Rabu, 09 November 2011

Ungkapan Jujur Seorang Anak

Masukan bagi kita dlm mendidik anak baik saat ini maupun kelak nanti...

  Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor.
  Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. itu saya
  memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.
  Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika duduk di
  kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi
  itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.
  Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah menanyakan
  apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu
  murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya
  untuk melamun.

  Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan
  kepada Dika:
  "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.
  "Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.
  "Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.
  Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala untuk mencari
  pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan.
  Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
  Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah
  untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan
  soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog
  yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan
  hasil testnya.

  Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas)
  dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi,
  bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada
  angka 140 - 160.

  Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya
  tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
  Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah
  yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh
  sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar
  Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu
  menjalani test kepribadian.

  Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti
  serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis
  yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah
  yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat
  kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati
  kecil Dika.

  Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya
  berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

  Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku:...."

  Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar
  saja"

  Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini
  saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu
  itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif
  sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar,
  kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan
  waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer
  dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi
  masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata
  di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena
  sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai
  kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan
  Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya
  sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa
  kanak-kanaknya.

  Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku..."
  Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira
  artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku
  melakukan sesuatu"
  Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau
  diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu.
  Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari,
  Seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun
  pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan
  minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya,
  merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.
  Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan
  oleh kebanyakan orang tua.

  Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak..."
  Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
  Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka
  bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang
  saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana.
  Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya.
  Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak
  sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah
  orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

  Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak: .."
  Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain.
  Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah
  dosa"

  Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap
  dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat
  kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa
  setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka
  anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan
  yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena
  orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga
  tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau
  menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu
  diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar
  dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah
  adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu
  mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

  Ketika Psikolog menulis "Aku ingin ibuku berbicara tentang....."
  Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
  Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan
  yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal
  yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang
  diberikan gurunya.

  Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu
  yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan
  jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada
  hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak
  kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

  Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....",
  Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
  kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar,
  paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku
  mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
  Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai
  manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika
  sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau
  mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya,
  seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

  Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari...."
  Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar
  "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium
  dan memeluk adikku"
  Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya
  sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata
  saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap
  dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya
  tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada
  anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan
  yang tidak adil atau pilih kasih.

  Secarik kertas berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...."
  Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu
  kata "tersenyum"
  Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan
  senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya
  senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan
  wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi
  anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari
  ayahnya setiap hari.

  Ketika Psikolog memberi kertas bertuliskan "Aku ingin ibuku
  memanggilku...."
  Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"
  Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih
  nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Kafi Putra Andira. Namun
  sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang.
  Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti
  laki-laki.

  Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
  memanggilku .."
  Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
  Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo"
  karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa
  Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling"
  kata suami saya.

  Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
  karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan
  memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan
  pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak
  Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan
  "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah
  seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah
  Kewajiban, bukan Pilihan".
  Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah
  memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.
  Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam
  tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan
  juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak
  Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak
  ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak
  memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para
  orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati
  anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran
  dan nasehat yang baik.

  (Ditulis oleh : Lesminingtyas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar