KERUGIAN negara di sektor perikanan mencapai Rp 218 triliun. Kebocoran uang negara ini berasal dari praktek illegal license (perizinan tidak sah) di Kementerian Kelautan
dan Perikanan beserta dampak ikutannya yang dilakukan oleh para
pengusaha perikanan di Indonesia. Forum Pers Pemerhati Perikanan
Nasional (FPAN) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) juga akan membawa kasus ini ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diselidiki.
Ketua Forum Pers Pemerhati
Pelanggaran Perikanan Nasional( FP4N), Ivan Rishky Kaya, mengungkapkan
besarnya kerugian negara di sektor perikanan ini, diakibatkan adanya
manipulasi perizinan yang dilakukan oknum pejabat di bawah Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta
manipulasi yang dilakukan oleh pengusaha perikanan. Akibat dari praktek
ini, bukan hanya Negara yang kehilangan potensi perikanannya karena dicuri, tetapi daerah juga kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Dari izin sampai pengerukan hasil laut yang dimanipulasi, maka tak heran daerah yang memiliki potensi perikanan
yang besar tak pernah sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan adanya
kemiskinan di daerah-daerah sentra tangkapan perikanan,” ujar Ivan
kepada Indonesia Maritime Magazine belum lama ini.
Ivan
menilai jika hal ini dibiarkan, bukan negara saja yang rugi, masyarakat
dan daerahnya pun juga dirugikan. Sebab, masyarakatnya tetap miskin dan
daerahnya juga tertinggal. “Sektor perikanan Indonesia potensial,
tapi saat ini hancur karena mafia perikanan, bahkan nelayan pesisir
tidak hanya terancam menganggur, tetapi akan tetap hidup di bawah
kemiskinan,” terangnya.
Mafia perikanan menurut Ivan, bukan hanya melibatkan oknum-oknum petugas di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu sendiri, melainkan terindikasi melibatkan oknum aparat kepolisian dan oknum aparat hukum.
“Potensi kita
menjadi Negara yang kaya dari segi perikanan sangatlah dimungkinkan,
namun tidak akan terwujud apabila mafia perikanan ini tidak dibersihkan.
Untuk itu, kami (FP4N) telah menyerahkan bukti-bukti ke KKP dan ICW,”
tambah pria kelahiran Kota Ambon.
Ivan menjelaskan, Menteri Kelautan
dan Perikanan yang merupakan salah satu petinggi di kepengurusan DPP
Partai Golkar, Fadel Muhammad hanya mengembar-gemborkan adanya
pemberantasan atau penangkapan pelaku illegal fishing yang terjadi di perbatasan laut Indonesia, sedangkan illegal license terjadi di dalam (wilayah) laut Indonesia,
dengan cara menggunakan Bendera Indonesia, tetapi isinya orang asing
yang diduga mendapatkan izin manipulatif dari KKP tidak
digembar-gemborkan untuk diberantas.
“Pak Menteri hanya suka menggembar-gemborkan penangkapan pelaku illegal fishing. Namun oknum-oknum di KKP sendiri yang terindikasi kuat melakukan illegal license tidak pernah diberantas atau diungkapkan ke publik,” sesal Ivan.
Ivan menegaskan, dengan adanya tindakan dari oknum pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan
dan Perikanan yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing
kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI) tanpa melalui prosedur sebenarnya yang
bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5
Tahun 2008 juto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap
merupakan suatu bentuk kejahatan yang terstruktur.
“Dari perizinan saja ini sudah ada
bentuk kejahatan melanggar hukum yang terorganisir. Dampaknya, Negara
mengalami kehilangan uang sebesar ratusan triliun begitu saja. Belum
lagi perusahaan perikanan yang tidak berbasis industri, sama saja
membunuh nelayan kita perlahan-lahan,” ungkap Ivan.
Ivan mencontohkan, ada perusahaan yang
tidak memiliki Unit Pengolahan Ikan (UPI) sudah mengantongi izin untuk
beroperasi, bahkan sudah beroperasi kurang lebih 1 tahun. Padahal
didalam Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009
sudah jelas bahwa perusahaan perikanan wajib memiliki UPI.
Perusahaan tersebut lanjut Ivan, bernama PT. Sumber Laut Utama. Lebih parahnya lagi, hal ini terkuak saat Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Dedy Heryadi Sutisna ketika berkunjung ke Kota Ambon
untuk menghadiri Rapat Koordinasi dan Evaluasi Intervensi program
Minapolitan di Swiss Belhotel Ambon, pada Selasa, 19 April 2011.
“Ini kejadian yang sangat mustahil,
dimana seorang Dirjen menanyakan perusahaan tersebut dan ternyata tidak
memiliki UPI. Sementara yang menandatangani surat perizinan adalah
Dirjen Perikanan Tangkap. Ini sama saja Dirjen melanggar Peraturan
Menteri,” kata Ivan.
Selain tidak mempunyai UPI, ternyata
FP4N juga menemukan adanya perusahaan yang menjadi bapak angkat bagi
perusahaan perikanan yang ada di Indonesia. Perusahaan tersebut bernama
PT. Yongshun, yang mana peran dari perusahaan (bapak angkat) tersebut
sangat terstruktur yakni bisa menyedikan kapal penangkap, kapal
pengangkut, menyuplai BBM, mengatur jadwal keluar masuk atau kedatangan
kapal, dan mempunyai hubungan yang harmonis dengan aparat penegak hukum
sehingga kapal-kapal milik perusahaan yang merupakan jaringan dari
“bapak angkat” tersebut kurang lebih 2 tahun tidak pernah tertangkap.
Bagian Humas Dirjen Perikanan Tangkap,
Sofie tentu saja membantah atas tudingan itu. Menurut Sofie, Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap tidak mengeluarkan izin apabila syarat-syarat
perizinan tidak lengkap sesuai peraturan menteri tersebut.
“Tentu saja kami tidak mengeluarkan izin bagi perusahaan perikanan yang tidak sesuai prosedur,” bantah Sofie kepada Indonesa Maritime Magazine belum lama ini walaupun tentunya dia tidak paham apa yang sesungguhnya telah terjadi di lapangan.
Menanggapi hal tersebut, Ivan menantang
pihak KKP untuk langsung meninjau ke lapangan agar melihat dengan mata
kepala sendiri bagaimana praktek mafia perikanan itu beraksi.
“Kita dari FP4N siap menunjukkan
kepada pihak KKP apa yang terjadi di lapangan, jangan hanya duduk manis
di kantor, sebaiknya turun lapangan biar tahu. Sebab, bukti-bukti adanya
mafia perikanan di Indonesia telah kami serahkan ke Presiden SBY.
Informasi terakhir yang kami dapat, Kementerian Kelautan dan Perikanan
mendapat teguran dua kali oleh Presiden dan Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap sudah menyelenggarakan rapat atau pertemuan dengan
pihak perusahaan perikanan untuk mencari solusi terkait temuan kami
(FP4N) yang akan secepatnya kita tindak lanjuti ke KPK,” sambung Ivan.
Kepala Pusat Data Dan Analisis ICW,
Firdaus Ilyas, terkejut atas penemuan hasil investigasi FP4N. Ia
mengatakan, kerugian negara dalam temuan ini sangat besar dan
diperkirakan mencapai 25 persen dari penghasilan sektor perikanan.
“Kerugian negara dalam data ini
disebutkan sangat besar dan diperkirakan mencapai 25 persen dari
penghasilan sektor perikanan kita ini penting, coba bayangkan bagaiman
jika hal ini bisa di berantas,” tegasnya.
Firdaus mengatakan, data yang diberikan FP4N bisa menjadi acuan tata kelola dan pengawasan KKP dalam pengembangan sektor kelautan
dan perikanan Indonesia. Dari temuan itu, lanjut Firdaus, bisa
dijadikan langkah awal untuk dilaporkan ke kantor penegak antikorupsi.
“Kami akan pelajarin data temuan ini, dan secepatnya akan kami laporkan
ke KPK,” terang Firdaus.
Fadel Mimpi Indonesia Exportir Ikan Terbesar Dunia..?
DARI hasil
kajian dan temuan investigasi Forum Pers Pemerhati Pelanggaran
Perikanan Nasional (FP4N) terindikasi adanya praktek mafia perikanan
dengan cara mengeluarkan perizinan yang tidak sah ini merugikan negara
triliunan rupiah. Oleh karena itu, Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya dengan
tegas mengatakan cita-cita untuk menjadi Negara pengekspor ikan terbesar
dunia tahun 2015 hanya merupakan isapan jempol semata.
“Kementerian Kelautan dan
Perikanan jangan bermimpi disiang bolong atau jangan pernah bermimpi
Indonesia akan bisa menjadi pengekspor ikan terbesar dunia, jika aturan
main tidak berpihak kepada industri perikanan yang nyata,” ujar Ivan.
Menurut pria keturunan Arab Menado
ini, kebanyakan perusahaan perikanan di Indonesia yang “katanya”
memiliki kapal impor eks asing seperti kapal Cina, Thailand, dan kapal
Taiwan yang menangkap ikan di perairan Indonesia, tidak membangun
industri di Indonesia. Namun perusahaan perikanan tersebut membangun
industri perikanan di negara mereka yang menyebabkan negara merekalah
yang lebih maju ketimbang Indonesia.
Hal ini lanjut Ivan, dikarenakan Kementerian Kelautan
dan Perikanan hanya berpihak pada Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang tidak
mempunyai dampak bagi daerah dan negara. Sedangkan Industri perikanan
sudah jelas berpihak pada masyarakat dan negara.
“Kalau perusahaan perikanan memiliki
industri perikanan yang nyata di sini, jumlah tenaga kerja yang terserap
sangat besar, perputaran uang di daerah dahsyat dan devisa negara juga
sangat besar dan jelas. Belum lagi nilai investasi perusahaan, jelas ini
sangat menguntungkan negara,” terangnya.
Menurut Ivan, dengan tidak berpihaknya
aturan kepada sebuah industri yang nyata, maka dengan demikian
masyarakat pesisir dan nelayan kecil secara tidak langsung telah
dimiskinkan.
Ivan juga membeberkan, selain tidak
memiliki UPI dan ada “bapak angkat” bagi perusahaan perikanan di
Indonesia, ada perusahaan perikanan yang menggunakan alamat fiktif.
Perusahaan itu bernama PT Maju Bersama Jaya, yang memiliki sebanyak 27
unit kapal dan satu unit kapal tremper (kapal pengangkut).
“Setelah kami mengantongi SIUP PT. Maju
Bersama Jaya yang ditandatangani Dirjen Perikanan Tangkap, Dedy Heryadi
Sutisna, kami mencari tahu apakah benar perusahaan tersebut beralamat
di jalan Dullah Raya, Desa Ngadi KM 08, Kota Tual , Provinsi Maluku.
Namun saat kita sampai disana, perusahaan tersebut (PT. Maju Bersama
Jaya) tidak ada atau fiktif,” tegas Ivan.
Lebih parahnya lagi, kata Ivan, PT Maju
Bersama Jaya sudah mengantongi SIUP yang telah direvisi sebanyak 7 kali
dan sudah beroperasi kurang lebih 2 tahun, namun Unit Pengolahan Ikan
(UPI) tidak jelas berada di daerah mana. “Alamat PT. Majau Bersama Jaya
ternyata setelah kita lacak adalah fiktif. Bahkan UPI dari perusahaan
ini tidak kita ketahui berada dimana,” imbuhnya.
Menurut Ivan, mengenai
permasalahan belum mempunyai UPI dan perusahaan perikanan fiktif namun
diberikan izin serta alokasi kapal tangkap impor bekas asing dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan harus segera diusut aparat penegak hukum.
“KPK maupun Kepolisian dan
Kejaksaan harus segera mengusut praktek mafia perikanan di Indonesia.
Sebab hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada oknum pejabat KKP
yang bermain mata dengan perusahaan perikanan ini seperti PT Sumber Laut Utama dan PT Maju Bersama Jaya. Karena perizinan dapat mereka kantongi yang diperoleh dengan cara-cara yang ilegal,” imbuhnya.
Lebih jauh Ivan mengatakan,
permasalahan yang ditemukan saat ini adanya indikasi pengusaha yang
mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum aparat penegak
hukum. Hal ini yang menjadi kendala utama memberantas illegal fishing dan illegal lincese.
Menurut Ivan, Menteri Kelautan
dan Perikanan Fadel Muhammad selama ini hanya menggembor-gemborkan
pemberantasan illegal fishing yang cenderung terjadi di perbatasan
perairan Indonesia. Padahal, illegal license telah mengkorupsi hak negara atas laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar