Selasa, 04 Januari 2011

Hikmah Tsunami

DESEMBER selalu menjadi titik tolak bagi warga Aceh, peristiwa tsunami di pengujung tahun 2004 lalu dikemudian hari selalu diperingati sebagai sarana introspeksi dan merenungi apa yang telah dijalani selama setahun belakang. Dalam kerangka introspeksi diri, maka diharapkan pola kecenderungan perubahan sikap ke arah positif teraplikasi dalam diri kita, khususnya dalam menghadapi musibah bencana yang telah ditakdirkan oleh Allah swt. Mengkritisi beberapa pendapat orang yang mengatakan bahwa bencana alam disebabkan oleh kedurhakaan masyarakat terhadap perintah Allah swt, patut pula kita sikapi dengan bijak dengan tanpa memvonis bencana dengan dalih emosional semata. Harus ada dasar alamiah maupun rohaniah dalam mengambil kesimpulan dan hikmah setelah musibah.

Kalau kita telusuri kata gempa dengan menggunakan software Alquran digital, maka kata gempa secara tegas dinyatakan sebanyak 4 (empat) kali, yakni pada Surat Al A’raaf (ayat; 78, 91 dan 155) dan Surat Al ‘Ankabut ayat 37. Dalam Surat Al An’aam ayat 65 kalimat gempa hanya ditemukan dalam penjelasan. Selanjutnya jika dikembangkan lagi dengan kalimat “bumi digoncangkan” yang masih identik dengan gempa, maka akan ditemukan tersebut sebanyak 4 (empat) kali juga, yakni pada Surat Ar Ra’d ayat 31, Al Waaqi’ah ayat 4, Surat Al Fajr ayat 21 dan Surat Al Zalzalah ayat 1. Kondisi ini menunjukan bahwa jauh sebelumnya Alquran telah menjelaskan tentang gempa, sehingga hal ini bukanlah perkara baru bagi kita, khususnya bagi pemeluk Islam.

Lalu bagaimana dengan tsunami? Tentunya jika kita mencari kata ini di dalam Alquran maka kita tak akan pernah menemukannya, hal itu karena tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang, negara di mana gelombang laut tinggi ini kerap muncul. Namun begitu, jika kita mengingat peristiwa tsunami Aceh yang sebelumnya didahului oleh gempa, maka Surat Al Infithar ayat 3 yang bermakna, “dan apabila lautan menjadi meluap” dan Surat At Takwiir ayat 6 “dan apabila laut dipanaskan” dapat kita jadikan landasan pemahaman bahwa laut akan meluap karena karena adanya proses pemanasan (yang menjadi penyebab gempa) didasar bumi.

Fenomena tsunami juga sangat erat kaitannya dengan pergerakan lempeng bumi yang secara kaidah geologis merupakan teori dasar pembentukan daratan dan bahkan benua-benua di dunia. Tentang teori pergerakan lempeng bumi ini, Surat Ath-Thur ayat 6 dapat kita jadikan pedoman, yakni “Dan laut yang di dalam tanahnya ada api”. Panas dipusat bumi inilah yang menyebabkan cairan ada di atasnya akan mendidih, sehingga lempeng benua dan lempeng samudera akan mengapung dan mengalami pergerakan.

Manusia diseru dalam Surat Thaahaa ayat 81, yakni “Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia”. Imbauan Allah untuk tidak melampaui batas selalu diabaikan oleh manusia, sehingga terjadi degradasi terhadap sumberdaya yang berlebihan. Contoh nyatanya banyak kita lihat dalam wujud pengrusakan hutan maupun sumberdaya kelautan di bawah laut. Kerusakan terumbu karang dan hutan bakau di pesisir Aceh yang secara alami melindungi daratan dari gelombang menjadi salah satu penyebab banyaknya korban nyawa dan bangunan yang hancur setelah tsunami terjadi.

Bukan saja eksploitasi terhadap sumberdaya yang dilakukan oleh manusia, manusia itu sendiri juga telah mengeksploitasi dirinya sendiri, sehingga telah menimbulkan kehidupan yang tidak harmonis antara manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan manusia, apalagi manusia dengan Sang Khaliq, seperti yang digambarkan dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yaitu “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Yang sudah biarlah berlalu, tugas kita sekarang adalah memperbaiki kesalahan dan ketidaksiapan kita untuk masa depan. Banyaknya korban dan kerugian yang menyebabkan keterpurukan Aceh beberapa tahun belakangan menjadi cambuk untuk kita terus berbenah dan berjuang untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Sebagai daerah yang resmi menggunakan syariat Islam sebagai pedoman, alangkah bijak jika kita merujuk pada nilai-nilai spiritual dalam menyikapi dan mengambil hikmah sebuah bencana.  Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan mengutip makna dari Surat Al An’am ayat 63, dimana Allah menanyakan kepada manusia yakni, Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut? Dialah Allah swt, Sang Maha Penolong!

*  Rifki Furqan adalah alumnnus Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, sedang kuliah di Jerman.
diposkan oleh : jhon 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar