TEMPO Interaktif, Jakarta:Kerugian
negara akibat <I>illegal fishing</I> atau pencurian ikan
oleh nelayan asing mencapai Rp 30 triliun setiap tahunnya. Menurut
Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, pencurian ikan marak
karena negara asal nelayan asing itu memiliki industri perikanan tapi
kekurangan pasokan bahan baku. “Kalau mereka tak bisa mendapatkannya
melalui kerja sama (legal), alternatifnya mereka mencuri di Indonesia,”
kata Freddy seusai meneken nota kesepahaman dengan Jaksa Agung Hendarman
Supandji di Kejaksaan Agung, Selasa (31/3).
Freddy
menjelaskan, untuk mengurangi tindak pidana kejahatan itu, pemerintah
menambah syarat dalam izin penangkapan ikan di perairan Nusantara.
Pemerintah meminta negara asal nelayan untuk membuka industri pengolahan
ikan di Indonesia. “Kapal mereka harus mendaratkan ikannya dulu,”
ujarnya.
Direktur
Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan, Adji Sularso, menuding Thailand sebagai negara
yang mencuri ikan paling banyak. Kendati pada tahun lalu kapal Vietnam
paling banyak tertangkap, kata dia, “Kerugian paling besar disebabkan
ulah nelayan Thailand.”
Adji
menambahkan, selain menambah syarat dalam perizinan, untuk mengurangi
maraknya pencurian ikan, departemennya juga menyiapkan sejumlah
perangkat di bidang hukum. Di antaranya, menambah jumlah pengadilan
perikanan. Saat ini pengadilan perikanan hanya ada di Jakarta Utara,
Pontianak, Bitung, Medan dan Tual. Departemen, kata dia, mengusulkan
agar pengadilan khusus itu juga dibuka di Rane, Tanjung Pinang, dan
Timika.
Adji
menyatakan, adanya nota kesepahaman antara Departemen Kelautan dengan
Kejaksaan, waktu penyidikan kasus kejahatan perikanan bisa dipersingkat.
Sebab, kata dia, jaksa dilibatkan sejak awal penyidikan. “Tak akan ada
lagi bolak-balik perkara dari penyidik ke jaksa,” ujarnya.
Dia
melanjutkan, proses hukum yang cepat itu juga bisa menutup celah bagi
tersangka lolos dari celah hukum. Menurut dia, lamanya proses penyidikan
hingga penuntutan kerap dimanfaatkan tersangka melakukan perlawanan
dengan mengajukan gugatan praperadilan. “Kalau mereka menang, kasus
berhenti,” ujarnya.
Di
tempat yang sama, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, dalam
Rancangan Undang-Undang Perikanan yang sudah diserahkan ke Dewan
Perwakilan Rakyat, pemerintah mengusulkan, pelaku <I>illegal
fishing</I> bisa dijerat dengan pasal pidana <I>money
laundering</I> atau pencucian uang. Meski, kejahatan perikanannya
sulit dibuktikan.
Saat
ini, kata dia, penyidikan kejahatan pencucian uang menjadi buntu bila
tindak pidana pokoknya tak terbukti. ”Nantinya, penyidik bisa melakukan
penyidikan tindak pidana ikutan, seperti pencucian uang, dalam waktu
bersamaan,” ujar Hendarman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar