BMG
Citra satelit cuaca Indonesia pada tanggal 26 Juni 2008 jam 12.00 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Satelit SeaStar yang diluncurkan Badan Administrasi Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA) ternyata bisa dipakai untuk memantau distribusi ikan perairan Indonesia. Yang lebih mengejutkan, satelit tersebut bisa dimanfaatkan secara gratis.
Hal tersebut diungkapkan Fardhi Adria, mahasiswa Universitas Syiah Kuala Nanggroe Aceh Darussalam. Ia mempresentasikannya dalam ajang International Workshop on Advanced Imaging Technologies (IWAIT) 2011 yang diselenggarakan di Hotel Santika Jakarta, Jumat (7/1/2011).
Ia mengungkapkan, satelit NASA tersebut bisa dimanfaatkan berkat adanya sensor SeaWiFS pada satelit. Sensor itu akan membantu mengindra Bumi dan menggolongkan citranya dalam beberapa spektrum. Salah satu spektrumnya secara tidak langsung bisa menggambarkan distribusi ikan.
"Satelit ini mampu melihat distribusi ikan sebab bisa membaca distribusi klorofil a," ia menjelaskan. Klorofil a merupakan pigmen pendukung fotosintesis yang dimiliki fitoplankton. Logikanya, jika terdapat fitoplankton melimpah, klorofil a pun melimpah dan kelimpahan ikan lebih besar.
Jika dicitrakan, klorofil a akan tampak dalam beberapa warna. Warna ungu menunjuk pada konsentrasi klorofil a yang rendah, berarti pula kelimpahan ikan di wilayah perairan tertentu kecil. Sementara warna kuning menunjuk pada kelimpahan klorofil a, yang berarti kelimpahan ikan juga tinggi.
Untuk menguji korelasi positif antara klorofil a dan distribusi ikan, Fardhi bersama dosennya, Khairul Munadi, telah melakukan pemantauan sepanjang Juni-November 2008. Hasilnya, korelasi positif ditunjukkan meski perlu fasilitas berbayar jika ingin pencitraan lebih detail. Ia mengungkapkan, penggunaan satelit ini sangat bermanfaat.
"Kita bisa mengetahui wilayah distribusi ikan, yang akhirnya bisa dikomunikasikan pada nelayan. Mereka tidak perlu berputar-putar ke laut mencari ikan sebab sudah tahu lokasinya," katanya.
Ia juga menjelaskan, untuk pencitraan dasar, instrumennya cuma komputer yang memadai dan koneksi internet. Jadi, teknologi ini termasuk murah. Kemudahan ini, menurut dia, membuat hasil risetnya bisa diaplikasikan. Persiapannya hanya tinggal cara mengomunikasikan kepada nelayan.
Fardhi adalah mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Universitas Syiah Kuala. Kampusnya sendiri merupakan satu di antara segelintir universitas yang berpartisipasi dalam ajang IWAIT 2011 di Hotel Santika Jakarta, 7-8 Januari 2011. Dari 150 peserta, hanya 10-12 yang berasal dari Indonesia.
(Jhon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar