Selasa, 30 Oktober 2012

Potret Kehidupan Nelayan


oleh :

Shalsa Nabila, SMAN 8 Jakarta

“Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudera.”

Sebuah lagu usang yang sudah lama tidak kita dengar dan tidak banyak juga yang masih menyanyikan lagu itu, mungkin karena kita sudah tidak lagi menjadi tuan bagi laut kita sendiri.

Indonesia adalah sebuah negara dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (kedua terpanjang setelah Kanada), dari fakta ini seharusnya nelayan Indonesia dapat memanfaatkan hasil laut untuk mensejahterakan hidupnya, namun ironis sekali ketika justru banyak nelayan kita yang hidup di bawah garis kemiskinan
.

Peralatan melaut yang masih sangat sederhana sepertinya menjadi kendala utama bagi para nelayan lokal. Walau memang, sudah ada beberapa komunitas nelayan yang menggunakan alat modern seperti alat pendeteksi ikan dan navigasi. Tetapi kebanyakan nelayan lokal masih harus melaut dengan menggunakan jaring yang ditambal disana-sini dan juga perahu kayu yang hanya digerakkan oleh motor sederhana—yang tidak cukup kuat untuk mengarungi laut yang kadang tidak bersahabat.

Kondisi laut juga akan sangat mempengaruhi perekonomian para nelayan. Para nelayan ini kadang tidak bisa melaut selama satu hingga dua bulan akibat kondisi laut yang tidak bersahabat. Jika mereka memaksa untuk melaut, hasil tangkapan dan biaya melaut tidak akan sebanding. Di tengah kondisi paceklik ikan ini, para nelayan biasanya mencari pekerjaan lain sambil menunggu kondisi laut membaik atau memperbaiki jaring mereka yang sudah koyak. Kendati demikian, ada juga sebagian nelayan yang menganggap bahwa pesisir pantai masih memberikan rezekinya, yaitu melalui hewan pengganti ikan seperti udang pasir maupun jingking di pesisir pantai yang kemudian dapat dijual kembali.

Bukan hanya buruknya kondisi laut yang menyebabkan pencarian nafkah para nelayan ini semakin terpuruk, tetapi juga ulah tangan orang-orang yang membuang limbah ke laut. Banyaknya limbah yang dibuang ke laut ini menyebabkan ikan-ikan mati, sehingga hasil tangkapan nelayan pun tidak seberapa.

Belum lagi fakta sosial yang juga mewarnai kehidupan nelayan, yaitu dengan adanya struktur sosial yang sangat terikat dengan tengkulak. Hubungan nelayan dengan tengkulak ini jelas merugikan nelayan, karena harga ikan yang ditawarkan oleh tengkulak jauh lebih rendah dibanding dengan harga di pasar ikan.

Ya, nelayan kita memang tidak lagi menjadi tuan bagi laut kita sendiri. Pertanyaannnya adalah mengapa? Mengapa negara dengan sumber daya laut yang begitu luar biasa ini kebanyakan masyarakat pesisirnya harus hidup di bawah garis kemiskinan?

Masalah yang dihadapi para nelayan ini memang merupakan masalah yang bersifat multidimensi. Namun, rasanya tidak perlu lagi menambah deretan fakta mengenai kehidupan para nelayan untuk membuat kita sadar bahwa hal ini juga merupakan bagian dari tanggung jawab kita sebagai masyarakat Indonesia. Ada suatu hal sederhana yang setidaknya dapat kita lakukan, yaitu dengan tidak sekalipun mencemari perairan maupun daerah pesisir di Nusantara.

Tentunya kita tidak perlu menunggu hingga perairan kita dipenuhi limbah dan nelayan lokal semakin terpuruk, untuk melakukan hal kecil tersebut, kan?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar