Illegal fishing sudah menjadi ancaman dan tantangan global
dan berdampak luar biasa terhadap kerusakan sumberdaya. Berbagai
organisasi Internasional dan Regional menerapkan berbagai kebijakan,
kesepakatan dan instrumen untuk memerangi illegal fishing yang sudah
dipersepsikan sebagai kejahatan lintas negara (trans national crime). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah illegal fishing
cenderung makin menurun atau justru sebaliknya makin meningkat?.
Seberapa besar kerugian dan dampaknya secara ekonomis dan sosial?.
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Dan bagaimana mengatasi illegal
fishing?.
Semua pertanyaan tersebut tentunya dapat dijawab dengan memahami fakta, kecenderungan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan sejauh mana upaya yang dilakukan oleh organisasi Internasional, Regional dan Indonesia sendiri.
Semua pertanyaan tersebut tentunya dapat dijawab dengan memahami fakta, kecenderungan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan sejauh mana upaya yang dilakukan oleh organisasi Internasional, Regional dan Indonesia sendiri.
Perhitungan atau estimasi kerugian akibat illegal fishing dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan yang didasarkan kepada data
empiris, asumsi atau hasil penelitian. FAO pada tahun 2001 merilis angka
estimasi hasil penelitian bahwa ikan yang dicuri dan discard (dibuang)
sekitar 25% dari stok ikan. Pada tahun tersebut, Indonesia merilis
angka hasil stock assessment bahwa
angka MSY (Maximum Sustainable Yield) atau stok ikan Indonesia adalah 6,2 juta ton per tahun yang kemudian dikoreksi menjadi 6,4 juta ton/tahun. Dengan menggunakan pendekatan ini maka angka kerugian Indonesia adalah 1,6 juta ton ikan per tahun, jika dikonversi dengan harga ikan rata-rata 2 USD/Kg maka akan didapat angka kerugian sekitar Rp 30 Trilyun per tahun.
angka MSY (Maximum Sustainable Yield) atau stok ikan Indonesia adalah 6,2 juta ton per tahun yang kemudian dikoreksi menjadi 6,4 juta ton/tahun. Dengan menggunakan pendekatan ini maka angka kerugian Indonesia adalah 1,6 juta ton ikan per tahun, jika dikonversi dengan harga ikan rata-rata 2 USD/Kg maka akan didapat angka kerugian sekitar Rp 30 Trilyun per tahun.
Pendekatan lain adalah berdasarkan kemampuan patroli dihadapkan
kepada luasnya perairan yang harus diawasi untuk menjamin semua perairan
aman. Untuk mengawasi seluruh perairan Indonesia dari penjarahan kapal
asing, diperlukan ratusan kapal patroli. Secara realistis dari data
empiris, bahwa perairan yang selalu menjadi penjarahan kapal asing ada
di 3 kawasan, yaitu perairan Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina
Selatan, perairan sebelah utara Sulawesi Utara yang berbatasan dengan
Samudera Pasiifik dan perairan Laut Arafura. Perairan Natuna menjadi
yang paling tinggi tingkat illegal fishingnya, menyusul perairan utara
Sulawesi Utara dan baru Laut Arafura. Dari perhitungan pola operasi
patroli dengan asumsi kemampuan surveaillance Radar adalah 20 Mil
radius, maka untuk ketiga kawasan tersebut diperlukan minimal 45 kapal
patroli yang terus menerus selama 24 jam mengawasi perairan. Untuk mampu
mengoperasikan 45 kapal patroli terus menerus di laut sepanjang tahun
maka diperlukan 60 kapal patroli yang disiapkan dengan asumsi 45 kapal
operasi dan 15 kapal pemeliharaan/perbaikan. Artinya proporsi kapal yang
operasi dibandingkan pemeliharaan adalah 3 : 1, atau dengan kata lain
tiap kapal siklusnya dalam satu tahun adalah 75% waktunya untuk operasi
dan 25% untuk perbaikan/pemeliharaan.
Balitbang KKP pernah menghitung bahwa kebutuhan kapal patroli
perikanan untuk mengawasi perairan terutama ZEE adalah 70-80 kapal, hal
ini sesuai dengan perhitungan diatas. Dengan kondisi faktual bahwa saat
ini KKP hanya memiliki kapal patroli (yg mampu ke ZEE) 15 kapal dengan
hari operasi layar 180 hari (1 tahun =365 hari), maka perhitungan
kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan ketiga kawasan rawan adalah
(15/45) x (180/365) = 16%. Artinya kondisi sekarang hanya memiliki
kemampuan mengatasi illegal fishing sebesar 16% dari kebutuhan. Jika
rata-rata tiap tahun kapal ikan asing illegal yang berhasil ditangkap
250 kapal (referensi hasil operasi Ditjen PSDKP th 2009) berarti jumlah
kapal asing illegal adalah (100/16) x 250 kapal atau 1500 kapal. Jumlah
ini sangat masuk akal karena memang armada kapal negara-negara yang
sering melakukan illegal seperti Thailand, Vietnam dan Phillipiine
jumlahnya ribuan kapal. Dengan asumsi bahwa rata-rata produktivitas
kapal illegal menangkap ikan = 500 ton per tahun/kapal (dihitung
rata-rata 80 GT kapal dalam setahun 12 trip, per trip 1 bulan)., maka
jumlah ikan yang dicuri oleh kapal asing illegal mencapai 1500 kapal x
500 ton = 750 ribu ton per tahun, dikonversi dengan harga ikan 2 USD per
Kg menghasilkan angka Rp 15 Trilyun.
Dari kedua pendekatan di atas berarti angka kerugian dari illegal
fishing berkisar antara Rp 15 s/d Rp 30 Trilyun per tahun. Pertanyaannya
adalah apakah kondisi saat ini illegal fishing cenderung menurun atau
meningkat?. Untuk mengetahui kecenderungan illegal fishing, salah
satunya dapat dilihat dari jumlah kapal illegal yang ditangkap dari
tahun ke tahun sebagai hasil operasi kapal pengawas dengan asumsi
intensitas operasi dilakukan secara konsisten. Artinya, jika selama
tiga tahun berturut-turut jumlah kapal pengawas dengan hari operasinya
sama dan hasil tangkapan cenderung meningkat, dapat disimpulkan bahwa
illegal fishing meningkat. Hal ini terjadi antara tahun 2007 s/d 2009
dimana kapal pengawas berjumlah 15 kapal dioperasikan rata-rata 180 hari
layar/tahun di tiga kawasan rawan, berhasil menangkap kapal akin asing
illegal berturut-turut th 2007 sebanyak 185, th 2008 sebanyak 2002 dan
th 2009 sebanyak 242. Kemudian pada tahun 2010 terjadi penurunan menjadi
di bawah 122 akibat hari operasi layar diturunkan menjadi 100 hari,
karena anggaran yang semula 180 hari layar direlokasi ke tempat lain.
Kecenderungan ini memiliki korelasi positif, dimana jika intensitas
operasi pengawasan di laut ditingkatkan maka akan terjadi peningkatan
jumlah kapal asing illegal yan ditangkap secara proporsional. Illegal
fishing oleh kapal asing dapat dikatakan menurun apabila dan hanya
apabila operasi pengawasan di laut ditingkatkan secara significant namun
terjadi penurunan kapal illegal yang ditangkap.
Dilihat dari peta potensi perikanan dunia, FAO melaporkan dalam data
statistik tahun 2009, bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 4 besar
dunia produsen ikan laut dan budidaya sesudah RRT, USA dan Peru. Khusus
untuk perikanan laut, Indonesia menduduki peringkat 3 terbesar dunia.
Jika dilihat dari intensitas illegal fishing oleh kapal-kapal asing,
maka Indonesia menduduki peringkat teratas. Artinya, Indonesia dapat
dikatakan sebagai center of gravity terjadinya illegal fishing,
atau dengan kata lain Indonesia merupakan negara yang paling banyak
dirugikan oleh maraknya illegal fising baik secara ekonomi, kelestarian
sumberdaya maupun sosial. Penulis berpendapat ada dua faktor penting
kenapa illegal fishing oleh kapal asing di Indonesia masih marak, tidak
lain adalah faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal antara lain:
1) stok ikan laut dunia menurun secara
significant akibat illegal fishing dan over fishing, sehingga
negara-negara tetangga yang mengoperasikan kapal di berbagai kawasan
dikurangi lisensinya dan kapalnya beramai-ramai ke Indonesia;
2)
negara-negara industri perikanan seperti Taiwan, RRT, Thailand,
Phillippines harus mempertahankan industri perikanan untuk ekspor maka
pasokan bahan bakunya harus dipertahankan dan upayanya dengan
penangkapan secara legal maupun illegal, secara kebetulan negara-negara
tersebut memang sudah beroperasi lama di Indonesia baik legal maupun
illegal;
3) munculnya negara tetangga yang mulai meningkatkan industri
perikanannya yaitu Malaysia dan Vietnam yang secara geografis lautnya
berbatasan dengan Indonesia, menambah intensitas illegal fishing;
4)
disparitas harga ikan antara Indonesia dan negara-negara tersebut sangat
significant sehingga ada intesnif ekonomi untuk melakukan illegal
fishing di Indonesia, artinya masih ada profit margin meskipun biaya
illegal fishing juga mahal;
5) lemahnya komitmen negara-negara tersebut
terhadap berbagai instrumen internasional yang mengharuskan mereka
mengontrol kapal-kapalnya yang beroperasi illegal di negara lain.
Faktor internal adalah faktor Indonesia sendiri antara lain:
1)
Kapasitas pengawasan, hal ini bisa dilihat dari jumlah kapal pengawas
perikanan yang masih jauh dari kebutuhan plus dukungan anggaran untuk
hari operasi layar per tahun sangat minim. TNI AL dan POLRI yang
diberikan tugas UU untuk pengawasan perikanan juga tidak mengerahkan
kapalnya secara intensif untuk pengawasan illegal fishing karena
anggaran operasional juga terbatas, dan belum adanya sistem pengawasan
terintegrasi. Konsep ISS (Intergrated surveillance system) yang
dirancang oleh Ditjen PSKP masih sekedar wacana;
2) Persepsi tentang
pengawasan perikanan berdasarkan UU no 31 tahun 2004 yang diamandemen
dengan UU no 45 tahun 2009 tentang Perikanan masih belum solid diantara
petinggi R.I. Terkesan pihak KKP sendiri tidak percaya diri terhadap
wewenang dan tugas pengawasan yang harus dilakukan oleh Ditjen PSKP,
padahal sudah sangat jelas pasal-pasal baik wewenang, sanksi maupun
proses peradilannya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai wacana yang
melemahkan peran pengawasan perikanan yang berdampak demotivasi petugas
di lapangan, dan masih pendingnya RPP Pengawasan padahal PP Pengawasan
sangat diperlukan karena merupakan mandat UU yang menjelaskan
pasal-pasal pengaturan teknis operasional untuk menghidari salah
persepsi.
3) Komitmen politik masih lemah dalam mendukung pemberantasan
illegal fishing sebagai program nasional yang penting. Hal ini dapat
dilihat dari porsi anggaran yang sangat kecil (hanya 7-8% dari anggaran
KKP) dan kurangnya dukungan moral dari pimpinan.
4) Leaderships,
merupakan faktor sangat penting, karena ditengah banyaknya keterbatasan
baik anggaran, jumlah kapal, maka diperlukan perintah dan direktif
pimpinan yang tegas, berani dan pre-emptive dalam melakukan
upaya penangkapan kapal-kapal illegal di laut, proses penyidikan sampai
berujung di pengadilan. Sudah menjadi suatu rumus strategi operasi bahwa
jika kekuatan kecil dan ancaman besar, maka pemimpin harus memiliki
militansi, nyali dan integritas moral untuk tidak pandang bulu. Tindakan
yang pre-emptive akan berdampak psychologis efek jera dan meraka akan
pikir-pikir memasuki perairan Indonesia. Sudah waktunya kita kobarkan
semangat “jangan ada lagi ikan kita dicuri orang asing” dan kita
pertahankan wilayah perairan kita sampai titik darah penghabisan.
5)
Kebijakan dan regulasi perizinan, terutama kebijakan terhadap izin
penangkapan bagi kapal-kapal eks asing mapun masih banyaknya ABK asing.
Masih banyaknya kapal eks asing dan ABK asing di atas kapal merupakan
faktor pemicu illegal fishing, karena jumlah kapal yang riil
dioperasikan oleh perusahaan lebih besar dari kapal yang mendapatkan
izin dan keberadaan ABK asing pada kenyataannya banyak menimbulkan
pelanggaran. UU no 45 tahun 2009 ttg Perikanan jelas melarang keberadaan ABK asing di
kapal dan ini sesuai arahan Presiden di Ambon pada saat Sail Banda,
namun justru kebijakan masih membolehkan. Demikian pula dengan keharusan
kapal eks asing memiliki industri pengolahan atau kontrak dengan
industri dalam negeri untuk memastikan kapal didaratkan di Indonesia
keculai jenis tertentu, nyatanya tidak efektif. Akibatnya, perusahaan
yang memiliki industri pengolahan harus survive berkompetisi dengan agen
yang hanya broker izin, suatu hal yang menghambat industrialisasi
perikanan.
Dari problema dan kondisi faktual di atas, tentunya masih ada harapan
untuk melakukan upaya maksimal dalam memerangi illegal fihsing, antara
lain:
1) Menuntaskan RPP Pengawasan Perikanan menjadi PP sebagai
implementasi UU no 31 tahun 2004 dan UU no 45 tahun 2009 ttg Perikanan, PP tersebut
merupakan payung hukum dalam melakukan pengawasan di laut, penyidikan
dan kerjasama antar penegak hukum di laut;
2) Meningkatkan kerjasama
dengan aparat penegak hukum baik di tingkat penyidik, penuntut di
jajaran Kejaksaan Agung dan dengan jajaran Mahkamah Agung;
3) Mendorong
dan mendukung peran BAKORKAMLA agar lebih banyak operasional untuk
pemberantasan illegal fishing di daerah rawan;
4) Menerapkan pola
operasi cegat di jalur masuk illegal fishing, untuk itu kapal disiagakan
di titik-titik masuk dan deteksi Radar surveillance sementara
menggunakan Radar kapal (idealnya dengan Coastal Radar dalam ISS).
5)
Menerapkan kebijakan operasi pre-emptive yang dapat menimbulkan efek
jera sesuai dengan UU dan SOP yang telah dibuat;
6) Secara politis
melakukan tekanan kepada negara-negara tetangga yang kapalnya banyak
melakukan illegal fishing melalui forum regional seperti RPOA (Regional
Plan of Action to combat IUU fishing) APFIC dll.
Dikupas oleh Dr. Aji Sularso, Pengamat Kelautan dan Perikanan
http://ajisularso.wordpress.com/2012/03/02/mampukah-indonesia-berantas-illegal-fishing/
http://ajisularso.wordpress.com/2012/03/02/mampukah-indonesia-berantas-illegal-fishing/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar