Rabu, 18 Juli 2012

Pengawasan Tidak Optimal, Illegal Fishing Menggurita

Jumat, 29 Juni 2012
Sebagai negara maritim yang mempunyai garis pantai terpanjang dan laut terluas di dunia, Indonesia memiliki potensi perikanan terbesar. Sayangnya, potensi yang ada belum dioptimalkan karena kebijakan pemerintah belum sepenuhnya menjadikan sektor kelautan sebagai andalan di bidang perekonomian.




Akibatnya, justru nelayan dan pemilik kapal asing masuk memanfaatkan kelemahan dan celah yang ada untuk mencuri atau menangkap ikan secara ilegal di perairan/laut Indonesia, di antaranya di perairan Arafura, Natuna, dan lainnya yang memiliki jenis ikan yang beragam dan bernilai jual tinggi. Sebut saja ikan tuna, tenggiri, hiu, dan lainnya.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO), pada 2006, Indonesia mengalami kerugian akibat penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) sebesar 30 juta dolar AS. Artinya, kalau nelayan asing bisa mencuri ikan di laut Indonesia dengan nilai puluhan juta dolar AS, tentunya ada yang salah.
Terkesan tidak ada konsep yang jelas dalam pengelolaan laut, itu membuat nelayan dan kapal asing bisa dengan bebas dan leluasa mencuri ikan-ikan yang seharusnya dinikmati oleh nelayan lokal. Aibatnya, sebagian besar nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan karena sulit mencari ikan dan harus bersaing dengan kapal berukuran besar yang sebagian besar milik asing. Data FAO juga menyebutkan bahwa sekitar 25 persen hasil perikanan dunia berasal dari praktik penangkapan ikan secara ilegal.
Pemerintah memang bukan tidak berbuat apa-apa untuk memberantas penangkapan ikan secara ilegal. Pada 2006 lalu, Indonesia berhasil mencegah potensi kerugian negara hingga Rp 435 miliar dari aksi penangkapan ikan secara ilegal. Sementara pada 2007, potensi kerugian yang bisa dicegah mencapai Rp 650 miliar.
Untuk itu, dibutuhkan sistem pengawasan yang lebih komprehensif, intensif, dan terintegrasi, terutama di titik-titik perairan yang memang banyak terjadi aksi pencurian ikan secara besar-besaran, seperti di Laut Arafura dan Natuna. Ini merupakan tugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebagaimana diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Menurut Wakil Komisi IV DPR Herman Khaeron, dari pemahaman tentang pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, diketahui bahwa pengawasan merupakan bagian tugas dari KKP. Lahirnya sistem pengawasan berdasarkan atau bertujuan untuk pengelolaan yang baik di sektor kelautan dan perikanan.
Untuk itu, Komisi IV DPR (bidang pertanian, kehutanan, serta kelautan dan perikanan) mendukung upaya perkuatan kegiatan pengawasan oleh KKP, salah satunya dengan mendorong peningkatan anggaran.
"Tahun ini anggaran pengawasan dinaikkan. Apa yang dikerjakan satuan pengawas KKP terus menunjukkan kemajuan dan prestasi. Ini terlihat dari banyaknya kapal asing ditangkap, karena melakukan illegal fishing, termasuk aksi penyelundupan ikan Indonesia ke luar negeri yang selalu berhasil digagalkan. Ini patut diapresiasi," katanya.
Dengan armada serta anggaran yang tergolong pas-pasan, Herman Khaeron mengatakan, pengawas KKP masih bisa bekerja optimal. Untuk itu, keberadaan satuan pengawas di KKP penting dan harus dipertahankan. Dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan disebutkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan harus menindak tegas setiap pelaku penangkapan ikan yang melawan hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated fishing), termasuk juga kegiatan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing). Kegiatan ilegal di wilayah Indonesia seharusnya memang ditindak tegas.
Saat ini, kapal patroli milik pengawas KKP ada 25 unit, dan hanya 15 unit kapal yang beroperasi per hari. Wajar bila hasil pengawasan tidak optimal, karena 15 kapal tersebut harus menjaga seluruh wilayah laut Indonesia yang begitu luas. Namun, peningkatan operasional pengawasan, termasuk penambahan kapal patroli, butuh dana besar dan waktu yang lama. Untuk itu, pada tahap awal KKP bisa menggunakan teknologi sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS), sehingga bisa menekan biaya operasional.
Seperti diketahui, pengawas KKP hanya melakukan patroli pengawasan sebanyak 180 hari per tahun. Padahal, dengan armada yang ada, patroli bisa dilakukan sampai 250 hari. Namun, anggaran untuk bahan bakar tergolong terbatas.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo mengatakan, KKP selalu berkoordinasi dan bekerja sama dengan instasi terkait di sektor kelautan untuk mendukung kegiatan pengawasan, di antaranya dengan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Kenyataannya kinerja satuan pengawas KKP mengalami peningkatan. Ratusan kapal asing pelaku illegal fishing disita.
Pernyataan senada juga disampaikan Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Syahrin Abdurrahman. Menurut dia, proses penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan melalui tiga tahap, yakni penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
"Untuk menanggulangi pencurian ikan oleh nelayan dan kapal asing, KKP selalu mengambil langkah koordinatif, baik dengan TNI Angkatan Laut, Polisi Air, TNI Angkatan Udara maupun Bakorkamla. Selain itu juga dengan memfasilitasi pengembangan dan pembinaan untuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas)," ujarnya.
Berdasarkan data KKP, sejak 2005 hingga 2011, kegiatan pemberantasan illegal fishing berhasil menangkap 1.222 kapal asing. Namun seiring masih maraknya kegiatan illegal fishing, pemerintah diharapkan bisa meningkatkan upaya pemberantasan, termasuk mendorong pemanfaatan kapal-kapal hasil tangkapan untuk nelayan. (Bayu Legianto) 


Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=306458













Tidak ada komentar:

Posting Komentar