BANDA ACEH: Provinsi Aceh perlu adanya pengelolaan industri perikanan bersama guna memberdayakan potensi nelayan, sehingga tingkat kesejahteraannya lebih meningkat.
Sekretaris Pusat Studi Hukum Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (PUSHAL-KP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) T Muttaqin Mansur menyatakan pengelolaan bersama itu dilakukan agar adanya sinergisitas antara nelayan dan pemerintah.
“Bila ini berjalan dengan maksimal maka nelayan akan merasakan mamfaatnya. Pengelolaan industri perikanan bersama akan mengurangi angka kemiskinan,” jelas dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini di Banda Aceh Selasa 19 April 2011.
Potensi perikanan di Aceh, sebut Muttaqin, masih sangat besar sehingga perlu dijaga dengan baik, sehingga perlu adanya kerjasama antara pemerintah, nelayan, dan pemangku kepentingan lain.
Ia menambahkan, sumber daya perikanan itu harus sebanding dengan kesejateraan nelayan bukan sebaliknya.
Potensi perikanan laut di Provinsi Aceh belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di daerah itu masih rendah.
“Sebenarnya banyak peluang bisnis yang bisa dimanfaatkan di sektor perikanan laut, tapi para nelayan kita terkendala masalah modal,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh Razali.
Sekitar 60 persen potensi perikanan laut di Aceh belum digarap, padahal selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga bisa mengatasi masalah pengangguran di daerah ini.
Sektor perikanan akan banyak menciptakan lapangan kerja baru untuk menampung calon tenaga kerja. Bahkan kalangan wanita bisa tertampung di sektor tersebut, katanya.
Razali menyatakan, ada beberapa kendala yang menghambat pertumbuhan sektor perikanan di Aceh, di antaranya minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki, serta kurang terawatnya dermaga yang terdapat di sejumlah daerah.
Menurut dia, dibutuhkan lebih dari Rp120 miliar untuk biaya memperbaiki dan membangun sarana pendukung, seperti pengerukan kuala pendaratan ikan yang mengalami pendangkalan.
Selain itu, kurangnya modal usaha yang dimiliki nelayan Aceh yang sebagian besar merupakan nelayan tradisional sehingga sulit menggarap maksimal potensi perikanan.
Di provinsi ujung paling barat di Indonesia itu terdapat tiga sentra budidaya perikanan tangkap yaitu di kawasan timur yaitu Idi (Kabupaten Aceh Timur), Lampulo (Kota Banda Aceh) dan wilayah barat selatan di Labuhan Haji (Kabupaten Aceh Selatan).
Potensi ikan laut yang cukup besar di perairan Aceh diantaranya tuna, kerapu, udang, dan lobster.
Selain itu, di Aceh juga terdapat potensi perikanan air tawar seluas sekitar 70 ribu hektare di daerah dataran tinggi dengan jenis ikan unggulan seperti ikan mas dan gurami serta seluas 44 ribu ha kawasan budidaya air payau dengan ikan bandeng sebagai unggulan.
Pada bagian lain Muttaqim menyatakan, perikanan di Aceh masih rawan sekali dengan aksi pencurian.
Untuk itu, ia berharap agar semua elemen baik masyarakat, pemerintah, stakehoders dan aparat penegak hukum bisa menjaga laut tetap lestari dan mencegah terjadinya aksi pencurian di lautan Aceh sehingga kesejahteraan nelayan meningkat.
“Implementasi Qanun Nomor 7 tahun 2010 perlu segera dilakukan agar menjadi payung hukum dan bisa dirasakan maslahatnya oleh nelayan,” sarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar