Rabu, 14 September 2011

Hutan Mangrove Tamiang Sekarat

Lhokseumawe - Perusakan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang baik yang berstatus hutan lindung seluas ± 5,7 ribu hektar dan hutan produksi tetap seluas ± 15,9 ribu hektar masih terus berlangsung. Demikian dikatakan oleh koordinator Koalisi Untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), M. Arifsyah Nasution, S.Si. kepada The Globe Journal, Minggu (29/11) di Lhokseumawe.
Penanganan yang lambat dan berlarut-larut terhadap kondisi mangrove di Aceh Tamiang mengindikasikan bahwa perusakan ekosistem khas pesisir ini dilakukan secara sistematis dan terorganisir melibatkan sejumlah oknum pejabat daerah dan pemodal.  “Dulu, LSM Lembah Tari, mitra strategis KuALA di Aceh Tamiang, diawal tahun 2008 menggugat Drs. H. Abdul Latif selaku Bupati Aceh Tamiang Periode 2007-2012 melalui mekanisme class-action karena dinilai membiarkan kegiatan perusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang,”ujar Arifsyah. Namun hingga kini tidak jelas bagaimana kelanjutan kasus tersebut.

Tidak dipungkiri, sepanjang tahun 2008-2009 perusakan hutan mangrove semakin menggila.  Menurut laporan terbaru hasil observasi multipihak yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga anggota KuALA di Aceh Tamiang, LeBAM (2009), kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang diperkirakan telah mencapai 85%. Kondisi hutan mangrove yang sekarat ini akan langsung berdampak buruk baik secara sosial maupun ekonomi terhadap ± 65 ribu jiwa penduduk yang tersebar di 4 (empat) kecamatan pesisir di Aceh Tamiang, yaitu: Manyak Payed, Bendahara, Banda Mulia dan Seruway.
“Modus konversi hutan mangrove menjadi tambak, perkebunan sawit bahkan permukiman serta penebangan bakau untuk kegiatan dapur arang tidak berizin telah mengakibatkan fungsi ekosistem hutan mangrove menjadi sangat merosot,”kata Ariefsyah menjelaskan.

Ekspansi lebih dari 800 hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan mangrove berstatus lindung, nyata-nyata menggambarkan bahwa pengendalian penataan ruang di Kabupaten Aceh Tamiang selama ini kacau balau dan sarat pelanggaran.  “KuALA memandang bahwa kerusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang akan berdampak luas bila tidak mendapat perhatian serius pemerintah. Kerusakan mangrove tersebut tidak hanya telah menghancurkan keanekaragaman hayati yang ada di kawasan pesisir dan mengancam matapencaharian masyarakat tradisional di kawasan pesisir Tamiang,”katanya.

Kondisi terakhir mangrove di Aceh Tamiang sebagai  kawasan hutan mangrove terluas yang tersisa di Provinsi Aceh saat ini tentunya menuntut tindakan segera dan penanganan cepat. Mengingat lemahnya komitmen dan political-will Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang selama ini dalam penanganan krisis mangrove Aceh Tamiang. KuALA dengan ini meminta Gubernur Aceh selaku kepala pemerintah Provinsi Aceh untuk segera mengambil langkah-langkah penanganan cepat dan terpadu yang mengacu pada kebijakan Moratorium Logging dan Visi Aceh Green. “Kami meminta agar Gubernur Irwandi memanggil Bupati Tamiang untuk mengambil tindakan dan meminta Polda Aceh agar mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam dalam perusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang,”kata Ariefsyah.

Selain itu KuALA menginginkan adanya penempatan sejumlah personel polisi hutan tambahan dalam jangka waktu 3 bulan guna membantu polisi hutan Aceh Tamiang mengintensifkan patroli pengawasan kawasan hutan mangrove Aceh Tamiang dengan tetap melibatkan unsur masyarakat dan kepolisian daerah setempat bila dipandang perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar