FORUM
Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) akhirnya menemukan
modus terbaru yang digunakan oleh perusahaan perikanan yang ada
dibeberapa daerah seperti Kabupaten Kepulauan Aru, Kota Tual, Kota
Ambon, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna untuk menguras kekayaan
laut di Indonesia. Modus yang digunakan tersebut adalah modus “illegal license”, yang mana arti dari “illegal license”
adalah penyalahgunaan izin dan atau cara mendapatkan izin dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang tidak sesuai
dengan aturan main.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya kepada Indonesia Maritime Magazine menjelaskan, terungkapnya modus “illegal license”
ini setelah data-data yang diminta secara resmi dari beberapa instansi
dan perusahaan perikanan serta hasil investigasi di lapangan yang
kemudian dikaji maka ditemukanlah praktek yang sudah merugikan negara
ratusan triliun rupiah ini.
“Kalau saat ini kita mendengar berbagai
mafia seperti pajak, hukum, pemilu, maka dibidang perikanan diduga ada
oknum-oknum tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai Sindikat dari Mafia Perikanan
karena membekingi pelaku illegal license,” papar Ivan.
Ivan menjelaskan, yang dimaksud dengan illegal license adalah
manipulasi izin atau penyalahgunaan izin. Kapal tangkap milik
perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia, sebagian besar hanya
mengantongi izin formal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia yang didapat dengan cara mudah, namun setelah melakukan impor
kapal asing, mereka (perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia)
tidak membangun atau mengembangkan industrinya yang mengakibatkan
daerah-daerah sentra tangkapan (Laut Arafura, Laut Natuna, Laut Banda,
Laut Maluku dan Laut Papua) tetap menjadi daerah miskin. Jika ada, izin
tersebut didapati dengan cara-cara yang tidak sesuai mekanisme atau
tidak sesuai aturan yang berlaku.
Selain itu, dengan adanya tindakan dari
oknum-oknum di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing
kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI), tanpa melalui prosedur yang sebenarnya,
menyebabkan industri perikanan di Indonesia akan mati dengan sendirinya.
Dari fakta dilapangan banyak terjadi
penyimpangan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Usaha Perikanan Tangkap. Didalam Permen tersebut menjelaskan bagaimana
proses penerbitan baru Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I), Surat Izin
Usaha Perikanan Penanaman Modal (SIUP-PM), Surat Izin Penangkapan Ikan
(SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Namun, ada beberapa
proses yang tidak sesuai realita, tetapi dengan sengaja oknum aparat di
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia membiarkan hal itu terjadi.
Sebagai contoh, mekanisme untuk
mendapatkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I dan SIUP-PM) diawali
dengan Perusahaan Perikanan mengajukan surat konfirmasi alokasi ke BKPM
dan diteruskan ke Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap c.q Direktorat
Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya dokumen-dokumen yang
dibutuhkan untuk mendapatkan izin tersebut diterima oleh Subdit
Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan yang selanjutnya diteruskan ke
Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan untuk dikoordinasikan yang
selanjutnya membentuk Tim Pemeriksaan Aset dan Verifikasi Usaha
Perikanan Tangkap Terpadu yang nantinya akan mengeluarkan rekomendasi
hasil verifikasi, dan diserahkan kembali ke Subdit Alokasi Usaha
Penangkapan Ikan yang nantinya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan
mengeluarkan rekomendasi pemeriksaan aset dan verifikasi apakah layak
atau tidak untuk diberikan izin.
Jika tidak layak, maka izin tidak
diberikan, namun jika layak maka prosesnya akan berlanjut ke persetujuan
dirjen untuk alokasi RAPIPM dengan cara mengeluarkan atau cetak RAPIPM,
kemudian diteruskan lagi ke tahap pembuatan SPPM oleh BKPM yang
nantinya diserahkan ke pihak pemohon izin untuk kemudian dibuat
permohonan SIUP-PM. Setelah permohonan SIUP-PM dibuat oleh perusahaan
perikanan, maka akan diserahkan ke Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan
Ikan untuk diperiksa dokumennya. Jika tidak lengkap maka akan
dikembalikan ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan, jika lengkap
maka dilanjutkan ketahap verifikasi dokumen SIUP-PM yang nantinya jika
sesuai maka akan dibuat rekomendasi hasil verifikasi yang kemudian
diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan.
Setelah rekomendasi hasil verifikasi
diterima selanjutnya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan akan
menginput data dan cetak draft SIUP-PM. Setelah draft SIUP-PM dicetak,
tahap selanjutnya perhitungan dan penetapan PPP, input data PPP dan
cetak SPP-PPP yang kemudian diserahkan lagi ke pihak pemohon yakni
perusahaan perikanan untuk melakukan pembayaran PPP di bank dengan
membawa Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP). Setelah pembayaran PPP, SSBP
lembar ke 5 diserahkan ke Subdit Tata Pengusahaan Dokumen Penangkapan
Ikan untuk pengesahan validasi SSBP lembar ke 5 tersebut. Selanjutnya
SSBP lembar ke 5 tersebut digabungkan dengan dokumen SIUP-PM dan
diserahkan ke Subdit Pelayanan Dokumen Penangkapan Ikan untuk cetak copy
SIUP-PM, pemeriksaan final hingga cetak SIUP-PM. Setelah SIUP-PM
dicetak, diserahkan ke Direktur Jenderal untuk ditandatangani dan
setelah ditandatangani diserahkan kembali ke pihak pemohon SIUP-I dan
SIUP-PM yakni perusahaan perikanan.
“SIUP-I dan SIUP-PM adalah izin yang
paling utama untuk seorang pengusaha bisa menjalankan bisnisnya dibidang
perikanan, sebab izin-izin lainya (SIPI dan SIKPI) bisa didapat apabila
sudah mengantongi SIUP-I dan SIUP-PM,” tutur Ivan.
Namun apa boleh dikata, kongkalikong
dan izin operasi kapal ikan terus mengalir tanpa mengikuti prosedur yang
tertuang dalam aturan main yang berlaku, yang mana dalam proses
permohonan pengajuan alokasi hingga terbitnya SIUP-I, SIUP-PM terdapat
praktek manipulasi.
Bukti dari penyalahgunaan prosedur
terlihat pada saat permohonan pengajuan alokasi. Perusahaan perikanan
yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan SIUP-I, SIUP-PM menggunakan
proposal dengan kapasitas industri yang terpasang dan rencana
pembangunan industri.
“Jika berbicara tentang sebuah
industri, apalagi mengenai industri perikanan, maka proposalnya akan
menerangkan tentang investasi dalam bentuk sebuah industri. Dari
investasi sebuah industri tersebut, akan dijelaskan tentang beberapa hal
yakni jumlah investasi, kapasitas produksi dan rencana kerja industri
perikanan tersebut. Sedangkan untuk jumlah investasi, sudah tentu
realisasi investasinya terlihat nyata. Namun jika berbicara tentang
kapasitas produksi, maka didalam proposal tersebut akan berbicara
mengenai jumlah kapal dan jenis produksi yang dibagi menjadi dua bagian
yakni hasil produksi yang akan diekspor dalam bentuk untuh atau tidak
diolah dan diekspor dalam bentuk produk olahan. Kalau mengenai rencana
kerja, akan menjelaskan tentang Cash Flow Projection, Output Produk,
Pendapatan (dari ekspor dan penjualan dalam negeri) serta tenaga
kerja,” papar Ivan yang adalah pria kelahiran Kota Ambon Provinsi
Maluku.
Namun yang terjadi adalah sejak izin
diberikan tidak terlihat fisik dari sebuah industri tersebut dibangun,
jumlah tenaga kerja lokal tidak masuk akal (sangat sedikit),
kapal-kapalnya misterius dalam artian kapal berlayar tidak tahu kapan
masuk dan keluarnya kapal tersebut, kapal berlayar berbulan-bulan bahkan
sampai sembilan bulan namun hasil tangkapan sebanding dengan kapal yang
berlayar hanya satu bulan. Selain itu terindikasi menggunakan dan atau
membeli BBM illegal ditengah laut dikarenakan kapal yang berlayar
berbulan-bulan mengisi BBMnya sangat sedikit, bahkan hasil tangkapan ada
yang tidak didaratkan.
Bukan hanya itu, menurut Ivan, pada
saat Tim Pemeriksaan aset memverifikasi data dan aset industri yang
sebenarnya adalah tidak sesuai. Bahkan pada saat evaluasi tahunan,
pembangunan industri diduga sengaja dilupakan karena tidak
dipertanyakan. “Hal ini harus segera kita berantas agar masyarakat kecil
di Indonesia tidak lagi hidup dibawah garis kemiskinan,” ketus Ivan
dengan nada geram.
Lebih jauh Ivan mengatakan,
permasalahan yang ditemukan saat ini adalah ada indikasi pengusaha yang
suka mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum aparat
penegak hukum, dan hal inilah yang menjadi salah satu kendala utama
mengapa hingga saat ini illegal fishing dan illegal license sulit diberantas.
Menurut Ivan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia dibawah komando Fadel Muhammad selama ini
hanya menggembar-gomborkan perberantasan illegal fishing yang cenderung hanya terjadi di perbatasan, sedangkan illegal license bukan
hanya mengkorupsi hak negara atas laut, tapi secara nyata kapal asing
beroperasi dengan memanipulasi perizinan oleh perusahaan hitam yang
berkongsi dengan oknum pejabat KKP. Selain itu kapal-kapal tersebut
berkapasitas daya tangkap diatas ratusan ton yang beroperasi di perairan
Indonesia dan bukan diperbatasan. Bahkan, kapal-kapal yang beroperasi
dengan modus illegal license lolos dari pengawasan patroli
karena memiliki semua persyaratan, namun diperoleh dengan cara yang
tidak sesuai dengan aturan untuk beroperasi (menangkap ikan).
Kongkalikong Mafia Perikanan “Perusahaan Hitam Berkerah Putih”
DARI hasil kajian yang
dilakukan Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N)
untuk mengetahui kondisi dunia perikanan di Indonesia
dengan sampel beberapa daerah seperti Kota Ambon, Kota Tual, Kabupaten
Kepulauan Aru, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna, ternyata
terindikasi adanya praktek manipulatif yang merugikan negara ratusan
triliun dan dilakukan oleh perusahaan perikanan yang masuk dalam
kategori “Perusahaan Hitam Berkerah Putih”.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya
menunjukkan daftar Perusahaan Hitam Berkerah Putih yang merupakan
lampiran dalam buku berjudul Rekomendasi dan Temuan Adanya Indikasi
Praktek Mafia Perikanan Dan Praktek Manipulatif Pemberian Izin Eks Kapal
Asing Kepada Perusahaan Perikanan Di Indonesia Yang Tidak Berbasis
Industri dan Fiktif yang juga diberikan kepada Indonesia Maritime Magazine.
Sementara itu, kata Ivan, praktek yang
dilakukan “Perusahaan Hitam Berkerah Putih” tergolong cantik dan
bervariasi serta tidak diketahui oleh publik dikarenakan semua kapal
milik perusahaan tersebut mengantongi izin yang sah dari Direktorat
Jenderal (Ditjen) Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) Republik Indonesia (RI). Hanya saja, proses untuk mendapatkan izin
berupa Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan
(SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) tidak sesuai dengan
apa yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan
Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha
Perikanan Tangkap.
“Sebagai contoh, temuan FP4N saat Rapat
Koordinasi dan Evaluasi Intervensi Program Minapolitan yang digelar di
Swissbel hotel Ambon tanggal 19 April 2011 lalu, terungkap salah satu
perusahaan yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon
yakni PT. Sumber Laut Utama belum mempunyai Unit Pengolahan Ikan (UPI).
Padahal, didalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun
2008 junto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap mengatur
tentang tatacara untuk mendapatkan izin-izin baik itu berupa SIUP, SIPI
dan SIKPI mewajibkan harus memiliki UPI” kata Ivan dalam nada geram.
Ivan juga menuturkan bahwa yang lebih
tidak masuk akal lagi, hal ini (tidak mempunyai UPI) terbongkar saat
Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy
Heryadi Sutisna, MS menanyakan apakah PT. Sumber Laut Utama sudah
memiliki coldstorage dan Unit Pengolahan Ikan. Menurut Ivan, Ini
merupakan sebuah kejadian yang sangat mustahil dimana seorang Dirjen
Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS menanyakan
hal tersebut (tidak mempunyai UPI) kepada pihak PT. Sumber Laut Utama
sementara yang menandatangani ijin-ijin tersebut adalah Dirjen Perikanan
Tangkap KKP RI itu sendiri.
Lebih parahnya lagi, perusahaan yang
sudah mengoperasikan 17 kapal penangkap ikan ini (PT. Sumber Laut Utama)
mengakui belum memiliki UPI, namun sudah mengajukan permohonan kepada
pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon untuk menyewa UPI dan atau Cold storage pelabuhan milik pemerintah tersebut, padahal kapal-kapal milik PT. Sumber Laut Utama ini sudah beroperasi setahun lebih.
“Dengan demikian fasilitas milik
Pemerintah seperti Pelabuhan Perikanan Nusantara hanya disewa oleh
perusahaan perikanan yang mengakibatkan perusahaan tersebut tidak
membangun industri nyata yang nantinya berdampak kepada daerah dan
perekrutan tenaga kerja” papar Ivan.
Lebih jauh Ivan mengatakan, selain
tidak mempunyai UPI, ada juga perusahaan perikanan yang menggunakan
alamat perusahaan atau industri perikanannya fiktif. Perusahaan tersebut
bernama PT. Maju Bersama Jaya yang mempunyai kapal penangkap sebanyak
27 unit dan 1 kapal tramper atau pengangkut serta sudah beroperasi
kurang lebih 2 tahun. Perusahaan ini (PT. Maju Bersama Jaya) telah
mengantongi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I) dari Ditjen Perikanan
Tangkap KKP RI pada tanggal 13 April 2011 dengan nomor SIUP-I yaitu
01.04.02.0351.4863 yang diterbitkan diatas blangko bernomor A004073
beserta 2 lembar lampiran SIUP-I yang diterbitkan diatas blangko
bernomor B004959 (lampiran 1) dan blangko bernomor B004960 (lampiran 2)
yang masa berlakunya sampai dengan 30 Januari 2038 dan ditandatangani
Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS.
Namun apa boleh dikata, praktek
mendapatkan izin dengan gampang dari KKP RI ini ditemukan FP4N ketika
mengantongi dan mencari tahu kebenaran alamat dari PT. Maju Bersama Jaya
yang berlokasi di Jalan Dullah Raya Desa Ngadi Km. 08 Kota Tual
Provinsi Maluku (sesuai alamat yang tercantum didalam SIUP-I tersebut).
Sesampainya tim FP4N di lokasi tersebut, ternyata perusahaan dengan nama
penanggung jawab Daniel dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
02.239.554.5-941.000 tidak ada batang hidungnya atau fisik bangunan dari
perusahaan tersebut tidak ada.
Padahal, SIUP-I bernomor
01.04.02.0351.4863 ini merupakan revisi ke 7 dari IUP sebelumnya yang
diterbitkan tanggal 25 Nopember 2009 yang dinyatakan tidak berlaku lagi,
dengan referensi Surat Permohonan SIUP-I : Perubahan bernomor
004/MBJ/XII/2010 tertanggal 22 Februari 2011 dan tanggal terima SSBP
lunas yakni pada tanggal 13 April 2011 dengan jenis kegiatan penangkapan
dan pengangkutan (sesuai yang tertera pada kolom catatan SIUP-I milik
PT. Maju Bersama Jaya).
Bukan hanya itu, setelah ditelusuri
ternyata PT. Maju Bersama Jaya sedang terlibat masalah karena salah satu
kapal milik PT. Maju Bersama Jaya melakukan transshipment dengan kapal pengangkut asing dilaut Papua New Guinea.
“Mengenai permasalahan belum mempunyai
UPI dan perusahaan perikanan atau industri perikanannya fiktif namun
diberikan izin serta alokasi kapal tangkap impor eks asing dari KKP RI,
FP4N meminta aparat penegak hukum baik itu KPK dan lainnya, dapat
menyelidiki praktek tersebut yang dimulai dari KKP RI hingga ke
perusahaan perikanan itu sendiri. Sebab hal ini tidak akan terjadi
apabila tidak ada oknum-oknum di KKP RI yang “bermain mata” dengan kedua
perusahaan ini (PT. Sumber Laut Utama dan PT. Maju Bersama Jaya) sampai
izin-izin tersebut dapat mereka kantongi,” kata pria kelahiran Kota
Ambon, Provinsi Maluku.
Bukan hanya itu, Ivan juga menjelaskan,
kalau permasalahan ini (tidak mempunyai UPI serta perusahaan atau
industri perikanannya fiktif) namun diberikanan izin dari KKP RI,
merupakan dua temuan dari berbagai temuan manipulatif lainnya yang
dilakukan ratusan bahkan bisa ribuan kapal milik puluhan perusahaan
perikanan yang ada di beberapa daerah yang menjadi sampel dari FP4N.
“Ini hanya 2 temuan dari berbagai
temuan yang ditemukan FP4N untuk diketahui publik. Sebab masih ada
temuan-temuan lainnya yang akan kita (FP4N) buka agar publik mengetahui
sepak terjang dari perusahaan hitam berkerah putih serta adanya
keterlibatan oknum-oknum di KKP RI yang dengan gampang memberikan izin
baik itu SIUP, SIPI dan SIKPI serta izin menggunakan fasilitas milik
pemerintah (fasilitas pelabuhan pemerintah) oleh perusahaan hitam
berkerah putih dengan cara disewakan yang jelas sangat merugikan negara”
tutup Ivan.