Sabtu, 28 April 2012 20:34
Muhajir Juli I The Globe Journal
Peudada-Jafaruddin Muhammad (35), warga Gampong Pulo Kecamatan Peudada,
Bireuen, tidak menyangka bila pada hari Sabtu (28/4) merupakan hari yang naas
bagi dirinya. Saat sedang mengangkut ikan langsiran dengan becak (sebutan boat
dompeng oleh nelayan setempat), dia diberhentikan oleh tiga orang oknum TNI AL
yang berpakaian preman. Ketiga “abdi negara” saat itu sedang berkeliling dengan
speed boat milik negara.
Kepada lelaki yang akrab disapa Jafar, Marinir meminta “jatah” ikan. Namun karena
bukan miliknya, Jafar menolak memberikan. Dia menyarankan agar mereka
meminta langsung kepada pemilik ikan yang sedang berlabuh di mulut kuala.
Merasa permintaanya ditolak, wajah ketiga prajurit pelindung negara itu masam.
Namun tidak terjadi apapun. Jafar dipersilahkan melanjutkan perjalanan.
Naas, saat hendak kembali ke mulut kuala, Jafar yang sedang memacu boat
dompengnya dengan sedikit kencang, diberhentikan oleh tiga prajurit tadi. Dengan
wajah beringas, mereka membentak Jafar dengan alasan terlalu kencang membawa
boat. Saat itu lelaki sopir langsir itu berdalih, bila dia sedang buru-buru. Dia harus
berkejaran dengan waktu.
Entah karena kesal tak diberikan ikan, ataukah karena lain hal, dua diantara prajurit
itu melompat ke boat kecil yang di nahkodai oleh Jafar. Tanpa salam pembuka,
dengan mulut penuh makian, mereka mulai “memberikan pelajaran” kepada
nelayan miskin itu.
Kepalanya ditinju. Punggungnya dipukuli, pingganganya ditendang, bahkan dia
sempat di injak-injak saat jatuh. Jafar tidak melawan. Sebab dia sadar sedang
berhadapan dengan siapa. Apalagi, dia di tengah boat. Saat itulah teriakan nelayan
lainnya dari PPI, menghentikan aksi preman prajurit TNI itu.
Puas dipukuli, Jafar ditinggalkan sendirian. Seluruh badannya ngilu. Apalagi sejak
semalam dia tidak tidur, menunggu boat besar pulang melaut. Sampai di darat, dia
mengadu ke Pawang Fauzi. Pawang itu kemudian melaporkan hal itu kepada
Panglima Laot Bireuen Bahruddin Yunus.
Seorang saksi mata yang saat kejadian berada di darat, mengatakan, bahwa saat
dipukul Jafar sempat terjatuh. Dia melihat, ketika Jafar terjatuh ke dek, seorang
pelaku mengambil papan (papeun seungka, sering digunakan untuk lantai) dan
mengayunkannnya ke Jafar. Saat itulah rekan-rekan Jafar yang ada di darat
berteriak-teriak keras.
“Melihat kami berteriak, pelaku terkejut, sejenak mereka berkacak pinggang. Namun
kemudian mereka kembali ke speed boat itu, dan Jafar dibiarkan mendarat sendiri,”
kata saksi mata itu
Aksi premanisme oknum TNI AL di Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Peudada itu,
bukalah yang pertama kali. Jauh sebelumnya, aksi-aksi serupa sering mereka
lakukan, bila pemberian ikan oleh nelayan tidak sesuai dengan keinginan mereka.
terkadang nelayan memenuhi permintaan, namun terkadang pula mereka harus
menolak, sebab hasil dari melaut tidak menentu.
"Mereka sering membawa keranjang saat meminta ikan kepada kami. Bila belum
penuh keranjang, maka mereka kan terus meminta. Tak jarang, untuk satu boat
kecil, mereka sering “menyita” sekira 20 kg lebih kurang,” Kata seorang nelayan
saat ditanyai oleh The Globe Journal, Sabtu (28/4) sekira pukul 15.00 Wib di PPI
Peudada.
Seorang nelayan lainnya yang minta namanya tidak dituliskan, kepada The Globe
Journal mengatakan, pernah kejadian, oknum TNI AL pos Peudada mengambil
sampai 50 kg. saat itu nelayan tidak berani melawan. Maka dengan tierpaksa
meraka memberikannya. Walau kerugian telah nyata di depan mata. Namun
karena pertimbangan sebagai orang lemah, maka hal yang demikian dianggap wajar
saja.
"Bila tak kami kasih, maka bogem mentah sering diberikan kepada kami. Kami
rakyat kecil pak. Terkadang tersudut, sebab orang-orang besar tak pernah
menganggap ada keberadaan kami,” Kata nelayan itu sambil menyeka keringat di
dahi.
Menurutnya, Jafar adalah korban yang kesekian dari aksi premanisme pasukan
penjaga kedaulatan laut itu. Dengan tanpa hati mereka berani meminta ikan
dengan jumlah yang banyak, tanpa mempertimbangkan efeknya bagi nelayan.
Yang lebih menyakitkan bagi nelayan, adalah setelah mengompas (peras) nelayan,
oknum TNI AL pos Peudada, kemudian menjual ikan tersebut kepad pihak lain,
dengan harga di bawah standar. “bila kami menjual Rp 10.000 per kilo, maka
mereka akan menjual dengan harga Rp. 6000 per kilogram. ini kan penjajahan
namanya. Setelah minta jatah, harga juga di rusak oleh mereka,” Kata nelayan itu
dengan nada prihatin.
Cas, (nama samaran) warga Gampong Pulo, mengatakan, dia meminta agar
keberadaan Pos TNI AL yang berdekatan dengan PPI Peudada, agar
dipertimbangkan kembali keberadaannya. Sebab perilaku mereka sudah
keterlaluan. Lagak dan tingkah saat memeras, mengingatkan nelayan ini, dengan
aksi-kasi pasukan militer ketika darurat militer masih diterapkan di Aceh.
"Saya berharap kepada siapapun yang punya kapasitas, agar mempertimbangkan
kembali keberadaan Pos TNI AL di muara Krueng Peudada. Keberadaan mereka
menghambat kami dalam beraktivitas. Sebab jatah yang mereka minta sering sekali
merugikan kami. Bahkan kami seolah hanyalah anak buah mereka yang punya
kewajiban menyetor hasil panen kepada tuan besar,” Kata Cas dengan wajah
marah.
Harapan Cas, senada dengan seruan yang disampaikan oleh aktivis kemanusiaan di
Aceh. Direktur Pos Bantuan Hukum dan Hak Asazi Manusia (PB. HAM) Aceh Utara,
Zulfikar Muhammad, pasca insiden, meminta kepada Mabes TNI agar
mempertimbangkan kembali keberadaan pos aparat di dekat pusat aktivitas
masyarakat. Selain bertentangan dengan UU 34 Tahun 2004, keberadaan TNI di
dekat masyarakat juga sangat rentan.
Menurutnya, aksi premanisme yang dipraktikkan oleh oknum aparat negara, sudah
sering terjadi. Namun kasus Peudada, baru meledak, akibat akumulasi kekecewaan
dan kemarahan warga, yang sudah terlalu sering dijadikan alat untuk menacri “uang
samping” oleh oknum prajurit.
Hal ini diakibatkan oleh lemahnya pengawasan terhadap prajurit lapangan. Ketika
controlling ini melempem, maka aka dimanfaatkan oleh oknum prajurit tak
bermoral untuk melakukan pungli kepada masyarakat. Selain menciptakan jurang,
juga semakin memperburuk citra aparat pertahanan negara di mata rakyat kecil.
"Kasus Peudada merupakan kejadian yang kesekian. Apalagi pengakuan warga, bila
mereka sering sekali di pungli dan di pukul. Ini diakibatkan oleh pengawasan yang
sangat lemah terhadap prajurit dilapangan,” Kata Zulfikar.
Terkait benar atau tidaknya pemerasan yang dilakukan oleh oknum TNI-AL Pos
Peudada, namun yang pasti, sekira pukul 10.00 Wib, sejumlah massa yang
merupakan nelayan dan penduduk sekitar PPI, menyerbu Pos TNI itu. Warga yang
marah, berhasil membakar satu unit speed boat yang sering digunakan untuk
memalak warga.
Denpom Kodim 0111/Bireuen meringkus tiga TNI-AL masing masing Praka. Adi
Suprayitno, KLK Bek. Agoeng Santosa. Keduanya terlibat memukul Jafar. POM juga
meringkus Serka. Kelvin Toni Aries, yang sering memeras nelayan.
Dandim 0111/Bireuen Letkol Inf Muhammad Arfah, kepada wartawan mengatakan,
setelah mendapatkan laporan, pihaknya bersama unsur Polsek dan Koramil
Peudada langsung menuju ke tempat kejadian. Di lokasi, pihaknya mencoba
menyelamatkan speed boat, namun karena massa yang marah sudah tidak
terkendali, maka pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa saat barang itu di bakar
massa.
Dandim juga meminta maaf kepada seluruh masyarakat atas perilaku aparat yang
kurang terpuji. Dia berharap agar kedian serupa tidak lagi terulang.
Terkait dugaan pemukulan oleh beberapa oknum TNI AL terhadap nelayan di
Peudada, Komandan Pos TNI Angkatan Laut Peudada, kepada wartawan, Serma
Joko Saputro mengatakan apa terjadi pada merupakan kesilapan oknum
anggotanya.
Menurut Danpos, Hal itu dilakukan oleh perseorangan, bukan atas nama institusi.
Pun demikian, dia tetap mengakui Kesalahan ini tanggung jawabnya selaku Danpos.
Untuk itu, dia akan melakukan pendekatan dengan pihak keluarga korban untuk
menyelesaikan masalah itu.
Terkait persoalan pemberian ikan dari nelayan yang berujung salah paham dan
terjadi pemukulan, Joko mengatakan ia sudah mendengar laporan dari nelpayan.
Rencananya, dia akan melakukan duduk rembug dengan nelayan, namun kejadian
itu kadung terjadi.
Menanggapi permintaan maaf Dandim, sejumlah warga yang sering beraktivitas di
PPI, mengatakan, meminta maaf merupakan hal gampang. Apalagi dengan tipikal
orang Aceh yang mudah memaafkan. Bagi masyarakat setempat, yang perlu untuk
dikaji adalah keberadaan pasukan TNI-AL itu yang berdekatan dengan pusat
aktivitas nelayan.
“Maaf begitu mudah diucapkan. Kami pun mudah memaafkan, sebab orang Aceh
itu pemaaf.
Tapi pertimbangkan juga keberadaan mereka di pusat aktivitas kami.
Bagaimaa kalau ke depan mereka minta jatah lagi seperti ini? Apa kata maaf itu
akan terulang,” Kata seorang warga setengah bertanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar