Banda Aceh - Hutan lindung mangrove yang terletak di Kecamatan Seruway Desa Lubuk Damar kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh terancam hilang akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi industri arang kayu. Sayangnya, belum ada upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan oleh pemerintah daerah setempat.
Investigasi oleh Tim WALHI Aceh yang terdiri dari Basyuni, Udien dan Taharuddin Tajomendapati bahwa hutan Mangrove yang terancam punah tersebut seluas 3000 H. Dari jumlah tersebut, 600 ha merupakan hutan lindung Mangrove dan 2400 hektar kawasan hutan produksi bakau.
Pelaku alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah anak perusahaan PT Mopoli Raya yaitu PT Sumber Asih dengan memakai tangan tokoh masyarakat dan pengusaha perkebunan setempat yang bertempat tinggal di Kualasimpang - Aceh Tamiang dan Medan - Sumatera Utara, juga turut serta Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mengatasnamakan masyarakat.
Perkebunan kelapa sawit milik PT Sumber Asih dengan luas 3000 Ha yang digunakan, hanya 1500 Ha saja yang ada surat keterangan penggunaan lahan sedangkan selebihnya tidak ada surat keterangan. Sementara dokumen Amdal tidak dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Pada kawasan pantai, terjadi kerusakan Garis Sempadan Pantai (GSP) dan Sungai di kecamatan Seruway kawasan hutan bakau Aceh Tamiang, mengakibatkan kondisi tutupan lahan menjadi kritis. Lahan Sawit PT Sumber Asih yang masuk ke dalam hutan lindung Mangrove seluas 600 Ha.
Alur-alur kecil dalam kawasan lindung dan hutan produksi ditutup (dibedeng) dengan menggunakan alat berat (Backhoe ) untuk dikeringkan sehingga ekosistem pantai rusak. Pengeringan tersebut mengakibatkan abrasi sempadan Sungai Tamiang, khususnya diwilayah Desa Sungai Kuruk, dampak dari tutupnya alur-alur kecil yang berada di dalam kawasan hutan bakau.
Mata pencaharian penduduk yang bergantung pada laut semakin terancam dan punah, dikarenakan rusaknya ekosistem dan populasi habitat yang ada seperti Kerang, Seteng (yang mengandung mutiara) dan burung Rangkok. WALHI Aceh menyatakan kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dimulai dari tahun 1990.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Pemerintah Aceh (SK) Nomor 19/1999 tentang Penyesuaian Arahan Fungsi Hutan (PAFH) kedalam rencana tata ruang wilayah Pemerintah Aceh (PA) dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/KPT-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Pemerintah Aceh seluas lebih kurang 3.549.813 hektar. Bahwa luas wilayah Hutan Bakau (Mangrove) wilayah pesisir Aceh Tamiang lebih kurang 22.135 hektar, terdiri atas kawasan lindung seluas 5.000 hektar dan kawasan hutan produksi lebih kurang 16.635 hektar.
Kendati demikian dapat disimpulkan bahwa kerusakan kawasan hutan bakau di Seruway, sudah masuk kategori rusak berat (kritis) apabila dihubungkan dengan kriteria baku kerusakan hutan Mangrove berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, tentang "Kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan Mangrove", maka status kondisi Hutan Mangrove Aceh Tamiang diklasifikasikan dalam tingkat C atau rusak (penutupan <50%,>
Salah satu dampak lain yang mengkhawatirkan akibat perambahan hutan Mangrove adalah memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit.
Perambahan hutan mangrove secara tak terkendali menyebabkan sebuah desa di kawasan tersebut yaitu Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway berpindah sebanyak tiga kali akibat abrasi pantai.
Ironisnya Pemkab Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh dengan mudahnya memberikan rekomendasi pemanfaatan Hutan Lindung Mangrove kepada PT Sumber Asih tanpa melakukan kajian yang mendalam serta berkelanjutan.
WALHI Aceh mengharapkan Pemkab Aceh Tamiang, Pemerintah Aceh dan Menteri terkait segera turun tangan memberikan perhatian serius untuk penyelamatan hutan mangrove di pesisir Aceh Tamiang dari kepunahan dan melakukan meninjau ulang izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan.
"Jika pemerintah tidak bertindak cepat dalam menyelamatkan hutan manggrove, maka Walhi Aceh akan memediasikan kasus ini melalui jalur hukum,"ujar Basyuni yang juga merupakan staff divisi Advokasi & Kampanye Walhi Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar