Oleh M RAZI RAHMAN)**
Beragam kendala dan keterbatasan
membuat berbagai instansi terkait seperti Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) seperti "terengah-engah" dalam mengawasi pencurian ikan
yang terjadi di kawasan perairan Indonesia.
Indikasi dari hal itu antara lain adalah jadwal operasional kapal pengawasan perikanan yang direncanakan berkurang dari 180 hari pada 2012 menjadi 125 hari pada 2013 akibat keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh KKP.
"Operasional dan pemeliharaan kapal pengawas untuk 26 kapal sebanyak 125 hari operasi," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Rabu (6/6).
Sharif mengemukakan hal tersebut saat memaparkan berbagai macam kegiatan utama dari program pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan terkait pembahasan ringkasan rencana kerja dan anggaran untuk tahun 2013.
Berdasarkan data terkini dari KKP, jumlah kapal pengawas hanya terdapat 24 unit yang hanya dapat melaksanakan operasional kapal pengawas selama 180 hari pada tahun 2012.
Ketika ditanya oleh anggota DPR dari Fraksi PDIP, Ian Siagian, mengenai jumlah operasional kapal pengawas yang hanya sebanyak 125 hari operasi, Sharif mengemukakan bahwa hal tersebut karena keterbatasan anggaran.
Ian mengemukakan, seharusnya keterbatasan anggaran tidak boleh menghambat kegiatan pengawasan karena Menteri Kelautan dan Perikanan adalah bagian dari pemerintah yang seharusnya juga berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut.
Menilik kinerja pengawasan yang dilakukan oleh KKP bukannya tanpa hasil. Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP secara nasional pada 2012 telah memeriksa 1.150 kapal dan menangkap 39 kapal yang sebanyak 28 kapal diantaranya berbendera asing.
Dirjen PSDKP KKP Syahrin Abdurrahman saat di Pontianak, Mei 2012 lalu memaparkan, untuk Stasiun PSDKP Pontianak sendiri tercatat terdapat hingga 65 kapal yang merupakan kapal pelaku "illegal fishing" atau pencurian ikan yang diproses sejak tahun 2008 hingga kini.
Dari jumlah tersebut, lanjutnya, sebanyak 21 kapal memperoleh putusan tetap ("inkracht"), 19 kapal dalam proses kasasi, 11 kapal dalam proses banding, 5 kapal dalam proses pelimpahan perkara ke kejaksaan dan 9 kapal masih dalam proses penyidikan.
"Kapal-kapal pelaku 'illegal fishing' tersebut selanjutnya menjalani proses hukum di Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan satker-satker PSDKP yang berada di lokasi terdekat," katanya.
Ia juga menuturkan, stasiun PSDKP Pontianak merupakan salah satu UPT yang di dukung oleh 24 satuan kerja dan pos pengawasan yang tersebar di berbagai provinsi antara lain di Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.
Syahrin mengakui salah satu kendala terkait pengawasan aktivitas pencurian ikan adalah masih terbatasnya kapal pengawas perikanan yaitu hanya 24 unit. Bahkan, separuh atau 12 dari 24 kapal tersebut telah berusia antara 8 - 10 tahun sehingga dinilai membutuhkan peremajaan.
Idealnya, menurut dia, jumlah kebutuhan kapal pengawas yang seharusnya dimiliki oleh KKP adalah mencapai sebanyak 90 unit kapal pengawas perikanan.
Atasi "transhipment" tingkatkan pendaratan Salah satu permasalahan terkait pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia adalah masih terjadinya "transhipment" (pemindahan ikan yang ditangkap ke kapal lain) di tengah laut dan bukan didaratkan di tempat pendaratan yang telah ditentukan.
Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo akan memperbaiki sistem manajemen pelayanan pelabuhan untuk meningkatkan jumlah ikan yang didaratkan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Tanah Air.
"Manajemen pelayanan terhadap kapal-kapal nelayan masih sangat semrawut sehingga kami akan memperbaiki sistem manajemen pelayanan pelabuhan," kata Sharif Cicip Sutardjo dalam acara peresmian Kampoeng BNI di Kampung Nelayan Muara Angke, Jakarta, Selasa (5/6).
Menurut Sharif, dengan memperbaiki sistem pelayanan di pelabuhan, maka diharapkan para nelayan akan semakin banyak yang mendaratkan ikannya di TPI serta pelelangan ikan yang ditentukan.
Ia memaparkan, kesemrawutan dalam pelayanan pelabuhan itu antara lain disebabkan oleh sistem pelayanan yang tidak dijalankan dengan baik oleh pemda.
Hal tersebut, lanjutnya, juga akibat dari kurangnya dana operasional yang diperlukan pemda untuk memperbaiki sistem pelayanan pelabuhan seperti untuk membuat ruang pendingin atau "cold storage" dan pemutakhiran sistem teknologi informasi.
Selain itu, KKP juga telah menambah jumlah hakim ad hoc di bidang pengadilan perikanan pada 2012 menjadi 57 orang dengan mengirim sebanyak 20 orang calon hakim yang telah diseleksi.
"Upaya ini dilakukan demi terselenggaranya penegakan hukum dan terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak," kata Sharif.
Menteri Kelautan dan Perikanan memaparkan, 20 calon hakim ad hoc Pengadilan Perikanan yang dikirim merupakan hasil seleksi ke Mahkamah Agung untuk menjalani pendidikan dan pelatihan.
Acara Diklat tersebut dinilai Sharif perlu dilakukan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi korban maraknya aktivitas penangkapan ikan ilegal.
Indikasi itu, menurut dia, terbukti dengan banyaknya kasus penangkapan ikan ilegal yang masih kerap ditemui dengan berbagai modus kegiatan seperti terdapatnya surat izin ganda, ditemukannya dokumen palsu, dan "transhipment" untuk kemudian dibawa ke luar negeri.
Selain itu, lanjutnya, modus lainnya adalah masih terdapatnya ketidaktertiban dalam pemasangan VMS (sistem pemantauan kapal), serta penangkapan ikan yang merusak dengan pengeboman dan potasium.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan guna menunjang pelaksanaan dan pencapaian tujuan sasaran pembangunan perikanan sesuai azas pengelolaan perikanan.
"Demi menyukseskan pembangunan perikanan secara berkelanjutan, dibutuhkan kepastian hukum," katanya.
Berdasarkan data KKP, kasus tindak pidana perikanan menurun dari 138 kasus pada 2010 menjadi 66 kasus pada 2011. Dari jumlah tersebut, sebanyak 196 perkara telah ditangani Pengadilan Perikanan.
Saat ini, pengadilan khusus tindak pidana perikanan telah dibentuk di tujuh wilayah yakni di Pengadilan Negeri (PN) Medan, PN Jakarta Utara, PN Pontianak, PN Tual, PN Bitung, PN Tanjung Pinang dan PN Ranai.
Berembuk dengan Kemenkopolhukam Sementara itu, KKP bersama-sama dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan juga telah dan sedang berembuk soal pengawasan tindakan pencurian ikan yang terjadi di Tanah Air.
"Kami berembuk dengan Kemenkopulhukam untuk bagaimana dalam Bakorkamla (Badan Koordinasi Keamanan Laut) diperoleh kekuatan bersama antara TNI AL, Polri, dan KKP untuk bisa bersama-sama melaksanakan pengawasan," kata Sharif.
Selama ini, ujar Sharif, KKP dinilai merupakan satu-satunya elemen yang secara langsung mengawasi perairan di dalam wilayah RI terkait pencurian ikan sedangkan untuk masalah kedaulatan di daerah perbatasan diserahkan kepada AL.
Menteri Kelautan dan Perikanan memaparkan, meski selama ini telah banyak kapal asing seperti dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang telah ditangkap karena melakukan pencurian ikan, kapasitas dan kondisi kapal-kapal yang dimiliki KKP dinilai masih belum terlalu memadai bahkan hanya memiliki dana operasional untuk jangka waktu yang tidak memadai.
Ia juga mengemukakan, Bakorkamla selama ini masih sukar dalam melakukan koordinasi antara lain karena kurangnya jumlah armada dan dana operasional yang mereka miliki.
Di tempat terpisah, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, Bakorkamla perlu diperkuat untuk menjaga sumber daya kelautan dan perikanan yang terdapat di berbagai wilayah perairan Indonesia.
"Bakorkamla perlu memperkuat koordinasi internalnya, karena mulai pengamanan dan pengawasan sampai dengan penindakan pelanggaran hukumnya bisa dilakukan," kata Plt Sekjen Kiara, Abdul Halim.
Menurut Abdul Halim, sejauh ini koordinasi yang dilakukan Bakorkamla merupakan barang berharga dalam pengamanan, pengawasan, dan penindakan pelanggaran hukum di laut, khususnya di wilayah perbatasan.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah bila ingin mengatasi kegiatan pencurian ikan ilegal dalam jangka pendek perlu untuk memperkuat armada pendukung Bakorkamla serta menambah jumlah hari pengawasan perikanan.
Sedangkan dalam jangka panjang, ia minta pemerintah segera mengharmonisasikan kebijakan nasional agar sesuai dengan kondisi geopolitik Indonesia sebagai negara maritim.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga perlu menguatkan kapasitas nelayan untuk ikut terlibat dalam menjalankan fungsi dan tugas pokok Bakorkamla.
Sementara itu, mantan Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Aji Sularso mengatakan, Bakorkamla perlu diperkuat antara lain dengan cara membuat undang-undang yang khusus menaungi fungsi dan wewenang dari Bakorkamla.
Hal tersebut, menurut Aji, karena Bakorkamla mengkoordinasikan berbagai instansi seperti TNI dan Kepolisian yang masing-masing telah memiliki dasar UU-nya sendiri, sedangkan Bakorkamla dibuat berdasarkan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2005.
Dengan adanya penguatan terhadap Bakorkamla oleh pemerintah dan berbagai pihak terkait, maka diharapkan ke depannya pengawasan terhadap para pencuri ikan di kawasan perairan Indonesia tidak akan lagi "terengah-engah".
**(Antara.
Indikasi dari hal itu antara lain adalah jadwal operasional kapal pengawasan perikanan yang direncanakan berkurang dari 180 hari pada 2012 menjadi 125 hari pada 2013 akibat keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh KKP.
"Operasional dan pemeliharaan kapal pengawas untuk 26 kapal sebanyak 125 hari operasi," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Rabu (6/6).
Sharif mengemukakan hal tersebut saat memaparkan berbagai macam kegiatan utama dari program pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan terkait pembahasan ringkasan rencana kerja dan anggaran untuk tahun 2013.
Berdasarkan data terkini dari KKP, jumlah kapal pengawas hanya terdapat 24 unit yang hanya dapat melaksanakan operasional kapal pengawas selama 180 hari pada tahun 2012.
Ketika ditanya oleh anggota DPR dari Fraksi PDIP, Ian Siagian, mengenai jumlah operasional kapal pengawas yang hanya sebanyak 125 hari operasi, Sharif mengemukakan bahwa hal tersebut karena keterbatasan anggaran.
Ian mengemukakan, seharusnya keterbatasan anggaran tidak boleh menghambat kegiatan pengawasan karena Menteri Kelautan dan Perikanan adalah bagian dari pemerintah yang seharusnya juga berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut.
Menilik kinerja pengawasan yang dilakukan oleh KKP bukannya tanpa hasil. Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP secara nasional pada 2012 telah memeriksa 1.150 kapal dan menangkap 39 kapal yang sebanyak 28 kapal diantaranya berbendera asing.
Dirjen PSDKP KKP Syahrin Abdurrahman saat di Pontianak, Mei 2012 lalu memaparkan, untuk Stasiun PSDKP Pontianak sendiri tercatat terdapat hingga 65 kapal yang merupakan kapal pelaku "illegal fishing" atau pencurian ikan yang diproses sejak tahun 2008 hingga kini.
Dari jumlah tersebut, lanjutnya, sebanyak 21 kapal memperoleh putusan tetap ("inkracht"), 19 kapal dalam proses kasasi, 11 kapal dalam proses banding, 5 kapal dalam proses pelimpahan perkara ke kejaksaan dan 9 kapal masih dalam proses penyidikan.
"Kapal-kapal pelaku 'illegal fishing' tersebut selanjutnya menjalani proses hukum di Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan satker-satker PSDKP yang berada di lokasi terdekat," katanya.
Ia juga menuturkan, stasiun PSDKP Pontianak merupakan salah satu UPT yang di dukung oleh 24 satuan kerja dan pos pengawasan yang tersebar di berbagai provinsi antara lain di Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.
Syahrin mengakui salah satu kendala terkait pengawasan aktivitas pencurian ikan adalah masih terbatasnya kapal pengawas perikanan yaitu hanya 24 unit. Bahkan, separuh atau 12 dari 24 kapal tersebut telah berusia antara 8 - 10 tahun sehingga dinilai membutuhkan peremajaan.
Idealnya, menurut dia, jumlah kebutuhan kapal pengawas yang seharusnya dimiliki oleh KKP adalah mencapai sebanyak 90 unit kapal pengawas perikanan.
Atasi "transhipment" tingkatkan pendaratan Salah satu permasalahan terkait pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia adalah masih terjadinya "transhipment" (pemindahan ikan yang ditangkap ke kapal lain) di tengah laut dan bukan didaratkan di tempat pendaratan yang telah ditentukan.
Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo akan memperbaiki sistem manajemen pelayanan pelabuhan untuk meningkatkan jumlah ikan yang didaratkan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Tanah Air.
"Manajemen pelayanan terhadap kapal-kapal nelayan masih sangat semrawut sehingga kami akan memperbaiki sistem manajemen pelayanan pelabuhan," kata Sharif Cicip Sutardjo dalam acara peresmian Kampoeng BNI di Kampung Nelayan Muara Angke, Jakarta, Selasa (5/6).
Menurut Sharif, dengan memperbaiki sistem pelayanan di pelabuhan, maka diharapkan para nelayan akan semakin banyak yang mendaratkan ikannya di TPI serta pelelangan ikan yang ditentukan.
Ia memaparkan, kesemrawutan dalam pelayanan pelabuhan itu antara lain disebabkan oleh sistem pelayanan yang tidak dijalankan dengan baik oleh pemda.
Hal tersebut, lanjutnya, juga akibat dari kurangnya dana operasional yang diperlukan pemda untuk memperbaiki sistem pelayanan pelabuhan seperti untuk membuat ruang pendingin atau "cold storage" dan pemutakhiran sistem teknologi informasi.
Selain itu, KKP juga telah menambah jumlah hakim ad hoc di bidang pengadilan perikanan pada 2012 menjadi 57 orang dengan mengirim sebanyak 20 orang calon hakim yang telah diseleksi.
"Upaya ini dilakukan demi terselenggaranya penegakan hukum dan terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak," kata Sharif.
Menteri Kelautan dan Perikanan memaparkan, 20 calon hakim ad hoc Pengadilan Perikanan yang dikirim merupakan hasil seleksi ke Mahkamah Agung untuk menjalani pendidikan dan pelatihan.
Acara Diklat tersebut dinilai Sharif perlu dilakukan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi korban maraknya aktivitas penangkapan ikan ilegal.
Indikasi itu, menurut dia, terbukti dengan banyaknya kasus penangkapan ikan ilegal yang masih kerap ditemui dengan berbagai modus kegiatan seperti terdapatnya surat izin ganda, ditemukannya dokumen palsu, dan "transhipment" untuk kemudian dibawa ke luar negeri.
Selain itu, lanjutnya, modus lainnya adalah masih terdapatnya ketidaktertiban dalam pemasangan VMS (sistem pemantauan kapal), serta penangkapan ikan yang merusak dengan pengeboman dan potasium.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan guna menunjang pelaksanaan dan pencapaian tujuan sasaran pembangunan perikanan sesuai azas pengelolaan perikanan.
"Demi menyukseskan pembangunan perikanan secara berkelanjutan, dibutuhkan kepastian hukum," katanya.
Berdasarkan data KKP, kasus tindak pidana perikanan menurun dari 138 kasus pada 2010 menjadi 66 kasus pada 2011. Dari jumlah tersebut, sebanyak 196 perkara telah ditangani Pengadilan Perikanan.
Saat ini, pengadilan khusus tindak pidana perikanan telah dibentuk di tujuh wilayah yakni di Pengadilan Negeri (PN) Medan, PN Jakarta Utara, PN Pontianak, PN Tual, PN Bitung, PN Tanjung Pinang dan PN Ranai.
Berembuk dengan Kemenkopolhukam Sementara itu, KKP bersama-sama dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan juga telah dan sedang berembuk soal pengawasan tindakan pencurian ikan yang terjadi di Tanah Air.
"Kami berembuk dengan Kemenkopulhukam untuk bagaimana dalam Bakorkamla (Badan Koordinasi Keamanan Laut) diperoleh kekuatan bersama antara TNI AL, Polri, dan KKP untuk bisa bersama-sama melaksanakan pengawasan," kata Sharif.
Selama ini, ujar Sharif, KKP dinilai merupakan satu-satunya elemen yang secara langsung mengawasi perairan di dalam wilayah RI terkait pencurian ikan sedangkan untuk masalah kedaulatan di daerah perbatasan diserahkan kepada AL.
Menteri Kelautan dan Perikanan memaparkan, meski selama ini telah banyak kapal asing seperti dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang telah ditangkap karena melakukan pencurian ikan, kapasitas dan kondisi kapal-kapal yang dimiliki KKP dinilai masih belum terlalu memadai bahkan hanya memiliki dana operasional untuk jangka waktu yang tidak memadai.
Ia juga mengemukakan, Bakorkamla selama ini masih sukar dalam melakukan koordinasi antara lain karena kurangnya jumlah armada dan dana operasional yang mereka miliki.
Di tempat terpisah, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, Bakorkamla perlu diperkuat untuk menjaga sumber daya kelautan dan perikanan yang terdapat di berbagai wilayah perairan Indonesia.
"Bakorkamla perlu memperkuat koordinasi internalnya, karena mulai pengamanan dan pengawasan sampai dengan penindakan pelanggaran hukumnya bisa dilakukan," kata Plt Sekjen Kiara, Abdul Halim.
Menurut Abdul Halim, sejauh ini koordinasi yang dilakukan Bakorkamla merupakan barang berharga dalam pengamanan, pengawasan, dan penindakan pelanggaran hukum di laut, khususnya di wilayah perbatasan.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah bila ingin mengatasi kegiatan pencurian ikan ilegal dalam jangka pendek perlu untuk memperkuat armada pendukung Bakorkamla serta menambah jumlah hari pengawasan perikanan.
Sedangkan dalam jangka panjang, ia minta pemerintah segera mengharmonisasikan kebijakan nasional agar sesuai dengan kondisi geopolitik Indonesia sebagai negara maritim.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga perlu menguatkan kapasitas nelayan untuk ikut terlibat dalam menjalankan fungsi dan tugas pokok Bakorkamla.
Sementara itu, mantan Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Aji Sularso mengatakan, Bakorkamla perlu diperkuat antara lain dengan cara membuat undang-undang yang khusus menaungi fungsi dan wewenang dari Bakorkamla.
Hal tersebut, menurut Aji, karena Bakorkamla mengkoordinasikan berbagai instansi seperti TNI dan Kepolisian yang masing-masing telah memiliki dasar UU-nya sendiri, sedangkan Bakorkamla dibuat berdasarkan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2005.
Dengan adanya penguatan terhadap Bakorkamla oleh pemerintah dan berbagai pihak terkait, maka diharapkan ke depannya pengawasan terhadap para pencuri ikan di kawasan perairan Indonesia tidak akan lagi "terengah-engah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar