Oleh : Maundri Prihanggo, Institut Teknologi Bandung
Indonesia, negeri yang tersimpan berbagai macam kekayaan di dalamnya. Lebih dari 2/3 wilayahnya berupa lautan, memiliki lebih dari 17 ribu pulau yang terbentang dari 95o BT- 141oBT juga 6oLU-11oLS dengan panjang garis pantai 95.181 Km. Sebagai negara keempat dengan garis pantai terpanjang di dunia, setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia, ditambah luasnya lautan Indonesia jelas j
ika masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan pesisir menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut yang ada di bumi pertiwi Indonesia.
Kemiskinan masyarakat pesisir
Dari 497 kabupaten dan kota yang terdapat di Indonesia, 324 diantaranya tergolong ke dalam kabupaten dan kota pesisir yang berarti salah satu sumber ekonominya berasal dari sumber daya laut selain letaknya yang berdekatan dengan laut. Dengan lebih dari 60% kabupaten dan kota di Indonesia memiliki ketergantungan cukup besar pada sumber daya lautjelaslah bahwa peranan laut serta kandungannya cukup besar. Namun, masih sangat disayangkan besarnya peran laut dan kandungannya belum digali secara optimal terbukti dari parahnya kondisi masyarakat pesisir sebagai ujung tombak dari optimisasi sumber daya alam laut yang ada.
Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Pengertian tersebut memiliki rentang yang sangat luas karena banyak sekali orang yang hidupnya bergantung pada sumber daya laut umumnya terbagi kedalam dua kelompok yaitu, kelompok orang yang bergantung pada perikanan (nelayan, buruh nelayan, pedagang ikan dan lain sebagainya) serta kelompok orang yang bergantung pada sektor non-perikanan (pelaku jasa wisata, pelaku jasa transportasi, pembudidaya organisme laut dan lain sebagainya). Bila kita tengok, keseluruhan sektor tersebut masih memprihatinkan keadaannya di lapangan.
Tabel 1. Menunjukkan data kategori kapal perahu per tahun dengan kenaikan rata-rata pertahunnya. Ironi yang ada beberapa jenis kapal perahu menunjukkan penurunan pemakaian.
Dari sektor perikanan, untuk mendukung optimisasi sumber daya laut maka ketersediaan teknologi penunjang usaha tersebut menjadi faktor kunci. Bila kita cek ke tabel 1, secara keseluruhan belum ada penambahan penggunaan kapal perahu tiap tahunnya. Kebalikannya, angka malah menunjukkan penurunan penggunaan kapal perahu yaitu menurun sebesar 0.56%. Menurunnya penggunaan kapalperahu berdampak pada produksi ikan dan merembet pada permasalahan sosial-ekonomi nasional termasuk meningkatnya angka kemiskinan sera menurunnya kesejahteraan masyarakat pesisir. sangat disayangkan bila kita melihat potensi yang ada.
Tabel 2. Luasan potensi dan pemanfaatan lahan perikanan berdasarkan buku statistik perikanan dan budidaya.
Beberapa pakar ekonomi menyebutkan bahwa kemiskinan yang terjadi di kalangan masyarakat pesisir merupakan kombinasi antara kemiskinan struktural dan kultural. Smith dan Anderson (1979) melakukan kajian pembangunan perikanan di Asia, Eropa dan Amerika Utara mengatakan kemiskinan yang berada di masyarakat pesisir disebabkan kekakuan aset perikanan yang sulit diubah bentuk dan fungsinya untuk kepentingan lain. Akibatnya jarang sekali inovasi teknologi serta pembangunan sarana perikanan karena biaya yang dikeluarkan besar dan tidak aplikatif untuk sektor selain perikanan. Sementara Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan tersebut yang memang sudah menjadi jalan hidup mereka. Walaupun tidak mengalami peningkatan pendapatan, nelayan tetap senang karena kepuasan hidupnya diperoleh dengan menangkan ikan. Selain kedua pendapat tersebut, Subade dan Abdullah (1993) mengatakan bahwa opportunity cost untuk beralih profesi di kalangan masyarakat pesisir sangatlah besar, misal untuk beralih profesi dari nelayan ke pembudidaya ikan atupun sebaliknya sehingga meskipun usaha yang dilakukan tidak menguntungkan tapi tetap dijalankan.
Dengan potensi perikanan, wilayah pesisir, sumber daya mineral, minyak dan gas bumi bawah laut, pariwisata dan transportasi laut yang tersimpan dalam kekayaan laut Indonesia, idealnya masyarakat pesisir memiliki peranan yang penting namun sampai saat ini tercatat 7,87 juta penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan pesisir berada di bawah garis kemiskinan ini berarti 25% dari total penduduk miskin Indonesia. Saat mereka yang menjadi ujung tombak eksplorasi sumber daya laut kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya tentu sulit pula bagi mereka untuk berperan dalam perekonomian nasional.
Peran informasi spasial pada pemberdayaan masyarakat pesisir
Kekayaan sumber daya laut Indonesia sejak dulu telah menjadi perhatian pemerintah namun kebijakan yang ada masih pada produktivitas dan eksploitasi dengan sistem pembinaan masyarakat pesisir. Beberapa program pemerintah telah dilaksanakan untuk optimasi hasil sumber daya laut, seperti motorisasi armada nelayan skala kecil, sistem rantai dingin untuk penangkapan ikan, pengadaan sarana dan prasarana pelabuhan, rehabilitasi lingkungan, Protekan 2003 hingga yang sekarang sedang gencar dilakukan adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Namun keseluruhan program tersebut belum mendapatkan hasil yang maksimal, kemungkinan ada kesalahan-kesalahan dalam menjalankan program tersebut atau program-program tersebut malah salah sasaran dan sebenarnya kurang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir. kesalahan-kesalahan yang ada sebelum ataupun saat menjalankan program tersebut dapat dibenahi secara struktural dan sistematis oleh pemberi dan pelaksana program yaitu pemerintah namun bagaimana bila salah sasaran dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir di lapangan?
Sebelum program-program yang berkaitan dengan optimisaasi sumber daya laut dilaksanakan, kajian-kajian secara komprehensif pastinya telah dilaksanakan. Permasalahan yang muncul adalah saat eksekusi di lapangan terkadang muncul beberapa variabel yang belum diperhitungkan penyebab utama dari munculnya variabel-varibel tersebut adalah kurang dilibatkannya masyarakat pesisir dalam program-program yang akan dilaksanakan sehingga memicu permasalahan saat program tersebut berjalan. Bahkan permasalahan dapat berlanjut karena program yang tadinya direncanakan berkelanjutan tapi tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya keterlibatan masyarakat. Seharusnya porsi yang diberikan kepada masyarakat pesisir adalah sebagai obek sekaligus subjek sehingga masyarakat pesisir benar-benar tercedaskan terkait teknologi dan aplikasi yang dipakai untuk optimisasi sumber daya laut juga timbulnya rasa kepemilikan terhadap produk dari program yang dilaksanakan. Rasa kepemilikan tersebut akan mendukung program-program yang bersifat kontinu juga membuat masyarakat pesisir mampu menjaga produk-produk dari program yang dilaksanakan. Berarti perlu adanaya partisipasi dari masyarakat pesisir untuk tiap program yang akan dilaksanakan.
Bentuk-bentuk program yang mendukung partisipasi masyarakat pesisir memang sudah cukup banyak dilaksanakan namun terkadang masih dalam bungkusan yang bersifat pembinaan dengan sistem top-down ketimbang bersifat pemberdayaan yang mengacu pada bottom-up sehingga inisiasi datang dari masyarakat pesisir lalu meningkatkan partisipasinya.
Untuk meningkatkan inisiasi yang datang langsung dari masyarakat, pemerintah haruslah aktif dengan fungsinya sebagai fasilitator, koordinator dan regulator. Pembangunan infrastruktur fisik berupa sarana dan prasarana penunjang optimisasi sumber daya laut adalah hal yang wajib menjadi perhatian pemerintah namun dalam abad 20 sekarang ada satu lagi infrastruktur yang menjadi kunci dari bentuk pemberdayaan yaitu pemanfaatan informasi spasial dengan kemampuannya sebagai salah satu pendukung sistem keputusan yang memperhatikan efek dan dampaknya terhadap keadaan lingkungan ataupun ruang sekitarnya.
Disinilah peran pemerintah sebagai penyedia informasi spasial dan masyarakat pesisir diposisikan sebagai pengguna. Mengapa harus informasi spasial? Pertama, pemberdayaan masyarakan pesisir harus dimulai dengan adanya kepercayaan dari pemerintah. Penyediaan informasi spasial untuk masyarakat pesisir dengan posisinya sebagai subjek dan objek maka pemerintah memberikan kepercayaan kepada masyarakat pesisir untuk mengelola daerahnya sendiri. Inisiasi datang langsung dari masyarakat pesisir akan menimbulkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungannya dan memunculkan minat dari masyarakat pesisir untuk berpartisipasi dalam program-program yang akan dilaksanakan. Sebelumnya, pemerintah harus mampu memberikan pencerdasan terkait aspek spasial yang mendukung optimisasi sumber daya laut kepada masyarakat pesisir lalu pendampingan yang aktif dan kontinu menjadi kewajiban pemerintah selanjutnya.. Kedua, dengan adanya informasi spasial, masyarakat pesisir akan mengerti betul potensi lingkungannya yag optimal sehingga muncul komunitas-komunitas swadaya atas kesadaran masyarakat pesisir. komunitas-komunitas swadaya tersebut akan memudahkan dalam akses terhadap modal dan teknologi karena telah terbentuk kelembagaan yang kuat di masyarakat pesisir tersebut. Kelembagaan ini akan membentuk posisi tawar yang kuat dalam penyaluran aspirasi dan tuntutan mereka. Kemudahan akses terhadap modal akan mengecilkan opportunity cost bila memungkinkan perpindahan profesi sesuai dengan potensi kawasan pesisir tersebut. Akses terhadap teknologi juga semakin mudah karena bentuk kelembagaan dalam komunitas swadaya lebih teroganisir dan rapih sehingga memudahkan investor teknologi dan pelaku inovasi teknologi dalam mengaplikasikan ilmunya. Dengan munculnya kesadaran masyarakat pesisir akan kondisi lingkungannya maka bentuk kegiatan bottom-up yang dikoordinir oleh pemerintah dapat memicu lahirnya komunitas-komunitas swadaya. Komunitas-komunitas swadaya tersebut lahir dari masyarakat pesisir sehingga pengelolaan dan peruntukkannya murni oleh dan untuk masyarakat pesisir sehingga opportunity cost akan mengecil karena gerakan yang dilakukan secara gotong royong. Ketiga, menarik minat sektor swasta dengan adanya transparansi informasi spasial ke publik. Dalam mendukung pemberdayaan masyarakat pesisir, program yang dilaksanakan akan berkesinambungan dan progressive sehingga modal yang dibutuhkan cukup besar sehingga butuh banyak partisipasi. Dengan melibatkan sektor swasta, secara tidak langsung mendekatkan masyarakat pesisir dengan modal. Modal akan berperan dalam komunitas-komunitas swasembada dalam menjalankan kegiatan pengembangan potensi kawasan pesisir juga hal-hal yang berkaitan dengan inovasi teknologi yang oleh komunitas-komunitas swasembada atapun bila melibatkan pihak lain untuk pemberdayaan masyarakat pesisir.
Dengan adanya usaha melibatkan masyarakat pesisir, punahnya masyarakat pesisir tentu tidak akan terjadi. Masyarakat pesisir seharusnya mendapat tempat khusus bila melihat potensi sumber daya laut Indonesia. Penyediaan data spasial dalam bentuk informasi yang transparan ke publik akan menambah partisipasi dari masyarakat pesisir juga membuka akses modal dan teknologi. Perubahan adalah hal yang pasti dan terus memperbaiki adalah kewajiban.
Indonesia, negeri yang tersimpan berbagai macam kekayaan di dalamnya. Lebih dari 2/3 wilayahnya berupa lautan, memiliki lebih dari 17 ribu pulau yang terbentang dari 95o BT- 141oBT juga 6oLU-11oLS dengan panjang garis pantai 95.181 Km. Sebagai negara keempat dengan garis pantai terpanjang di dunia, setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia, ditambah luasnya lautan Indonesia jelas j
ika masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan pesisir menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut yang ada di bumi pertiwi Indonesia.
Kemiskinan masyarakat pesisir
Dari 497 kabupaten dan kota yang terdapat di Indonesia, 324 diantaranya tergolong ke dalam kabupaten dan kota pesisir yang berarti salah satu sumber ekonominya berasal dari sumber daya laut selain letaknya yang berdekatan dengan laut. Dengan lebih dari 60% kabupaten dan kota di Indonesia memiliki ketergantungan cukup besar pada sumber daya lautjelaslah bahwa peranan laut serta kandungannya cukup besar. Namun, masih sangat disayangkan besarnya peran laut dan kandungannya belum digali secara optimal terbukti dari parahnya kondisi masyarakat pesisir sebagai ujung tombak dari optimisasi sumber daya alam laut yang ada.
Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Pengertian tersebut memiliki rentang yang sangat luas karena banyak sekali orang yang hidupnya bergantung pada sumber daya laut umumnya terbagi kedalam dua kelompok yaitu, kelompok orang yang bergantung pada perikanan (nelayan, buruh nelayan, pedagang ikan dan lain sebagainya) serta kelompok orang yang bergantung pada sektor non-perikanan (pelaku jasa wisata, pelaku jasa transportasi, pembudidaya organisme laut dan lain sebagainya). Bila kita tengok, keseluruhan sektor tersebut masih memprihatinkan keadaannya di lapangan.
Tabel 1. Menunjukkan data kategori kapal perahu per tahun dengan kenaikan rata-rata pertahunnya. Ironi yang ada beberapa jenis kapal perahu menunjukkan penurunan pemakaian.
Dari sektor perikanan, untuk mendukung optimisasi sumber daya laut maka ketersediaan teknologi penunjang usaha tersebut menjadi faktor kunci. Bila kita cek ke tabel 1, secara keseluruhan belum ada penambahan penggunaan kapal perahu tiap tahunnya. Kebalikannya, angka malah menunjukkan penurunan penggunaan kapal perahu yaitu menurun sebesar 0.56%. Menurunnya penggunaan kapalperahu berdampak pada produksi ikan dan merembet pada permasalahan sosial-ekonomi nasional termasuk meningkatnya angka kemiskinan sera menurunnya kesejahteraan masyarakat pesisir. sangat disayangkan bila kita melihat potensi yang ada.
Tabel 2. Luasan potensi dan pemanfaatan lahan perikanan berdasarkan buku statistik perikanan dan budidaya.
Beberapa pakar ekonomi menyebutkan bahwa kemiskinan yang terjadi di kalangan masyarakat pesisir merupakan kombinasi antara kemiskinan struktural dan kultural. Smith dan Anderson (1979) melakukan kajian pembangunan perikanan di Asia, Eropa dan Amerika Utara mengatakan kemiskinan yang berada di masyarakat pesisir disebabkan kekakuan aset perikanan yang sulit diubah bentuk dan fungsinya untuk kepentingan lain. Akibatnya jarang sekali inovasi teknologi serta pembangunan sarana perikanan karena biaya yang dikeluarkan besar dan tidak aplikatif untuk sektor selain perikanan. Sementara Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan tersebut yang memang sudah menjadi jalan hidup mereka. Walaupun tidak mengalami peningkatan pendapatan, nelayan tetap senang karena kepuasan hidupnya diperoleh dengan menangkan ikan. Selain kedua pendapat tersebut, Subade dan Abdullah (1993) mengatakan bahwa opportunity cost untuk beralih profesi di kalangan masyarakat pesisir sangatlah besar, misal untuk beralih profesi dari nelayan ke pembudidaya ikan atupun sebaliknya sehingga meskipun usaha yang dilakukan tidak menguntungkan tapi tetap dijalankan.
Dengan potensi perikanan, wilayah pesisir, sumber daya mineral, minyak dan gas bumi bawah laut, pariwisata dan transportasi laut yang tersimpan dalam kekayaan laut Indonesia, idealnya masyarakat pesisir memiliki peranan yang penting namun sampai saat ini tercatat 7,87 juta penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan pesisir berada di bawah garis kemiskinan ini berarti 25% dari total penduduk miskin Indonesia. Saat mereka yang menjadi ujung tombak eksplorasi sumber daya laut kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya tentu sulit pula bagi mereka untuk berperan dalam perekonomian nasional.
Peran informasi spasial pada pemberdayaan masyarakat pesisir
Kekayaan sumber daya laut Indonesia sejak dulu telah menjadi perhatian pemerintah namun kebijakan yang ada masih pada produktivitas dan eksploitasi dengan sistem pembinaan masyarakat pesisir. Beberapa program pemerintah telah dilaksanakan untuk optimasi hasil sumber daya laut, seperti motorisasi armada nelayan skala kecil, sistem rantai dingin untuk penangkapan ikan, pengadaan sarana dan prasarana pelabuhan, rehabilitasi lingkungan, Protekan 2003 hingga yang sekarang sedang gencar dilakukan adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Namun keseluruhan program tersebut belum mendapatkan hasil yang maksimal, kemungkinan ada kesalahan-kesalahan dalam menjalankan program tersebut atau program-program tersebut malah salah sasaran dan sebenarnya kurang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir. kesalahan-kesalahan yang ada sebelum ataupun saat menjalankan program tersebut dapat dibenahi secara struktural dan sistematis oleh pemberi dan pelaksana program yaitu pemerintah namun bagaimana bila salah sasaran dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir di lapangan?
Sebelum program-program yang berkaitan dengan optimisaasi sumber daya laut dilaksanakan, kajian-kajian secara komprehensif pastinya telah dilaksanakan. Permasalahan yang muncul adalah saat eksekusi di lapangan terkadang muncul beberapa variabel yang belum diperhitungkan penyebab utama dari munculnya variabel-varibel tersebut adalah kurang dilibatkannya masyarakat pesisir dalam program-program yang akan dilaksanakan sehingga memicu permasalahan saat program tersebut berjalan. Bahkan permasalahan dapat berlanjut karena program yang tadinya direncanakan berkelanjutan tapi tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya keterlibatan masyarakat. Seharusnya porsi yang diberikan kepada masyarakat pesisir adalah sebagai obek sekaligus subjek sehingga masyarakat pesisir benar-benar tercedaskan terkait teknologi dan aplikasi yang dipakai untuk optimisasi sumber daya laut juga timbulnya rasa kepemilikan terhadap produk dari program yang dilaksanakan. Rasa kepemilikan tersebut akan mendukung program-program yang bersifat kontinu juga membuat masyarakat pesisir mampu menjaga produk-produk dari program yang dilaksanakan. Berarti perlu adanaya partisipasi dari masyarakat pesisir untuk tiap program yang akan dilaksanakan.
Bentuk-bentuk program yang mendukung partisipasi masyarakat pesisir memang sudah cukup banyak dilaksanakan namun terkadang masih dalam bungkusan yang bersifat pembinaan dengan sistem top-down ketimbang bersifat pemberdayaan yang mengacu pada bottom-up sehingga inisiasi datang dari masyarakat pesisir lalu meningkatkan partisipasinya.
Untuk meningkatkan inisiasi yang datang langsung dari masyarakat, pemerintah haruslah aktif dengan fungsinya sebagai fasilitator, koordinator dan regulator. Pembangunan infrastruktur fisik berupa sarana dan prasarana penunjang optimisasi sumber daya laut adalah hal yang wajib menjadi perhatian pemerintah namun dalam abad 20 sekarang ada satu lagi infrastruktur yang menjadi kunci dari bentuk pemberdayaan yaitu pemanfaatan informasi spasial dengan kemampuannya sebagai salah satu pendukung sistem keputusan yang memperhatikan efek dan dampaknya terhadap keadaan lingkungan ataupun ruang sekitarnya.
Disinilah peran pemerintah sebagai penyedia informasi spasial dan masyarakat pesisir diposisikan sebagai pengguna. Mengapa harus informasi spasial? Pertama, pemberdayaan masyarakan pesisir harus dimulai dengan adanya kepercayaan dari pemerintah. Penyediaan informasi spasial untuk masyarakat pesisir dengan posisinya sebagai subjek dan objek maka pemerintah memberikan kepercayaan kepada masyarakat pesisir untuk mengelola daerahnya sendiri. Inisiasi datang langsung dari masyarakat pesisir akan menimbulkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungannya dan memunculkan minat dari masyarakat pesisir untuk berpartisipasi dalam program-program yang akan dilaksanakan. Sebelumnya, pemerintah harus mampu memberikan pencerdasan terkait aspek spasial yang mendukung optimisasi sumber daya laut kepada masyarakat pesisir lalu pendampingan yang aktif dan kontinu menjadi kewajiban pemerintah selanjutnya.. Kedua, dengan adanya informasi spasial, masyarakat pesisir akan mengerti betul potensi lingkungannya yag optimal sehingga muncul komunitas-komunitas swadaya atas kesadaran masyarakat pesisir. komunitas-komunitas swadaya tersebut akan memudahkan dalam akses terhadap modal dan teknologi karena telah terbentuk kelembagaan yang kuat di masyarakat pesisir tersebut. Kelembagaan ini akan membentuk posisi tawar yang kuat dalam penyaluran aspirasi dan tuntutan mereka. Kemudahan akses terhadap modal akan mengecilkan opportunity cost bila memungkinkan perpindahan profesi sesuai dengan potensi kawasan pesisir tersebut. Akses terhadap teknologi juga semakin mudah karena bentuk kelembagaan dalam komunitas swadaya lebih teroganisir dan rapih sehingga memudahkan investor teknologi dan pelaku inovasi teknologi dalam mengaplikasikan ilmunya. Dengan munculnya kesadaran masyarakat pesisir akan kondisi lingkungannya maka bentuk kegiatan bottom-up yang dikoordinir oleh pemerintah dapat memicu lahirnya komunitas-komunitas swadaya. Komunitas-komunitas swadaya tersebut lahir dari masyarakat pesisir sehingga pengelolaan dan peruntukkannya murni oleh dan untuk masyarakat pesisir sehingga opportunity cost akan mengecil karena gerakan yang dilakukan secara gotong royong. Ketiga, menarik minat sektor swasta dengan adanya transparansi informasi spasial ke publik. Dalam mendukung pemberdayaan masyarakat pesisir, program yang dilaksanakan akan berkesinambungan dan progressive sehingga modal yang dibutuhkan cukup besar sehingga butuh banyak partisipasi. Dengan melibatkan sektor swasta, secara tidak langsung mendekatkan masyarakat pesisir dengan modal. Modal akan berperan dalam komunitas-komunitas swasembada dalam menjalankan kegiatan pengembangan potensi kawasan pesisir juga hal-hal yang berkaitan dengan inovasi teknologi yang oleh komunitas-komunitas swasembada atapun bila melibatkan pihak lain untuk pemberdayaan masyarakat pesisir.
Dengan adanya usaha melibatkan masyarakat pesisir, punahnya masyarakat pesisir tentu tidak akan terjadi. Masyarakat pesisir seharusnya mendapat tempat khusus bila melihat potensi sumber daya laut Indonesia. Penyediaan data spasial dalam bentuk informasi yang transparan ke publik akan menambah partisipasi dari masyarakat pesisir juga membuka akses modal dan teknologi. Perubahan adalah hal yang pasti dan terus memperbaiki adalah kewajiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar