikan daya beli masyarakat setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar