BANDA ACEH: Koalisi untuk Laut Aceh (Kuala), lembaga bergerak di bidang kelautan, bersama masyarakat nelayan akan mengusulkan empat titik terumbu karang di perairan Kabupaten Aceh Besar, sebagai kawasan konservasi.
“Kami bersama Lembaga Panglima Laut dan masyarakat nelayan sudah memetakan ke empat titik tersebut. Keempatnya akan diusulkan menjadi kawasan konservasi,” kata Koordinator Kuala Arifsyah M Nasution di Banda Aceh, Rabu 16 Feb. 2011.
Keempat titik terumbu karang tersebut, yakni di perairan Krueng Raya, Utara Kabupaten Aceh Besar, perairan Ujung Pancu dan Pulau Aceh di sebelah barat Kabupaten Aceh Besar.
“Serta di perairan Lampuuk, Kecamatan Lhoknga yang berada di bagian selatan Kabupaten Aceh Besar. Keempat titik terumbu karang tersebut sudah dipetakan sejak dua bulan silam,” katanya.
Menurut dia, hasil pemetaan jaringan KuALA bersama masyarakat nelayan, ekosistem, khususnya terumbu karang, di keempat titik tersebut masih terjaga dengan baik.
Selanjutnya, kata dia, hasil pemetaan tersebut akan disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan diusulkan menjadi kawasan konservasi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta.
“Kami berharap Menteri Kelautan dan Perikanan menyetujui usulan ini. Dan juga masyarakat nelayan sudah sepakat akan menjaga kawasan konservasi terumbu karang tersebut,” ujarnya.
Ia mengatakan, kendati nantinya keempat titik terumbu karang tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi, bukan berarti masyarakat nelayan dilarang menangkap ikan di tempat itu.
Menurut dia, kuncinya keberhasilan konservasi tersebut adalah komitmen nelayan. Jika ini tidak ada, maka sama saja upaya konservasi tersebut berjalan timpang.
“Artinya, walau pemerintah sudah menetapkannya, tetapi kalau tanpa dukungan, masyarakat nelayan tetap saja merusaknya. Keberhasilan konservasi ini kepada mereka,” kata Arifsyah M Nasution.
"Adat bak Po Teumeureuhom; hukom bak Syiah Kuala; Qanun bak Putro Phang; Reusam bak Laksamana" (adat dari Sultan, hukum dari Ulama, Qanun dari Putri Pahang, reusam dari Laksamana)
Rabu, 28 September 2011
Aceh Butuh Industri Pengolahan Ikan
BANDA ACEH: Provinsi Aceh perlu adanya pengelolaan industri perikanan bersama guna memberdayakan potensi nelayan, sehingga tingkat kesejahteraannya lebih meningkat.
Sekretaris Pusat Studi Hukum Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (PUSHAL-KP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) T Muttaqin Mansur menyatakan pengelolaan bersama itu dilakukan agar adanya sinergisitas antara nelayan dan pemerintah.
“Bila ini berjalan dengan maksimal maka nelayan akan merasakan mamfaatnya. Pengelolaan industri perikanan bersama akan mengurangi angka kemiskinan,” jelas dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini di Banda Aceh Selasa 19 April 2011.
Potensi perikanan di Aceh, sebut Muttaqin, masih sangat besar sehingga perlu dijaga dengan baik, sehingga perlu adanya kerjasama antara pemerintah, nelayan, dan pemangku kepentingan lain.
Ia menambahkan, sumber daya perikanan itu harus sebanding dengan kesejateraan nelayan bukan sebaliknya.
Potensi perikanan laut di Provinsi Aceh belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di daerah itu masih rendah.
“Sebenarnya banyak peluang bisnis yang bisa dimanfaatkan di sektor perikanan laut, tapi para nelayan kita terkendala masalah modal,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh Razali.
Sekitar 60 persen potensi perikanan laut di Aceh belum digarap, padahal selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga bisa mengatasi masalah pengangguran di daerah ini.
Sektor perikanan akan banyak menciptakan lapangan kerja baru untuk menampung calon tenaga kerja. Bahkan kalangan wanita bisa tertampung di sektor tersebut, katanya.
Razali menyatakan, ada beberapa kendala yang menghambat pertumbuhan sektor perikanan di Aceh, di antaranya minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki, serta kurang terawatnya dermaga yang terdapat di sejumlah daerah.
Menurut dia, dibutuhkan lebih dari Rp120 miliar untuk biaya memperbaiki dan membangun sarana pendukung, seperti pengerukan kuala pendaratan ikan yang mengalami pendangkalan.
Selain itu, kurangnya modal usaha yang dimiliki nelayan Aceh yang sebagian besar merupakan nelayan tradisional sehingga sulit menggarap maksimal potensi perikanan.
Di provinsi ujung paling barat di Indonesia itu terdapat tiga sentra budidaya perikanan tangkap yaitu di kawasan timur yaitu Idi (Kabupaten Aceh Timur), Lampulo (Kota Banda Aceh) dan wilayah barat selatan di Labuhan Haji (Kabupaten Aceh Selatan).
Potensi ikan laut yang cukup besar di perairan Aceh diantaranya tuna, kerapu, udang, dan lobster.
Selain itu, di Aceh juga terdapat potensi perikanan air tawar seluas sekitar 70 ribu hektare di daerah dataran tinggi dengan jenis ikan unggulan seperti ikan mas dan gurami serta seluas 44 ribu ha kawasan budidaya air payau dengan ikan bandeng sebagai unggulan.
Pada bagian lain Muttaqim menyatakan, perikanan di Aceh masih rawan sekali dengan aksi pencurian.
Untuk itu, ia berharap agar semua elemen baik masyarakat, pemerintah, stakehoders dan aparat penegak hukum bisa menjaga laut tetap lestari dan mencegah terjadinya aksi pencurian di lautan Aceh sehingga kesejahteraan nelayan meningkat.
“Implementasi Qanun Nomor 7 tahun 2010 perlu segera dilakukan agar menjadi payung hukum dan bisa dirasakan maslahatnya oleh nelayan,” sarannya.
Sekretaris Pusat Studi Hukum Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (PUSHAL-KP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) T Muttaqin Mansur menyatakan pengelolaan bersama itu dilakukan agar adanya sinergisitas antara nelayan dan pemerintah.
“Bila ini berjalan dengan maksimal maka nelayan akan merasakan mamfaatnya. Pengelolaan industri perikanan bersama akan mengurangi angka kemiskinan,” jelas dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini di Banda Aceh Selasa 19 April 2011.
Potensi perikanan di Aceh, sebut Muttaqin, masih sangat besar sehingga perlu dijaga dengan baik, sehingga perlu adanya kerjasama antara pemerintah, nelayan, dan pemangku kepentingan lain.
Ia menambahkan, sumber daya perikanan itu harus sebanding dengan kesejateraan nelayan bukan sebaliknya.
Potensi perikanan laut di Provinsi Aceh belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di daerah itu masih rendah.
“Sebenarnya banyak peluang bisnis yang bisa dimanfaatkan di sektor perikanan laut, tapi para nelayan kita terkendala masalah modal,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh Razali.
Sekitar 60 persen potensi perikanan laut di Aceh belum digarap, padahal selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga bisa mengatasi masalah pengangguran di daerah ini.
Sektor perikanan akan banyak menciptakan lapangan kerja baru untuk menampung calon tenaga kerja. Bahkan kalangan wanita bisa tertampung di sektor tersebut, katanya.
Razali menyatakan, ada beberapa kendala yang menghambat pertumbuhan sektor perikanan di Aceh, di antaranya minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki, serta kurang terawatnya dermaga yang terdapat di sejumlah daerah.
Menurut dia, dibutuhkan lebih dari Rp120 miliar untuk biaya memperbaiki dan membangun sarana pendukung, seperti pengerukan kuala pendaratan ikan yang mengalami pendangkalan.
Selain itu, kurangnya modal usaha yang dimiliki nelayan Aceh yang sebagian besar merupakan nelayan tradisional sehingga sulit menggarap maksimal potensi perikanan.
Di provinsi ujung paling barat di Indonesia itu terdapat tiga sentra budidaya perikanan tangkap yaitu di kawasan timur yaitu Idi (Kabupaten Aceh Timur), Lampulo (Kota Banda Aceh) dan wilayah barat selatan di Labuhan Haji (Kabupaten Aceh Selatan).
Potensi ikan laut yang cukup besar di perairan Aceh diantaranya tuna, kerapu, udang, dan lobster.
Selain itu, di Aceh juga terdapat potensi perikanan air tawar seluas sekitar 70 ribu hektare di daerah dataran tinggi dengan jenis ikan unggulan seperti ikan mas dan gurami serta seluas 44 ribu ha kawasan budidaya air payau dengan ikan bandeng sebagai unggulan.
Pada bagian lain Muttaqim menyatakan, perikanan di Aceh masih rawan sekali dengan aksi pencurian.
Untuk itu, ia berharap agar semua elemen baik masyarakat, pemerintah, stakehoders dan aparat penegak hukum bisa menjaga laut tetap lestari dan mencegah terjadinya aksi pencurian di lautan Aceh sehingga kesejahteraan nelayan meningkat.
“Implementasi Qanun Nomor 7 tahun 2010 perlu segera dilakukan agar menjadi payung hukum dan bisa dirasakan maslahatnya oleh nelayan,” sarannya.
Rabu, 14 September 2011
HUTAN MANGROVE NAD DAN OPSI PENGELOLAAN KEDEPAN
Belum ada data yang konkrit tentang luas hutan mangrove di Aceh. Data yang ada bervariasi dan berbeda antara satu instansi/lembaga dengan yang lainnya. Menurut Departemen Kehutanan tahun 2004, seperti yang termuat dalam Buku II Blue Print Aceh pasca tsunami bahwa luasan hutan mangrove Propinsi NAD diperkirakan mencapai sekitar 346.838 ha, dengan rincian 296.078 ha terletak di Pantai Timur, 49.760 ha di Pantai Barat, dan 1.000 ha di Pulau Simeulue.
Wet Land Internasional memprediksikan berdasarkan RePPProT (1985 – 1989), luas hutan mangrove di Aceh semula mencapai 60.000 ha. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi sekitar 20.000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 – 1990 dan kini diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10.000 – 12.500 ha. Data ini berbeda jauh dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias saat ini, luasnya mencapai 168.840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah tsunami 105.260 ha. FAO memprediksikan jumlah hutan mangrove di NAD tahun 2003 adalah 44.126,50 ha sedangkan DKP-NAD memprediksikan 23.358,20 ha.
Kedua sumber data di atas terlihat sangat bervariasi, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen dari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh, sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove yang tumbuh di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan di Pantai Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah jenis Rhizophora apiculata. Namun yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora apiculata dan Avicennia marina.
Akibat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, hampir 100 persen hutan mangrove di Pantai Barat Aceh mengalami rusak total, terutama mangrove yang berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Total luas mangrove di kedua kabupaten/kota ini diperkirakan mencapai 27.000 ha. Sedangkan untuk Pantai Timur Aceh, yang dimulai dari Kabupaten Pidie, Bireuen, sampai Aceh Tamiang, mengalami kerusakan yang bervariasi. Secara umum, semakin ke arah timur tingkat kerusakan semakin ringan. Untuk Kabupaten Pidie, diperkirakan tingkat kerusakan hutan mangrove sekitar 75 persen, Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara mencapai 30 persen, sedangkan Aceh Timur, Kota Langsa, dan Tamiang relatif tidak rusak.
Jika luas kerusakan hutan mangrove 105.260 ha, seperti yang dilaporkan DEPHUT, maka ke depan memerlukan sumber daya yang cukup besar dan kerja keras untuk mengembalikan hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh dengan panjang garis pantai sekitar 2.467 km memerlukan hutan mangrove lebih dari 200.000 ha sebagai buffer zone atau greenbelt yang berfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang. Untuk itu, pemerintah, NGOs, dan lembaga donor lainnya telah melakukan penanaman kembali areal mangrove yang rusak karena tsunami, namun hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa survival rate penanaman mangrove sangat rendah, diperkirakan kurang dari 50 persen.
Rendahnya tingkat tumbuh mangrove ini disebabkan cara penanaman mangrove yang dilakukan tidak memenuhi standar atau persyaratan teknis. Umumnya jenis mangrove yang telah ditanam kembali pasca tsunami adalah Rhizophora mucronata (yang disebut bakau) dengan jarak tanam yang sangat rapat (sekitar 30 – 50 cm). Bibit mangrove ditanam oleh masyarakat setempat dengan sistem upah per batang (cash for work). Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menanam dan merawat mangrove. Padahal, secara teoritis setiap jenis mangrove membutuhkan persyaratan teknis yang berbeda antara satu dan lainnya, misalnya persyaratan unsur hara, tekstur tanah, salinitas air, ketahanan terhadap gelombang, dan lain-lain. Apalagi kondisi lahan di Aceh yang dipercayai sudah mengalami banyak perubahan akibat tsunami. Akibatnya, suatu spesies mangrove yang tumbuh baik di suatu darah sebelum tsunami, maka setelah tsunami belum tentu jenis yang sama akan cocok/sesuai ditanam kembali, perlu ada analisis awal tentang kesesuian lahan.
Belajar dari kegagalan masa lalu dimana tingkat keberhasilan (survival rate) penanaman mangrove yang cukup rendah, maka kedepan perlu adanya penanaman dan pengelolaan mangrove yang terorganisir. Untuk itu, perlu dibentuk formulasi perencanaan manajemen mangrove (Mangrove Management Plan). Perencanaan manajemen ini termasuk penilaian secara sistematis dan komperehensif dari luas area hutan mangrove yang rusak karena gelombang tsunami dan mengidentifikasi luas area yang dibutuhkan dan cocok untuk penanaman kembali mangrove. Semua ini harus mempertimbangkan faktor-faktor biologi (lingkungan) dan sosial ekonomi yang mungkin mempengaruhi pemanfaatan mangrove ke depan dan pembangunan suatu konsep untuk menilai spesies yang paling cocok untuk ditanami kembali. Pemilihan spesies harus didasarkan pada penelitian kesesuaian lahan, keuntungan ekonomi, dan kesesuaian lingkungan jangka panjang.
Untuk mewujudkan tahapan di atas, diperlukan suatu Pusat Rehabilitasi Mangrove (Pusat Remang). Selanjutnya dibentuk suatu network pusat capacity building di sepanjang pantai untuk membantu sosialisasi dan pengawasan program-program yang akan dibuat. Lembaga harus dikenal luas oleh masyarakat dan harus sukses dalam jangka panjang. Beberapa tugas pokok dari Pusat Remang adalah (1) meningkatkan akses informasi kepada masyarakat tentang pentingnya rehabilitasi mangrove, (2) untuk melakukan training dalam usaha penanaman mangrove, (3) menyediakan informasi dalam opsi-opsi pemanfaatan hutan mangrove ke depan, dan (4) mengadakan pelatihan menyangkut pengusahaan bibit mangrove, rehabilitasi mangrove, reklamasi lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen pengelolaan sumber daya.
Menurut beberapa penelitian bahwa tekstur tanah di Pantai Timur Aceh adalah berpasir (sand), liat (loam), dan liat berlumpur (silt loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba, Rhizophora mucronata. Sedangkan di Pantai Barat tekstur tanahnya adalah berpasir (sand), liat (loam), liat berpasir (sandy loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Aegiceras floridum, dan Phemphis acidula (cantigo). Selain itu, jenis Nypha fruticans yang tumbuh lebih kearah daratan juga cocok ditanami, khususnya di Pantai Barat Aceh. Lebih jauh dikatakan bahwa lahan potensial untuk penanaman mangrove di Aceh pasca tsunami adalah 447.061 ha, yang terdiri dari 297.464 ha di lahan kahayan (KHY), 61.888 ha di lahan kajapah (KJP), dan 87.709 ha di lahan puting (PTG).
Wet Land Internasional memprediksikan berdasarkan RePPProT (1985 – 1989), luas hutan mangrove di Aceh semula mencapai 60.000 ha. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi sekitar 20.000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 – 1990 dan kini diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10.000 – 12.500 ha. Data ini berbeda jauh dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias saat ini, luasnya mencapai 168.840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah tsunami 105.260 ha. FAO memprediksikan jumlah hutan mangrove di NAD tahun 2003 adalah 44.126,50 ha sedangkan DKP-NAD memprediksikan 23.358,20 ha.
Kedua sumber data di atas terlihat sangat bervariasi, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen dari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh, sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove yang tumbuh di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan di Pantai Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah jenis Rhizophora apiculata. Namun yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora apiculata dan Avicennia marina.
Akibat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, hampir 100 persen hutan mangrove di Pantai Barat Aceh mengalami rusak total, terutama mangrove yang berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Total luas mangrove di kedua kabupaten/kota ini diperkirakan mencapai 27.000 ha. Sedangkan untuk Pantai Timur Aceh, yang dimulai dari Kabupaten Pidie, Bireuen, sampai Aceh Tamiang, mengalami kerusakan yang bervariasi. Secara umum, semakin ke arah timur tingkat kerusakan semakin ringan. Untuk Kabupaten Pidie, diperkirakan tingkat kerusakan hutan mangrove sekitar 75 persen, Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara mencapai 30 persen, sedangkan Aceh Timur, Kota Langsa, dan Tamiang relatif tidak rusak.
Jika luas kerusakan hutan mangrove 105.260 ha, seperti yang dilaporkan DEPHUT, maka ke depan memerlukan sumber daya yang cukup besar dan kerja keras untuk mengembalikan hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh dengan panjang garis pantai sekitar 2.467 km memerlukan hutan mangrove lebih dari 200.000 ha sebagai buffer zone atau greenbelt yang berfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang. Untuk itu, pemerintah, NGOs, dan lembaga donor lainnya telah melakukan penanaman kembali areal mangrove yang rusak karena tsunami, namun hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa survival rate penanaman mangrove sangat rendah, diperkirakan kurang dari 50 persen.
Rendahnya tingkat tumbuh mangrove ini disebabkan cara penanaman mangrove yang dilakukan tidak memenuhi standar atau persyaratan teknis. Umumnya jenis mangrove yang telah ditanam kembali pasca tsunami adalah Rhizophora mucronata (yang disebut bakau) dengan jarak tanam yang sangat rapat (sekitar 30 – 50 cm). Bibit mangrove ditanam oleh masyarakat setempat dengan sistem upah per batang (cash for work). Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menanam dan merawat mangrove. Padahal, secara teoritis setiap jenis mangrove membutuhkan persyaratan teknis yang berbeda antara satu dan lainnya, misalnya persyaratan unsur hara, tekstur tanah, salinitas air, ketahanan terhadap gelombang, dan lain-lain. Apalagi kondisi lahan di Aceh yang dipercayai sudah mengalami banyak perubahan akibat tsunami. Akibatnya, suatu spesies mangrove yang tumbuh baik di suatu darah sebelum tsunami, maka setelah tsunami belum tentu jenis yang sama akan cocok/sesuai ditanam kembali, perlu ada analisis awal tentang kesesuian lahan.
Belajar dari kegagalan masa lalu dimana tingkat keberhasilan (survival rate) penanaman mangrove yang cukup rendah, maka kedepan perlu adanya penanaman dan pengelolaan mangrove yang terorganisir. Untuk itu, perlu dibentuk formulasi perencanaan manajemen mangrove (Mangrove Management Plan). Perencanaan manajemen ini termasuk penilaian secara sistematis dan komperehensif dari luas area hutan mangrove yang rusak karena gelombang tsunami dan mengidentifikasi luas area yang dibutuhkan dan cocok untuk penanaman kembali mangrove. Semua ini harus mempertimbangkan faktor-faktor biologi (lingkungan) dan sosial ekonomi yang mungkin mempengaruhi pemanfaatan mangrove ke depan dan pembangunan suatu konsep untuk menilai spesies yang paling cocok untuk ditanami kembali. Pemilihan spesies harus didasarkan pada penelitian kesesuaian lahan, keuntungan ekonomi, dan kesesuaian lingkungan jangka panjang.
Untuk mewujudkan tahapan di atas, diperlukan suatu Pusat Rehabilitasi Mangrove (Pusat Remang). Selanjutnya dibentuk suatu network pusat capacity building di sepanjang pantai untuk membantu sosialisasi dan pengawasan program-program yang akan dibuat. Lembaga harus dikenal luas oleh masyarakat dan harus sukses dalam jangka panjang. Beberapa tugas pokok dari Pusat Remang adalah (1) meningkatkan akses informasi kepada masyarakat tentang pentingnya rehabilitasi mangrove, (2) untuk melakukan training dalam usaha penanaman mangrove, (3) menyediakan informasi dalam opsi-opsi pemanfaatan hutan mangrove ke depan, dan (4) mengadakan pelatihan menyangkut pengusahaan bibit mangrove, rehabilitasi mangrove, reklamasi lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen pengelolaan sumber daya.
Menurut beberapa penelitian bahwa tekstur tanah di Pantai Timur Aceh adalah berpasir (sand), liat (loam), dan liat berlumpur (silt loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba, Rhizophora mucronata. Sedangkan di Pantai Barat tekstur tanahnya adalah berpasir (sand), liat (loam), liat berpasir (sandy loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Aegiceras floridum, dan Phemphis acidula (cantigo). Selain itu, jenis Nypha fruticans yang tumbuh lebih kearah daratan juga cocok ditanami, khususnya di Pantai Barat Aceh. Lebih jauh dikatakan bahwa lahan potensial untuk penanaman mangrove di Aceh pasca tsunami adalah 447.061 ha, yang terdiri dari 297.464 ha di lahan kahayan (KHY), 61.888 ha di lahan kajapah (KJP), dan 87.709 ha di lahan puting (PTG).
Hutan Mangrove Tamiang Sekarat
Lhokseumawe - Perusakan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang baik yang berstatus hutan lindung seluas ± 5,7 ribu hektar dan hutan produksi tetap seluas ± 15,9 ribu hektar masih terus berlangsung. Demikian dikatakan oleh koordinator Koalisi Untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), M. Arifsyah Nasution, S.Si. kepada The Globe Journal, Minggu (29/11) di Lhokseumawe.
Tidak dipungkiri, sepanjang tahun 2008-2009 perusakan hutan mangrove semakin menggila. Menurut laporan terbaru hasil observasi multipihak yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga anggota KuALA di Aceh Tamiang, LeBAM (2009), kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang diperkirakan telah mencapai 85%. Kondisi hutan mangrove yang sekarat ini akan langsung berdampak buruk baik secara sosial maupun ekonomi terhadap ± 65 ribu jiwa penduduk yang tersebar di 4 (empat) kecamatan pesisir di Aceh Tamiang, yaitu: Manyak Payed, Bendahara, Banda Mulia dan Seruway.
“Modus konversi hutan mangrove menjadi tambak, perkebunan sawit bahkan permukiman serta penebangan bakau untuk kegiatan dapur arang tidak berizin telah mengakibatkan fungsi ekosistem hutan mangrove menjadi sangat merosot,”kata Ariefsyah menjelaskan.
Ekspansi lebih dari 800 hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan mangrove berstatus lindung, nyata-nyata menggambarkan bahwa pengendalian penataan ruang di Kabupaten Aceh Tamiang selama ini kacau balau dan sarat pelanggaran. “KuALA memandang bahwa kerusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang akan berdampak luas bila tidak mendapat perhatian serius pemerintah. Kerusakan mangrove tersebut tidak hanya telah menghancurkan keanekaragaman hayati yang ada di kawasan pesisir dan mengancam matapencaharian masyarakat tradisional di kawasan pesisir Tamiang,”katanya.
Kondisi terakhir mangrove di Aceh Tamiang sebagai kawasan hutan mangrove terluas yang tersisa di Provinsi Aceh saat ini tentunya menuntut tindakan segera dan penanganan cepat. Mengingat lemahnya komitmen dan political-will Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang selama ini dalam penanganan krisis mangrove Aceh Tamiang. KuALA dengan ini meminta Gubernur Aceh selaku kepala pemerintah Provinsi Aceh untuk segera mengambil langkah-langkah penanganan cepat dan terpadu yang mengacu pada kebijakan Moratorium Logging dan Visi Aceh Green. “Kami meminta agar Gubernur Irwandi memanggil Bupati Tamiang untuk mengambil tindakan dan meminta Polda Aceh agar mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam dalam perusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang,”kata Ariefsyah.
Selain itu KuALA menginginkan adanya penempatan sejumlah personel polisi hutan tambahan dalam jangka waktu 3 bulan guna membantu polisi hutan Aceh Tamiang mengintensifkan patroli pengawasan kawasan hutan mangrove Aceh Tamiang dengan tetap melibatkan unsur masyarakat dan kepolisian daerah setempat bila dipandang perlu.
Hutan Bakau Di Mangrove Aceh Tamiang Terancam Punah
Banda Aceh - Hutan lindung mangrove yang terletak di Kecamatan Seruway Desa Lubuk Damar kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh terancam hilang akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi industri arang kayu. Sayangnya, belum ada upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan oleh pemerintah daerah setempat.
Investigasi oleh Tim WALHI Aceh yang terdiri dari Basyuni, Udien dan Taharuddin Tajomendapati bahwa hutan Mangrove yang terancam punah tersebut seluas 3000 H. Dari jumlah tersebut, 600 ha merupakan hutan lindung Mangrove dan 2400 hektar kawasan hutan produksi bakau.
Pelaku alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah anak perusahaan PT Mopoli Raya yaitu PT Sumber Asih dengan memakai tangan tokoh masyarakat dan pengusaha perkebunan setempat yang bertempat tinggal di Kualasimpang - Aceh Tamiang dan Medan - Sumatera Utara, juga turut serta Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mengatasnamakan masyarakat.
Perkebunan kelapa sawit milik PT Sumber Asih dengan luas 3000 Ha yang digunakan, hanya 1500 Ha saja yang ada surat keterangan penggunaan lahan sedangkan selebihnya tidak ada surat keterangan. Sementara dokumen Amdal tidak dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Pada kawasan pantai, terjadi kerusakan Garis Sempadan Pantai (GSP) dan Sungai di kecamatan Seruway kawasan hutan bakau Aceh Tamiang, mengakibatkan kondisi tutupan lahan menjadi kritis. Lahan Sawit PT Sumber Asih yang masuk ke dalam hutan lindung Mangrove seluas 600 Ha.
Alur-alur kecil dalam kawasan lindung dan hutan produksi ditutup (dibedeng) dengan menggunakan alat berat (Backhoe ) untuk dikeringkan sehingga ekosistem pantai rusak. Pengeringan tersebut mengakibatkan abrasi sempadan Sungai Tamiang, khususnya diwilayah Desa Sungai Kuruk, dampak dari tutupnya alur-alur kecil yang berada di dalam kawasan hutan bakau.
Mata pencaharian penduduk yang bergantung pada laut semakin terancam dan punah, dikarenakan rusaknya ekosistem dan populasi habitat yang ada seperti Kerang, Seteng (yang mengandung mutiara) dan burung Rangkok. WALHI Aceh menyatakan kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dimulai dari tahun 1990.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Pemerintah Aceh (SK) Nomor 19/1999 tentang Penyesuaian Arahan Fungsi Hutan (PAFH) kedalam rencana tata ruang wilayah Pemerintah Aceh (PA) dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/KPT-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Pemerintah Aceh seluas lebih kurang 3.549.813 hektar. Bahwa luas wilayah Hutan Bakau (Mangrove) wilayah pesisir Aceh Tamiang lebih kurang 22.135 hektar, terdiri atas kawasan lindung seluas 5.000 hektar dan kawasan hutan produksi lebih kurang 16.635 hektar.
Kendati demikian dapat disimpulkan bahwa kerusakan kawasan hutan bakau di Seruway, sudah masuk kategori rusak berat (kritis) apabila dihubungkan dengan kriteria baku kerusakan hutan Mangrove berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, tentang "Kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan Mangrove", maka status kondisi Hutan Mangrove Aceh Tamiang diklasifikasikan dalam tingkat C atau rusak (penutupan <50%,>
Salah satu dampak lain yang mengkhawatirkan akibat perambahan hutan Mangrove adalah memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
Perambahan hutan mangrove secara tak terkendali menyebabkan sebuah desa di kawasan tersebut yaitu Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway berpindah sebanyak tiga kali akibat abrasi pantai.
Ironisnya Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh dengan mudahnya memberikan rekomendasi pemanfaatan Hutan Lindung Mangrove kepada PT Sumber Asih tanpa melakukan kajian yang mendalam serta berkelanjutan.
WALHI Aceh mengharapkan Pemkab Aceh Tamiang, Pemerintah Aceh dan Menteri terkait segera turun tangan memberikan perhatian serius untuk penyelamatan hutan mangrove di pesisir Aceh Tamiang dari kepunahan dan melakukan meninjau ulang izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan.
"Jika pemerintah tidak bertindak cepat dalam menyelamatkan hutan manggrove, maka Walhi Aceh akan memediasikan kasus ini melalui jalur hukum,"ujar Basyuni yang juga merupakan staff divisi Advokasi & Kampanye Walhi Aceh.
Investigasi oleh Tim WALHI Aceh yang terdiri dari Basyuni, Udien dan Taharuddin Tajomendapati bahwa hutan Mangrove yang terancam punah tersebut seluas 3000 H. Dari jumlah tersebut, 600 ha merupakan hutan lindung Mangrove dan 2400 hektar kawasan hutan produksi bakau.
Pelaku alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah anak perusahaan PT Mopoli Raya yaitu PT Sumber Asih dengan memakai tangan tokoh masyarakat dan pengusaha perkebunan setempat yang bertempat tinggal di Kualasimpang - Aceh Tamiang dan Medan - Sumatera Utara, juga turut serta Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mengatasnamakan masyarakat.
Perkebunan kelapa sawit milik PT Sumber Asih dengan luas 3000 Ha yang digunakan, hanya 1500 Ha saja yang ada surat keterangan penggunaan lahan sedangkan selebihnya tidak ada surat keterangan. Sementara dokumen Amdal tidak dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Pada kawasan pantai, terjadi kerusakan Garis Sempadan Pantai (GSP) dan Sungai di kecamatan Seruway kawasan hutan bakau Aceh Tamiang, mengakibatkan kondisi tutupan lahan menjadi kritis. Lahan Sawit PT Sumber Asih yang masuk ke dalam hutan lindung Mangrove seluas 600 Ha.
Alur-alur kecil dalam kawasan lindung dan hutan produksi ditutup (dibedeng) dengan menggunakan alat berat (Backhoe ) untuk dikeringkan sehingga ekosistem pantai rusak. Pengeringan tersebut mengakibatkan abrasi sempadan Sungai Tamiang, khususnya diwilayah Desa Sungai Kuruk, dampak dari tutupnya alur-alur kecil yang berada di dalam kawasan hutan bakau.
Mata pencaharian penduduk yang bergantung pada laut semakin terancam dan punah, dikarenakan rusaknya ekosistem dan populasi habitat yang ada seperti Kerang, Seteng (yang mengandung mutiara) dan burung Rangkok. WALHI Aceh menyatakan kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dimulai dari tahun 1990.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Pemerintah Aceh (SK) Nomor 19/1999 tentang Penyesuaian Arahan Fungsi Hutan (PAFH) kedalam rencana tata ruang wilayah Pemerintah Aceh (PA) dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/KPT-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Pemerintah Aceh seluas lebih kurang 3.549.813 hektar. Bahwa luas wilayah Hutan Bakau (Mangrove) wilayah pesisir Aceh Tamiang lebih kurang 22.135 hektar, terdiri atas kawasan lindung seluas 5.000 hektar dan kawasan hutan produksi lebih kurang 16.635 hektar.
Kendati demikian dapat disimpulkan bahwa kerusakan kawasan hutan bakau di Seruway, sudah masuk kategori rusak berat (kritis) apabila dihubungkan dengan kriteria baku kerusakan hutan Mangrove berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, tentang "Kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan Mangrove", maka status kondisi Hutan Mangrove Aceh Tamiang diklasifikasikan dalam tingkat C atau rusak (penutupan <50%,>
Salah satu dampak lain yang mengkhawatirkan akibat perambahan hutan Mangrove adalah memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
Perambahan hutan mangrove secara tak terkendali menyebabkan sebuah desa di kawasan tersebut yaitu Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway berpindah sebanyak tiga kali akibat abrasi pantai.
Ironisnya Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh dengan mudahnya memberikan rekomendasi pemanfaatan Hutan Lindung Mangrove kepada PT Sumber Asih tanpa melakukan kajian yang mendalam serta berkelanjutan.
WALHI Aceh mengharapkan Pemkab Aceh Tamiang, Pemerintah Aceh dan Menteri terkait segera turun tangan memberikan perhatian serius untuk penyelamatan hutan mangrove di pesisir Aceh Tamiang dari kepunahan dan melakukan meninjau ulang izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan.
"Jika pemerintah tidak bertindak cepat dalam menyelamatkan hutan manggrove, maka Walhi Aceh akan memediasikan kasus ini melalui jalur hukum,"ujar Basyuni yang juga merupakan staff divisi Advokasi & Kampanye Walhi Aceh.
Hentikan Ekspansi Sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang!
Hutan pesisir Aceh (termasuk vegetasi mangrove dan pepohonan pantai), merupakan ekosistem pesisir yang mengalami kerusakan paling parah akibat tsunami. Menurut BRR NAD-Nias (2006), total area vegetasi pesisir yang rusak mencapai 105.260 ha. Pesisir Pantai Barat Aceh (termasuk Aceh Besar dan Banda Aceh) adalah kawasan yang mengalami kerusakan hebat dikarenakan berhadapan langsung dengan sejumlah pusat gempa pada 26 Desember 2004 lalu.
Namun berbicara laju dan tingkat kerusakan, kerusakan ekosistem pesisir di Pantai Timur juga sama parah! Formasi mangrove di sepanjang pesisir timur Aceh membentang dari Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang juga telah ataupun terus menyusut raib dan sebagian besar tegakan yang tersisa kini dalam kondisi rusak parah, adapun sebagian kecilnya yang masih dalam kondisi baik terfragmentasi dan rentan. Hal ini berlaku karena tegakannya dibalak untuk dijadikan kayu bakar, bahan baku arang dan bahan bangunan serta lahannya masif (secara besar-besaran) dikonversi menjadi tambak intensif, kebun sawit dan pemukiman. Kondisi terkini hutan mangrove Aceh Tamiang adalah fakta tak terbantahkan sekaligus menjadi representasi hitamnya potret ‘pembangunan pesis ir Aceh’.
Di Aceh Tamiang, hutan mangrove luasnya mencapai ± 21,6 ribu ha. Saat ini, kondisi mangrove berstatus lindung seluas ± 5,7 ribu ha semakin terjamah dan hampir separuhnya telah dan segera berganti dengan tegakan sawit. Sementara itu, ± 15,9 ribu areal mangrove yang dilabel sebagai hutan produksi dipastikan kerusakannya lebih ‘gila’ (dahsyat) lagi. Walhasil diperkirakan, tidak lebih dari seperlima sisa tegakan mangrove yang masih pantas dibanggakan sebagai hutan khas pesisir di wilayah itu akan segera lenyap dalam kurun waktu 7-10 tahun mendatang bila kegiatan perambahan, pembalakan dan pengalihfungsian lahan termasuk ekspansi (perluasan) sawit terus saja dibiarkan dan tidak segera ‘ditertibkan’ (dihentikan dan ditindak).
Secara langsung dan tegas melalui Aksi Damai di Banda Aceh pada tanggal 22 Januari 2010, KuALA beserta sejumlah lembaga-lembaga anggotanya telah menyampaikan sikap dan desakan kepada legislatif (DPRA) Aceh untuk segera mengambil langkah-langkah konkrit dalam penyelesaian krisis pesisir Aceh Tamiang termasuk meminta kepada Pemerintah Aceh untuk segera “mengeluarkan sawit” dari kawasan hutan mangrove yang berada di kabupaten tersebut. Pimpinan DPRA, Amir Helmi, yang menerima perwakilan KuALA saat itu berjanji bahwa DPRA melalui komisi terkait akan melakukan tinjauan langsung ke lapangan pasca Dewan Aceh memfinalkan APBA Tahun 2010.
Namun, mengingat pembahasan Anggaran Aceh yang tak kunjung selesai hingga saat ini, M. Arifsyah Nasution (Arifsyah), Koordinator KuALA menyatakan: “Kita tetap menilai Dewan masih komit, namun kita juga tidak menaruh target apakah hingga saat ini mereka masih akan atau sudah turun ke lapangan, karena yang mendasar yang ingin kita lihat adalah wujud konkritnya. Kalau sampai dengan akhir Maret 2010 ini kita nilai Dewan Aceh belum memainkan fungsi vitalnya, segenap komponen Jaringan KuALA beserta mitra-mitra strategisnya dengan senang hati akan ‘meramaikan’ kantor Dewan kembali”, ungkapnya serius.
KuALA mendesak penghentian ekspansi sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang, karena jelas-jelas bertentangan dengan semangat, prinsip dan nilai: keadilan lingkungan, keadilan sosial dan keadilan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam, yang secara substantif dituangkan KuALA pada sejumlah landasan fikir dan pandang sebagai berikut:
Disamping itu, KuALA berpandangan bahwa ‘paradigma pembangunan ekonomi hijau Aceh’ yang dikemas Irwandi Yusuf (selaku Gubernur Aceh) dalam ‘Aceh Green’, haruslah pendekatan dan penerapannya sejalan, membumi dan sinergi dengan kepentingan pemulihan dan agenda penyelamatan lingkungan hidup di Aceh. “KuALA mendukung ‘Aceh Green’ tanpa mengurangi sedikitpun pandangan dan catatan kritis kita terhadap substansi tekstualnya maupun terhadap realitas lapangan yang secara kasat mata berlaku mengiringi implementasinya. Dalam kasus ini, penanganan serius dan konkrit krisis mangrove Aceh Tamiang tentu menjadi salah satu bentuk keseriusan bersama Pemerintah dan masyarakat terkait upaya perwujudan Visi ‘Green’-nya Aceh”, terang Arifsyah.
Namun berbicara laju dan tingkat kerusakan, kerusakan ekosistem pesisir di Pantai Timur juga sama parah! Formasi mangrove di sepanjang pesisir timur Aceh membentang dari Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang juga telah ataupun terus menyusut raib dan sebagian besar tegakan yang tersisa kini dalam kondisi rusak parah, adapun sebagian kecilnya yang masih dalam kondisi baik terfragmentasi dan rentan. Hal ini berlaku karena tegakannya dibalak untuk dijadikan kayu bakar, bahan baku arang dan bahan bangunan serta lahannya masif (secara besar-besaran) dikonversi menjadi tambak intensif, kebun sawit dan pemukiman. Kondisi terkini hutan mangrove Aceh Tamiang adalah fakta tak terbantahkan sekaligus menjadi representasi hitamnya potret ‘pembangunan pesis ir Aceh’.
Di Aceh Tamiang, hutan mangrove luasnya mencapai ± 21,6 ribu ha. Saat ini, kondisi mangrove berstatus lindung seluas ± 5,7 ribu ha semakin terjamah dan hampir separuhnya telah dan segera berganti dengan tegakan sawit. Sementara itu, ± 15,9 ribu areal mangrove yang dilabel sebagai hutan produksi dipastikan kerusakannya lebih ‘gila’ (dahsyat) lagi. Walhasil diperkirakan, tidak lebih dari seperlima sisa tegakan mangrove yang masih pantas dibanggakan sebagai hutan khas pesisir di wilayah itu akan segera lenyap dalam kurun waktu 7-10 tahun mendatang bila kegiatan perambahan, pembalakan dan pengalihfungsian lahan termasuk ekspansi (perluasan) sawit terus saja dibiarkan dan tidak segera ‘ditertibkan’ (dihentikan dan ditindak).
Secara langsung dan tegas melalui Aksi Damai di Banda Aceh pada tanggal 22 Januari 2010, KuALA beserta sejumlah lembaga-lembaga anggotanya telah menyampaikan sikap dan desakan kepada legislatif (DPRA) Aceh untuk segera mengambil langkah-langkah konkrit dalam penyelesaian krisis pesisir Aceh Tamiang termasuk meminta kepada Pemerintah Aceh untuk segera “mengeluarkan sawit” dari kawasan hutan mangrove yang berada di kabupaten tersebut. Pimpinan DPRA, Amir Helmi, yang menerima perwakilan KuALA saat itu berjanji bahwa DPRA melalui komisi terkait akan melakukan tinjauan langsung ke lapangan pasca Dewan Aceh memfinalkan APBA Tahun 2010.
KuALA mendesak penghentian ekspansi sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang, karena jelas-jelas bertentangan dengan semangat, prinsip dan nilai: keadilan lingkungan, keadilan sosial dan keadilan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam, yang secara substantif dituangkan KuALA pada sejumlah landasan fikir dan pandang sebagai berikut:
- Secara ekologis, ekspansi sawit sepenuhnya akan merubah rona lingkungan (ekosistem) pesisir Aceh Tamiang karena modusnya alur-alur sungai ditutup, lahan-lahan yang awalnya basah terpetak-petakkan dan akhirnya mengering, tegakan mangrove khas hutan pesisir berubah menjadi vegetasi sawit dan yang terdahsyat adalah musnahnya keanekargaman hayati.
- Secara sosial, ekspansi sawit sepenuhnya di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang akan meningkatkan dan memperuncing konflik atas hak penguasaan lahan; mengingat jual-beli dan lepas-ikat lahan di kawasan hutan mangrove selama ini sebagian besar terjadi dan didorong atas motif pengembangan sawit yang mendapat dukungan dari oknum penguasa dan pemodal, sehingga dalam konteks ini secara sah dan menyakinkan masyarakat akar-rumput sengaja diperalat untuk kemudian dikorbankan.
- Secara ekonomi, ekspansi sawit sepenuhnya akan menggusur secara paksa matapencaharian masyarakat tradisional pesisir Aceh Tamiang yang sangat bergantung dengan kelestarian hutan mangrove, juga dalam konteks ini pengembagan matapencaharian berbasis ekosistem khas pesisir hanya akan berada di dalam berkas, bukan pada realitas.
- Secara yuridis, ekspansi sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang sepenuhnya adalah nyata tindakan pelanggaran lingkungan berat. Lebih dari itu, pembiaran perluasan sawit di kawasan hutan lindung tidak hanya mengangkangi hukum dan hak adat, tetapi juga bertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku, baik dalam delik perlindungan lingkungan maupun penataan ruang.
- Secara politis, ekpansi sawit di Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang sepenuhnya mengukuhkan keberpihakan pemerintah Aceh terhadap kepentingan kapitalis rakus yang menghalalkan segala cara untuk menyedot keuntungan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang sekalipun harus merusak lingkungan. Ini adalah penyerobotan alias sobotase hak-hak masyarakat pesisir akar-rumput Aceh Tamiang dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam pesisir secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Disamping itu, KuALA berpandangan bahwa ‘paradigma pembangunan ekonomi hijau Aceh’ yang dikemas Irwandi Yusuf (selaku Gubernur Aceh) dalam ‘Aceh Green’, haruslah pendekatan dan penerapannya sejalan, membumi dan sinergi dengan kepentingan pemulihan dan agenda penyelamatan lingkungan hidup di Aceh. “KuALA mendukung ‘Aceh Green’ tanpa mengurangi sedikitpun pandangan dan catatan kritis kita terhadap substansi tekstualnya maupun terhadap realitas lapangan yang secara kasat mata berlaku mengiringi implementasinya. Dalam kasus ini, penanganan serius dan konkrit krisis mangrove Aceh Tamiang tentu menjadi salah satu bentuk keseriusan bersama Pemerintah dan masyarakat terkait upaya perwujudan Visi ‘Green’-nya Aceh”, terang Arifsyah.
Langganan:
Postingan (Atom)