Selasa, 1 Mei 2012 10:09 WIB
Gampong
atau desa nelayan selalu saja diidentikkan dengan tempat tinggalnya
orang miskin. Beberapa gampong atau desa nelayan, bisa kita saksikan di
hampir sepanjang kiri-kanan jalan ke arah Krueng Raya, Aceh Besar, atau
di sepanjang kawasan pesisir Aceh lainnya. Fenomena yang sama juga bisa
kita lihat di provinsi lainnya, cobalah lihat beberapa desa nelayan di
daerah Belawan hingga ke wilayah pesisir Batubara, Sumatera Utara,
selalu saja identik dengan kemiskinan. Mengapa hal ini bisa terjadi di
negara yang kaya raya akan sumber daya pesisir dan lautnya?
Indonesia
adalah sebuah negara kepulauan yang terbentang sepanjang garis
khatulistiwa. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000 buah. Luas daratan
Indonesia hampir 2 km persegi. Luas lautannya, termasuk zona ekonomi
eksklusif hampir 6 juta km persegi. Jadi luas daratan kita hanyalah
sepertiga luas laut kita.
Bahkan, salah satu provinsi di
Indonesia, yaitu Provinsi Maluku luas daratannya hanyalah 10% saja dari
luas provinsi. Sisanya adalah laut. Panjang pantai di Indonesia sekitar
81.000 km. Jadi jelaslah, bahwa negara Indonesia adalah sebuah negara
bahari atau maritim. Namun, sayangnya, bangsa Indonesia bukanlah bangsa
bahari, karena bangsa Indonesia berorientasi pada daratan.
Jika
melihat Indonesia secara jeli, lalu kita coba bandingkan dengan negara
lainnya seperti Amerika, Australia, Malaysia, Singapura, maka bisa
dipastikan Indonesia itu sebagai negara kaya. Bagaimana tidak,
kepemilikan lahannya luas terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik.
Apabila perairan antara
pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi 1,9 juta mil
persegi atau seluas 1.919.440 km persegi (wikipedia). Bandingkan saja
dengan Malaysia yang hanya 329.750 km persegi, apalagi Singapura hanya
697 km persegi. Kalah sedikit dibandingkan dengan Amerika yang luasnya
9.629.091 km persegi dan Australia yang,luasnya 7.686.850 km persegi.
Sumber daya kelautan
Tanah
Indonesia yang seluas itu pasti ada sumber daya di dalamnya, baik
mineral, tambang, dan lain-lain. Selain itu tingkat kesuburannya juga
sangat tinggi karena dikelilingi oleh gunung-gunung berapi yang aktif
memuntahkan material organik yang menjaga kesuburan tanah guna menunjang
pertanian. Wilayah perairan Indonesia yang luas dengan aneka sumber
daya perikanan dan kelautan yang terkandung di dalamnya. Apa itu tidak
cukup untuk membuat makmur?
Sekali lagi sebagai negara
selayaknya Indonesia bersanding setara dengan negara-negara makmur
seperti Jerman, Australia, Jepang, Amerika, dan lain-lain. Ditunjang
oleh kekayaan yang melimpah, dan sangat dibutuhkan oleh negara lain
sehingga nilai ekonomisnya tinggi. Namun di balik kekayaan tersebut,
tersimpan sebuah misteri. Misteri itu bernama kemiskinan. Sangat klasik
memang dan sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu.
Kemiskinan
terjadi dimana-mana baik di desa maupun di kota, dan di mana saja dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.
Kesmiskinan sering menjadi omongan atau gunjingan di kalangan pejabat,
partai politik, universitas, dan media massa, seakan-akan isu kemiskinan
punya magnet tersendiri dan selalu saja ada peminatnya. Terkhusus bagi
partai politik dan calon pemimpin seperti Bupati, Walikota, Gubernur
hingga Presiden. Calon anggota legislatif, termasuk juga para calon
Kepala Daerah yang akan naik sebagai kepala daerah di sebuah
kabupaten/kota dan provinsi, juga sering menjadikan kemiskinan sebagai
“barang jualan” yang sangat laku di pasar suara.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa populasi masyarakat miskin di Indonesia, termasuk di
Aceh, masih tergolong sangat besar. Niscaya jika seorang calon pemimpin
bisa merebut hati pemilih yang tergolong miskin dengan cara menjual
janji, lalu janji dibeli oleh masyarakat miskin dengan menjual suara,
bisa dipastikan dia akan keluar sebagai pemenang.
Kemiskinan nelayan
Salah
satu bagian dari misteri kemiskinan yang menarik adalah kemiskinan
nelayan. Sebagai negara bahari yang kaya raya, yang nenek moyangnya dulu
adalah pelaut, kemiskinan nelayan menjadi polemik baik di tingkat
nasional maupun lokal sejak lama. Namun dalam kesunyian yang dalam,
tentunya kita masih menangkap sejumlah seniman yang menyuruh kita
kembali ke laut.
Sejak kita kecil, secara tak sadar kita selalu
diajak untuk membanggakan laut kita yang kaya tiadatara. Tentu kita
masih ingat lagu ini, “Nenek moyangku seorang pelaut...” Itu adalah
sepenggal syair lagu yang sering kita dengar sejak kecil. Lagu yang
menggambarkan alam Indonesia yang memiliki banyak perairan dan tentu
saja banyak ikannya. Namun apa yang terjadi?
Sebuah ironi,
ternyata Indonesia mengimpor ikan berformalin dari China. Tidak kurang
25 ton ikan salam dan kembung diimpor dari China ke Batam baru-baru ini
(Lampungpost.com, 18 Maret 2012). Sebenarnya apa yang terjadi sampai
Indonesia yang merupakan negara maritim besar malah mengimpor ikan? Jika
masih hidup, nenek moyang kita pasti heran melihat kenyataan ini.
Sedih
rasanya jika kita bandingkan tanah air yang kita cintai ini dengan
negara Jepang. Kedua negara ini sebenarnya hampir sama, berbentuk
kepulauan dengan garis pantai yang panjang. Kenyataan geografis ini
secara alami cukup menjanjikan kekayaan bahari yang tak terbatas. Namun
di negeri berjulukan ‘Matahari Terbit’ itu, selat, laut dan samudera
menjadi sahabat. Mereka tahu persis bagaimana kenyataan alam itu bisa
membuat orang sehat dan sejahtera.
Seperti kita tahu, Jepang
adalah negara dengan konsumsi ikan terbesar. Kebanyakan dari mereka
memiliki kecerdasan tinggi. Pengelolaan ikan pun sangat canggih dan
modern, dan mereka tidak pernah kekurangan ikan. Indonesia seharusnya
bisa membuat nelayannya lebih produktif, oleh sebab itu bukan tidak
mungkin negara kita seperti Jepang yang konsumsi ikannya tinggi dan
menumbuhkan insan-insan bangsa yang cerdas dan tidak teracuni ikan impor
berformalin.
Swasembada ikan
Langkah terpenting
adalah bagaimana kita bisa berswasembada ikan, agar kita tidak perlu
lagi mengimpor ikan dari Cina. Jangan sampai terjadi penjual pecal lele
di pinggir jalan pun, justru menjual pecal lele dengan ikan lele impor.
Karena sumber-sumber kehidupan ikan lele seperti yang ada sekitar pantai
Kuala Tripa di wilayah Rawa Tripa, yang terbentang di sepanjang pantai
barat selatan Aceh, sudah dialihfungsikan menjadi kebun-kebun kelapa
sawit.
Memang beginilah realitanya. Di sini, di garis pantai
yang katanya terpanjang di dunia dan lautnya yang terluas, ternyata
belum sanggup menjelma nyata. Dalamnya laut hanya menjadi kesenyapan
yang abadi dan tingginya ombak hanya menjadi kengerian tersendiri.
Hingga laut kerap dilupakan.
* Teuku Muhammad Zulfikar, ST, MP, Direktur Eksekutif Walhi Aceh/Dosen Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar