Senin, 30 April 2012

Marinir pun Minta Jatah di Peudada

Sabtu, 28 April 2012 20:34

Muhajir Juli I The Globe Journal

Peudada-Jafaruddin Muhammad (35), warga Gampong Pulo Kecamatan Peudada, Bireuen, tidak menyangka bila pada hari Sabtu (28/4) merupakan hari yang naas bagi dirinya. Saat sedang mengangkut ikan langsiran dengan becak (sebutan boat dompeng oleh nelayan setempat), dia diberhentikan oleh tiga orang oknum TNI AL yang berpakaian preman. Ketiga “abdi negara” saat itu sedang berkeliling dengan speed boat milik negara.

Kepada lelaki yang akrab disapa Jafar,  Marinir meminta “jatah” ikan. Namun karena bukan miliknya, Jafar menolak memberikan. Dia menyarankan agar mereka meminta langsung kepada pemilik ikan yang sedang berlabuh di mulut kuala. Merasa permintaanya ditolak, wajah ketiga prajurit pelindung negara itu  masam. Namun tidak terjadi apapun. Jafar dipersilahkan melanjutkan perjalanan.
 
Naas, saat hendak kembali ke mulut kuala, Jafar yang sedang memacu boat dompengnya dengan sedikit kencang, diberhentikan oleh tiga prajurit tadi. Dengan wajah beringas, mereka membentak Jafar dengan alasan terlalu kencang membawa boat. Saat itu lelaki sopir langsir itu berdalih, bila dia sedang buru-buru. Dia harus berkejaran dengan waktu.

Entah karena kesal tak diberikan ikan, ataukah karena lain hal, dua diantara prajurit itu melompat ke boat kecil yang di nahkodai oleh Jafar. Tanpa salam pembuka, dengan mulut penuh makian, mereka mulai “memberikan pelajaran” kepada nelayan miskin itu.

Kepalanya ditinju. Punggungnya dipukuli, pingganganya ditendang, bahkan dia sempat di injak-injak saat jatuh. Jafar tidak melawan. Sebab dia sadar sedang berhadapan dengan siapa. Apalagi, dia di tengah boat. Saat itulah teriakan nelayan lainnya dari PPI, menghentikan aksi preman prajurit TNI itu.

Puas dipukuli, Jafar ditinggalkan sendirian. Seluruh badannya ngilu. Apalagi sejak semalam dia tidak tidur, menunggu boat besar pulang melaut. Sampai di darat, dia mengadu ke Pawang Fauzi. Pawang itu kemudian melaporkan hal itu kepada Panglima Laot Bireuen Bahruddin Yunus.

Seorang saksi mata yang saat kejadian berada di darat, mengatakan, bahwa saat dipukul Jafar sempat terjatuh. Dia melihat, ketika Jafar terjatuh ke dek, seorang pelaku mengambil papan (papeun seungka, sering digunakan untuk lantai) dan mengayunkannnya ke Jafar. Saat itulah rekan-rekan Jafar yang ada di darat berteriak-teriak keras.

 “Melihat kami berteriak, pelaku terkejut, sejenak mereka berkacak pinggang. Namun kemudian mereka kembali ke speed boat itu, dan Jafar dibiarkan mendarat sendiri,” kata saksi mata itu

 Aksi premanisme oknum TNI AL di Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Peudada itu, bukalah yang pertama kali. Jauh sebelumnya, aksi-aksi serupa sering mereka lakukan, bila pemberian ikan oleh nelayan tidak sesuai dengan keinginan mereka. terkadang nelayan memenuhi permintaan, namun terkadang pula mereka harus menolak, sebab hasil dari melaut tidak menentu.

"Mereka sering membawa keranjang saat meminta ikan kepada kami. Bila belum penuh keranjang, maka mereka kan terus meminta. Tak jarang, untuk satu boat kecil, mereka sering “menyita” sekira 20 kg lebih kurang,” Kata seorang nelayan saat ditanyai oleh The Globe Journal, Sabtu (28/4) sekira pukul 15.00 Wib di PPI Peudada.

Seorang nelayan lainnya yang minta namanya tidak dituliskan, kepada The Globe Journal mengatakan, pernah kejadian, oknum TNI AL pos Peudada mengambil sampai 50 kg. saat itu nelayan tidak berani melawan. Maka dengan tierpaksa meraka memberikannya. Walau kerugian telah nyata di depan mata. Namun karena pertimbangan sebagai orang lemah, maka hal yang demikian dianggap wajar saja.

"Bila tak kami kasih, maka bogem mentah sering diberikan kepada kami. Kami rakyat kecil pak. Terkadang tersudut, sebab orang-orang besar tak pernah menganggap ada keberadaan kami,” Kata nelayan itu sambil menyeka keringat di dahi.

Menurutnya, Jafar adalah korban yang kesekian dari aksi premanisme pasukan penjaga kedaulatan laut itu. Dengan tanpa hati mereka berani meminta ikan dengan jumlah yang banyak, tanpa mempertimbangkan efeknya bagi nelayan.

Yang lebih menyakitkan bagi nelayan, adalah setelah mengompas (peras) nelayan, oknum TNI AL pos Peudada, kemudian menjual ikan tersebut kepad pihak lain, dengan harga di bawah standar. “bila kami menjual Rp 10.000 per kilo, maka mereka akan menjual dengan harga Rp. 6000 per kilogram. ini kan penjajahan namanya. Setelah minta jatah, harga juga di rusak oleh mereka,” Kata nelayan itu dengan nada prihatin.

Cas, (nama samaran) warga Gampong Pulo, mengatakan, dia meminta agar keberadaan Pos TNI AL yang berdekatan dengan PPI Peudada, agar dipertimbangkan kembali keberadaannya. Sebab perilaku mereka sudah keterlaluan. Lagak dan tingkah saat memeras, mengingatkan nelayan ini, dengan aksi-kasi pasukan militer ketika darurat militer masih diterapkan di Aceh.

"Saya berharap kepada siapapun yang punya kapasitas, agar mempertimbangkan kembali keberadaan Pos TNI AL di muara Krueng Peudada. Keberadaan mereka menghambat kami dalam beraktivitas. Sebab jatah yang mereka minta sering sekali merugikan kami. Bahkan kami seolah hanyalah anak buah mereka yang punya kewajiban menyetor hasil panen kepada tuan besar,” Kata Cas dengan wajah marah.

Harapan Cas, senada dengan seruan yang disampaikan oleh aktivis kemanusiaan di Aceh. Direktur Pos Bantuan Hukum dan Hak Asazi Manusia (PB. HAM) Aceh Utara, Zulfikar Muhammad, pasca insiden, meminta kepada Mabes TNI agar mempertimbangkan kembali keberadaan pos aparat di dekat pusat aktivitas masyarakat. Selain bertentangan dengan UU 34 Tahun 2004, keberadaan TNI di dekat masyarakat juga sangat rentan.

Menurutnya, aksi premanisme yang dipraktikkan oleh oknum aparat negara, sudah sering terjadi. Namun kasus Peudada, baru meledak, akibat akumulasi kekecewaan dan kemarahan warga, yang sudah terlalu sering dijadikan alat untuk menacri “uang samping” oleh oknum prajurit.

Hal ini diakibatkan oleh lemahnya pengawasan terhadap prajurit lapangan. Ketika controlling ini melempem, maka aka dimanfaatkan oleh oknum prajurit tak bermoral untuk melakukan pungli kepada masyarakat. Selain menciptakan jurang, juga semakin memperburuk citra aparat pertahanan negara di mata rakyat kecil.

"Kasus Peudada merupakan kejadian yang kesekian. Apalagi pengakuan warga, bila mereka sering sekali di pungli dan di pukul. Ini diakibatkan oleh pengawasan yang sangat lemah terhadap prajurit dilapangan,” Kata Zulfikar.

Terkait benar atau tidaknya pemerasan yang dilakukan oleh oknum TNI-AL Pos Peudada, namun yang pasti, sekira pukul 10.00 Wib, sejumlah massa yang merupakan nelayan dan penduduk sekitar PPI, menyerbu Pos TNI itu. Warga yang marah, berhasil membakar satu unit speed boat yang sering digunakan untuk memalak warga.

Denpom Kodim 0111/Bireuen meringkus tiga TNI-AL masing masing Praka. Adi Suprayitno, KLK Bek. Agoeng Santosa. Keduanya terlibat memukul Jafar. POM juga meringkus Serka. Kelvin Toni Aries, yang sering memeras nelayan.

Dandim 0111/Bireuen Letkol Inf Muhammad Arfah, kepada wartawan mengatakan, setelah mendapatkan laporan, pihaknya bersama unsur Polsek dan Koramil Peudada langsung menuju ke tempat kejadian. Di lokasi, pihaknya mencoba menyelamatkan speed boat, namun karena massa yang marah sudah tidak terkendali, maka pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa saat barang itu di bakar massa.

Dandim juga meminta maaf kepada seluruh masyarakat atas perilaku aparat yang kurang terpuji. Dia berharap agar kedian serupa tidak lagi terulang. Terkait dugaan pemukulan oleh beberapa oknum TNI AL terhadap nelayan di Peudada, Komandan Pos TNI Angkatan Laut Peudada, kepada wartawan, Serma Joko Saputro mengatakan apa terjadi pada merupakan kesilapan oknum anggotanya.

Menurut Danpos, Hal itu dilakukan oleh perseorangan, bukan atas nama institusi. Pun demikian, dia tetap mengakui Kesalahan ini tanggung jawabnya selaku Danpos. Untuk itu, dia akan melakukan pendekatan dengan pihak keluarga korban untuk menyelesaikan masalah itu.

Terkait persoalan pemberian ikan dari nelayan yang berujung salah paham dan terjadi pemukulan, Joko mengatakan ia sudah mendengar laporan dari nelpayan. Rencananya, dia akan melakukan duduk rembug dengan nelayan, namun kejadian itu kadung terjadi.

Menanggapi permintaan maaf Dandim, sejumlah warga yang sering beraktivitas di PPI, mengatakan, meminta maaf merupakan hal gampang. Apalagi dengan tipikal orang Aceh yang mudah memaafkan. Bagi masyarakat setempat, yang perlu untuk dikaji adalah keberadaan pasukan TNI-AL itu yang berdekatan dengan pusat aktivitas nelayan. “Maaf begitu mudah diucapkan. Kami pun mudah memaafkan, sebab orang Aceh itu pemaaf.

Tapi pertimbangkan juga keberadaan mereka di pusat aktivitas kami. Bagaimaa kalau ke depan mereka minta jatah lagi seperti ini? Apa kata maaf itu akan terulang,” Kata seorang warga setengah bertanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar