JAKARTA, KOMPAS.com-
Unesco menetapkan perairan laut Wakatobi, Indonesia, sebagai salah satu
Cagar Biosfir Dunia di antara 20 cagar biosfir baru lainnya.
Dengan
demikian, Wakatobi menjadi cagar biosfir ke-8 di Indonesia setelah
Cibodas (Jawa Barat), Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Lore Lindu
(Sulawesi Tengah), Komodo (NTT), Gunung Leuser (Aceh dan Sumut), Siberut
(Sumatera Barat), dan Giam Siak Kecil (Riau).
Kepala Pusat Humas
Kemenhut Sumarto, Rabu (25/7/2012), menginformasikan, penetapan itu
dilakukan
dalam sidang ke-24 International Coordinating Council (ICC) of
the Man and the Biosphere (MAB) Programme 11-13 Juli 2012 lalu di
Paris.
Wakatobi yang terletak di Kabupaten Wakatobi, Provinsi
Sulawesi Selatan, merupakan kependekan dari nama 4 pulau utama yaitu
Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
Kepulauan yang
terletak antara Laut Banda dan Laut Flores ini mempunyai keanekaragaman
ekosistem laut yang sangat tinggi dengan beragam spesies rumput laut
dari pesisir, terumbu karang, ikan, burung laut, kura-kura, cetasea, dan
mangrove.
Di kepulauan ini terdapat lebih dari 590 spesies ikan
dan 396 jenis terumbu karang. Daerah inti situs ini mempunyai nilai yang
sangat tinggi dalam perlindungan ekosistem laut dan habitat beragam
spesies satwa dan tumbuh-tumbuhan yang sangat penting.
Wakatobi
akan menjadi laboratorium pembelajaran yang sangat berharga bagi para
peneliti, pelajar, dan mahasisiwa, pemerintah daerah, lembaga swadaya
maysrakat, dan sektor swasta, serta stakeholder lainnya.
Cagar
Biosfir merupakan salah satu implementasi program MAB (Man And the
Biosphere) yang dikembangkan UNESCO di seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Program ini bertujuan mensinergikan konservasi keanekaragaman
hayati, pembangunan ekonomi dan pemberdayaan budaya nusantara untuk
kesejahteraan bangsa Indonesia.
Implementasi program ini
mensyaratkan sebuah kemitraan multipihak yang kuat. Tujuannya, membawa
harmoni antara manusia, alam dan lingkungannya, dengan mempertahankan
sumberdaya alam yang berkelanjutan serta menjamin pembangunan sosial
ekonomi, guna melindungi keanekaragaman hayati dan budaya.
Untuk
mencapai tujuan itu diperlukan tiga langkah yang saling berkaitan.
Pertama, menerapkan pendekatan ekosistem untuk menyatukan perbedaan
budaya dan sumber daya alam. Di dalam manajemen keanekaragaman hayati,
dan mempromosikan konservasi serta pemanfaatan sumberdaya alam yang
berkelanjutan.
Kedua, meningkatkan kapasitas kelembagaan dan SDM
untuk mempromosikan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan agar
dapat meningkatkan interaksi antara alam dan lingkungannnya.
Ketiga,
meningkatkan integrasi manfaat penelitian ilmiah dan pendekatan sosial
budaya. Pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman sumberdaya hayati
melalui kolaborasi multi-stakeholder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar