Jumat, 29 Juni 2012
Sebagai
negara maritim yang mempunyai garis pantai terpanjang dan laut terluas
di dunia, Indonesia memiliki potensi perikanan terbesar. Sayangnya,
potensi yang ada belum dioptimalkan karena kebijakan pemerintah belum
sepenuhnya menjadikan sektor kelautan sebagai andalan di bidang
perekonomian.
Akibatnya, justru nelayan dan pemilik kapal asing masuk memanfaatkan
kelemahan dan celah yang ada untuk mencuri atau menangkap ikan secara
ilegal di perairan/laut Indonesia, di antaranya di perairan Arafura,
Natuna, dan lainnya yang memiliki jenis ikan yang beragam dan bernilai
jual tinggi. Sebut saja ikan tuna, tenggiri, hiu, dan lainnya.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture
Organization/FAO), pada 2006, Indonesia mengalami kerugian akibat
penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) sebesar 30 juta dolar
AS. Artinya, kalau nelayan asing bisa mencuri ikan di laut Indonesia
dengan nilai puluhan juta dolar AS, tentunya ada yang salah.
Terkesan tidak ada konsep yang jelas dalam pengelolaan laut, itu
membuat nelayan dan kapal asing bisa dengan bebas dan leluasa mencuri
ikan-ikan yang seharusnya dinikmati oleh nelayan lokal. Aibatnya,
sebagian besar nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan karena
sulit mencari ikan dan harus bersaing dengan kapal berukuran besar yang
sebagian besar milik asing. Data FAO juga menyebutkan bahwa sekitar 25
persen hasil perikanan dunia berasal dari praktik penangkapan ikan
secara ilegal.
Pemerintah memang bukan tidak berbuat apa-apa untuk memberantas
penangkapan ikan secara ilegal. Pada 2006 lalu, Indonesia berhasil
mencegah potensi kerugian negara hingga Rp 435 miliar dari aksi
penangkapan ikan secara ilegal. Sementara pada 2007, potensi kerugian
yang bisa dicegah mencapai Rp 650 miliar.
Untuk itu, dibutuhkan sistem pengawasan yang lebih komprehensif,
intensif, dan terintegrasi, terutama di titik-titik perairan yang memang
banyak terjadi aksi pencurian ikan secara besar-besaran, seperti di
Laut Arafura dan Natuna. Ini merupakan tugas Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), sebagaimana diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan.
Menurut Wakil Komisi IV DPR Herman Khaeron, dari pemahaman tentang
pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, diketahui bahwa pengawasan
merupakan bagian tugas dari KKP. Lahirnya sistem pengawasan berdasarkan
atau bertujuan untuk pengelolaan yang baik di sektor kelautan dan
perikanan.
Untuk itu, Komisi IV DPR (bidang pertanian, kehutanan, serta kelautan
dan perikanan) mendukung upaya perkuatan kegiatan pengawasan oleh KKP,
salah satunya dengan mendorong peningkatan anggaran.
"Tahun ini anggaran pengawasan dinaikkan. Apa yang dikerjakan satuan
pengawas KKP terus menunjukkan kemajuan dan prestasi. Ini terlihat dari
banyaknya kapal asing ditangkap, karena melakukan illegal fishing,
termasuk aksi penyelundupan ikan Indonesia ke luar negeri yang selalu
berhasil digagalkan. Ini patut diapresiasi," katanya.
Dengan armada serta anggaran yang tergolong pas-pasan, Herman Khaeron
mengatakan, pengawas KKP masih bisa bekerja optimal. Untuk itu,
keberadaan satuan pengawas di KKP penting dan harus dipertahankan. Dalam
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan
Nelayan disebutkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan harus menindak
tegas setiap pelaku penangkapan ikan yang melawan hukum, tidak
dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated
fishing), termasuk juga kegiatan penangkapan ikan yang merusak
(destructive fishing). Kegiatan ilegal di wilayah Indonesia seharusnya
memang ditindak tegas.
Saat ini, kapal patroli milik pengawas KKP ada 25 unit, dan hanya 15
unit kapal yang beroperasi per hari. Wajar bila hasil pengawasan tidak
optimal, karena 15 kapal tersebut harus menjaga seluruh wilayah laut
Indonesia yang begitu luas. Namun, peningkatan operasional pengawasan,
termasuk penambahan kapal patroli, butuh dana besar dan waktu yang lama.
Untuk itu, pada tahap awal KKP bisa menggunakan teknologi sistem
pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS), sehingga bisa
menekan biaya operasional.
Seperti diketahui, pengawas KKP hanya melakukan patroli pengawasan
sebanyak 180 hari per tahun. Padahal, dengan armada yang ada, patroli
bisa dilakukan sampai 250 hari. Namun, anggaran untuk bahan bakar
tergolong terbatas.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo mengatakan, KKP selalu
berkoordinasi dan bekerja sama dengan instasi terkait di sektor
kelautan untuk mendukung kegiatan pengawasan, di antaranya dengan Badan
Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Kenyataannya kinerja satuan
pengawas KKP mengalami peningkatan. Ratusan kapal asing pelaku illegal
fishing disita.
Pernyataan senada juga disampaikan Dirjen Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Syahrin Abdurrahman. Menurut dia,
proses penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan melalui tiga
tahap, yakni penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
"Untuk menanggulangi pencurian ikan oleh nelayan dan kapal asing, KKP
selalu mengambil langkah koordinatif, baik dengan TNI Angkatan Laut,
Polisi Air, TNI Angkatan Udara maupun Bakorkamla. Selain itu juga dengan
memfasilitasi pengembangan dan pembinaan untuk Kelompok Masyarakat
Pengawas (Pokmaswas)," ujarnya.
Berdasarkan data KKP, sejak 2005 hingga 2011, kegiatan pemberantasan
illegal fishing berhasil menangkap 1.222 kapal asing. Namun seiring
masih maraknya kegiatan illegal fishing, pemerintah diharapkan bisa
meningkatkan upaya pemberantasan, termasuk mendorong pemanfaatan
kapal-kapal hasil tangkapan untuk nelayan. (Bayu Legianto)
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=306458